Liputan6.com, Purbalingga – Ishak terpekur mengingat-ingat masa kanak-kanak hingga remajanya, di Kalimanah, Purbalingga. Bayangan itu selalu menghampiri bekas anggota Resimen Cakrabirawa yang kini berusia 81 tahun itu.
Dia menuturkan, kerapkali, muncul kelebatan ingatan peristiwa-peristiwa pilu, menyedihkan, hingga lucu. Salah satu yang dia ingat adalah, kisah penolakan kiainya di pondok pesantren tempat ia menuntut ilmu.
Sang kiai, menolak menemui Ishak yang jauh-jauh dari Jakarta, khusus untuk sowan. Kejadian itu telah lebih dari 50 tahun berlalu, namun rasa sedih yang dirasakan masih terasa sampai sekarang.
Advertisement
"Kalau saya mengingat, sesak dada saya. Saya sedih ditolak oleh kiai saya. Beliau tidak mau menemui saya," ujarnya, Rabu, 4 Oktober 2017.
Dia berkisah, lahir 1936 dari keluarga melek agama. Ayahnya adalah kayim, yakni perangkat desa yang bertugas mengurus acara-acara keagamaan, termasuk mengurus orang mati dan perkawinan.
Baca Juga
Posisi kayim, saat itu, amat sentral. Sebab itu, kayim mesti benar-benar dalam ilmu agamanya. Dan kayim, pasti berasal dari kalangan santri.
Sebagaimana orangtuanya, Ishak kecil pun lantas belajar di pesantren. Setidaknya, Ishak telah belajar di tiga pesantren wilayah Jawa Tengah. Namun, dia enggan menyebut pesantrennya.
"Jangan lah, nggak usah," jawabnya. Rupanya, ia khawatir reputasi Cakrabirawa dan eks Tapol bisa mempengaruhi nama baik pesantren, bahkan hingga hari ini.
Singkat cerita, Ishak menjadi pemuda yang gagah lagi berilmu agama. Masa depan terbentang luas di depannya.
Di usianya yang ke-21, tepat pada 1957, ia mendapat kabar ada penerimaan tentara. Lokasi pendidikannya pun tak begitu jauh dari Purbalingga, yaitu Gombong, Kabupaten Kebumen. Ia pun lantas mendaftar dan diterima.
"Waktu itu saya memang tidak meminta izin Pak Kiai," tuturnya.
Ilmu agama dan suaranya yang merdu saat membaca Alquran menyebabkan karirnya melesat cepat. Dimulai dari pangkat Prajurit, dalam jangka lima tahun, dia sudah menjadi seorang sersan. Di kesatuannya, ia kerap didaulat menjadi imam salat, khotib Jumat, hingga mengajar mengaji tentara rendahan dan perwira.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Terseret Pusaran Politik
Hingga suatu hari di 1963, dia mendapat undangan sekaligus perintah dari Kodam Diponegoro untuk mengikuti seleksi Resimen Cakrabirawa. Girang lah dia.
Pada masa itu, Cakrabirawa adalah tentara elit dengan fasilitas kelas satu yang sulit dicari tandingannya. Ia lulus dengan diliputi kebanggaan.
"Seleksinya sangat berat. Mulai fisik, menembak, keahlian bela diri. Psikotesnya saja dua hari," dia mengenang masa membahagiakan itu.
Ia beranggapan, menjadi anggota Resimen Pasukan Elit Cakrabirawa juga akan membuat bangga almamaternya di pesantren. Begitu dilantik menjadi anggota resimen pengawal presiden itu, ia pun pulang ke Kalimanah.
Seusai sungkem kedua orangtuanya, Ishak muda dengan atribut lengkap Cakrabirawa, hendak sowan kepada kiainya. Sowan itu adalah adab wajib murid kepada guru, seperti yang dipelajarinya di kitab klasik Ta’limul Muta’allim.
Berharap membanggakan pesantren, sang guru justru tak mau menemui Ishak. Ishak pun dirundung sedih. Ia tak mengerti mengapa guru yang sangat dihormatinya menolak kedatangannya.
"Kiai tidak mau menemui saya. Sesak dada saya," kata dia sambil memegang dada, seolah-olah kisah itu baru saja terjadi.
Jawaban atas penolakan kiainya itu, rupanya baru dipahami Ishak dua tahun kemudian, 1 Oktober 1965. Ishak terseret pusaran politik yang sama sekali tak dipahaminya.
Ia ditangkap lantaran berada di Lubang Buaya saat pembunuhan enam jenderal dan satu perwira AD terjadi. Mungkin, sang kiai telah memiliki firasat, Cakrabirawa akan menjadi sandungan bagi Ishak di masa depan.
"Saya paham. Saya tidak bisa meminta maaf langsung. Saya hanya bisa berdoa di makam beliau. Sebab, sejak 1965, saya baru bisa kembali ke Purbalingga tahun 1978, setelah dibebaskan dari Tahanan Salemba," kata Ishak sambil menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
Advertisement