Liputan6.com, Malang - Siang di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Duka menyelimuti warga desa yang terletak di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru tersebut.
Ada tujuh orang ditemukan tewas di dalam ruang pertemuan balai desa sekitar pukul 06.30, Jumat 29 September 2017. Mereka meninggal dunia akibat menghirup asap beracun dari genset di dalam ruangan tertutup. Seluruh korban bukan warga setempat.
Lima di antaranya adalah pekerja bangunan yang menggarap renovasi balai desa. Dua korban lagi adalah petugas operator seluler pemilik genset. Ratusan warga Suku Tengger Ngadas pun memenuhi balai desa setempat, hendak melepas jenazah menuju kamar mayat RS Syaiful Anwar Malang.
Advertisement
Baca Juga
Tapi sebelumnya, warga lebih dulu menggelar ritual ngepras, salah satu upacara adat Suku Tengger. Ngepras atau memangkas, bermakna agar musibah serupa terputus saat itu juga, tak menimpa warga desa lainnya. Ritual dipimpin Sutomo, Dukun Adat Tengger Ngadas.
Doa berbahasa Jawa Tengger dibacakan dukun adat. Berbagai sesaji seperti nasi tumpeng, ayam panggang, pisang sampai jadah atau kue berbahan beras ketan ada di dekat jenazah. Ritual berlangsung lima menit dan jenazah segera diberangkatkan ke RS Syaiful Anwar Malang.
"Ngepras itu adat yang wajib. Semua warga tak peduli apa agamanya turut hadir menyaksikan upacara ini," kata Kepala Desa Ngadas, Mujianto di Malang, Jumat 29 September 2017.
Sebuah wadah atau tempat menaruh sumbangan diletakkan di dekat jenazah. Terkumpul duit sebesar Rp 9 juta dari warga untuk disumbangkan ke keluarga korban. Penggalangan dana sosial itu dalam tradisi warga Ngadas disebut slawatan.
"Membantu meringankan keluarga untuk biaya pemakaman, biaya tahlilan dan kebutuhan lainnya," ujar Mujianto.
Warga Desa Ngadas merupakan satu dari puluhan Suku Tengger yang tersebar di empat kabupaten yaitu Probolinggo, Lumajang, Pasuruan dan Malang. Mayoritas warga desa bekerja sebagai petani.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini!
Adat Tengger Jadi Perekat
Penduduk Desa Ngadas sebanyak 2.026 jiwa dengan tiga keyakinan agama yang dipeluk. Pemeluk Budha sebesar 50 persen, Islam 40 persen dan Hindu 10 persen. Ada tiga masjid, satu pura dan satu vihara di desa ini untuk warga menjalankan ibadah masing-masing.
Keberagaman itu tak pernah sekalipun memicu konflik horizontal di antara warga desa. Satu keluarga yang tinggal serumah berbeda pilihan keyakinan agama juga sudah biasa. Tradisi Suku Tengger turun temurun menjadi faktor utama pengikat di antara mereka.
"Seduluran di antara warga sangat tinggi, saling memahami tak pernah membicarakan agama orang. Setiap adat tradisi, selalu diikuti oleh semua warga," tutur Kepala Desa Ngadas, Mujianto.
Upacara ngepras misalnya, selalu bertempat di Balai Desa Ngadas jika ada kematian warga karena musibah seperti kecelakaan atau bencana. Sedangkan jika seorang warga meninggal dunia karena sebab yang dianggap normal seperti sakit dan sudah tua, digelar slametan tumpeng pras.
Upacara slametan tumpeng pras dilaksanakan di rumah warga yang ada anggotanya keluarganya meninggal. Baik itu warga yang memeluk Budha, Islam dan Hindu. Slawatan tetap ada sebagai wujud membantu warga yang kesusahan.
"Itu adat wajib, harapannya musibah itu tak sampai ke sanak keluarganya. Sesudah slametan tumpeng pras itu jika warga muslim menggelar tahlilan ya boleh saja," kata seorang sesepuh adat Tengger Ngadas, Ngatono.
Bagi warga Suku Tengger, ada keyakinan tentang duata atau sing baurekso atau roh leluhur yang lebih dulu mendiami sekaligus penguasa desa itu. Doa dibacakan di setiap upacara adat menggunakan bahasa jawa Tengger dan ditujukan kepada roh leluhur. Sebagai penghormatan sekaligus agar desa terhindar dari marabahaya.
Ada beberapa upacara adat lainnya yang wajib warga Suku Tengger. Misalnya, Pujan Karo atau upacara karo setiap tanggal 15 kalender saka Tengger. Ini adalah hari raya warga Suku Tengger. Hidangan yang disajikan tuan rumah wajib disantap bagi siapa saja yang datang bertamu.
Ada upacara pujan kapat atau bulan keempat, upacara kasada di bulan dua belas. Upacara unan – unan digelar lima tahun sekali dengan selalu menyembelih kerbau. Tradisi ater – ater, saling bergantian mengirim makanan saat hari raya keagamaan seperti idul fitri, waisak dan nyepi.
"Seluruh adat itu menjadi kekuatan kami. Kalau ada warga luar desa yang menikah dengan warga kami, tetap harus mengikuti tradisi kami," tutur Ngatono.
Advertisement
Tradisi Jadi Sistem Deteksi Dini Gerakan Radikalisme
Tradisi yang ada di tengah masyarakat baik yang bersumber dari agama atau perpaduan antara agama dan budaya itu menjadi perekat sosial. Bisa menjadi modal untuk menangkal radikalisme dan terorisme yang terus bermunculan.
Guru besar Sosiologi Agama Universitas Muhammadiyah Malang, Profesor Syamsul Arifin mengatakan, adat istiadat di tengah masyarakat bisa menjadi early warning system atau sistem deteksi dini.
"Kearifan lokal itu menjadi mekanisme sosial dan budaya di akar rumput. Bisa menjadi alat deteksi dini jika ada perilaku radikalisme di tengah mereka," kata Syamsul.
Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang ini menambahkan, masyarakat terutama di pedesaan mudah mengenali jika muncul gerakan kelompok radikal. Meski tak bisa digeneralisir, kelompok itu bisa dikenali dari perilaku radikalisme yang cenderung menyimpang dari norma sosial.
Baik itu dengan segala atribut yang dikenakan, sampai pemahaman menolak tradisi yang berlaku di tengah masyarakat. "Kalau ada yang di luar mainstream, maka bisa dideteksi bahwa ada penyusupan paham kelompok tertentu di tengah masyarakat," tutur Syamsul.
Memperkuat budaya asli agar tetap bertahan di era kemajuan teknologi ini menjadi satu modal penting menangkal pemahaman radikalisme. Syamsul melanjutkan, upaya deradikalisasi juga tak mudah. Program deradikalisasi dengan pendekatan disengagement atau mengubah perilaku pelaku terorisme belum sepenuhnya efektif.
"Pelaku terorisme usai dihukum masih berpotensi mengulang perbuatannya lagi. Maka kearifan lokal itu menjadi tindakan pencegahan munculnya radikalisme," ucap Syamsul.
Wilayah Malang Raya memiliki catatan panjang dengan berbagai kelompok radikal sampai aksi terorisme. Malam natal, 24 Desember 1984, bom meledak di gedung Seminari Alkitab Asia Tenggara dan Gereja Sasana Budaya Katolik, Kota Malang.
Otak peristiwa Bom Bali 2002, Dr Azahari tewas di tempat persembunyiannya di Kota Batu pada 2005. Di Januari 2014, sebuah mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) di Karangploso, Kabupaten Malang, meledak yang diduga terkait aksi terorisme.
Kurun Maret 2015 sampai Februari 2016, tercatat ada 14 terduga jaringan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) ditangkap di tiga tempat berbeda di Malang. Gereja Katolik di Kota Batu diteror bom pada November 2016. Pada 22 Juni 2017, seorang warga Pagentan, Singosari, Kabupaten Malang, juga ditangkap dengan dugaan terkait ISIS.
Â
Â