Liputan6.com, Jambi - Rencana jahat komplotan penyelundup bayi lobster atau bibit lobster akhirnya terhenti di Jambi. Pelaku ditangkap jajaran Direktorat Polisi Perairan (Dit Polair) bersama petugas Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (SKIPM) Jambi.
Penangkapan itu terjadi pada Sabtu malam, 21 Oktober 2017. Sebelum penangkapan, petugas gabungan Dit Polair dan SKIPM mendapat informasi akan ada transaksi lobster di Kota Jambi. Dari informasi itu, ribuan bayi lobster dibawa ke Jambi dan berasal dari pesisir Jawa.
Advertisement
Baca Juga
Petugas kemudian menggelar operasi khusus di jalur masuk Kota Jambi. Tepat di depan Kantor Camat, Kotabaru, Kota Jambi, polisi menghentikan dua unit mobil jenis minibus. Saat pemeriksaan, di dalam kedua mobil itu didapati 38.326 bayi lobster yang dibungkus ratusan kantong dalam sembilan boks khusus.
Dua orang sopir minibus dan satu orang lainnya juga ikut diamankan. Ketiganya adalah Mansur (46), warga Jakarta Timur, Aripudin (50), warga Jakarta Utara, dan Muamar (28) yang juga warga Jakarta Utara.
"Jadi, dari Jambi menggunakan jalur laut melalui pelabuhan di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat," ujar Kapolda Jambi melalui Kabid Humas Polda Jambi, Kuswahyudi Tresnadi di Jambi, Senin (23/10/2017).
Menurut dia, ribuan bayi lobster tersebut bernilai miliaran rupiah. Harga satu ekor bayi lobster ditaksir mencapai Rp 150 ribu. Jika dikalikan 38.326 ekor bayi lobster, nilainya mencapai Rp 5,74 miliar.
"Kasus ini akan kami dalami untuk mencari aktor atau pelaku penyelundupan lobster ini," ucap Kuswahyudi.
Para penyelundup akan dijerat dengan Pasal 88 Jo Pasal 16 (1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan dengan ancaman enam tahun penjara dan denda Rp 1,5 miliar.
Usai disita, rencananya ribuan benih lobster itu akan dilepasliarkan di habitat aslinya, yakni di pesisir selatan Jawa.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Rugikan Nelayan Indonesia
Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah gencar memerangi praktik penyelundupan benih lobster ke Vietnam. Bisnis ekspor ilegal komoditas ini memberi keuntungan berlipat bagi Vietnam, namun mematikan nelayan Indonesia.
Menurut Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) KKP, Rina, larangan penangkapan atau jual beli lobster, kepiting, dan rajungan dari wilayah NKRI masih berlaku hingga saat ini.
Larangan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 mengenai Larangan Penangkapan Dan/Atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Wilayah NKRI.
"Tapi ada orang yang tergiur menangkap dan memperjualbelikan, bahkan menyelundupkan benih lobster maupun kepiting bertelur karena iming-iming rupiah," kata Rina, Februari 2017 lalu.
Ia menjelaskan, pengiriman, pengangkutan, perdagangan, dan usaha penyelundupan benih lobster di Indonesia paling marak jenis lobster batik, bambu, pasir, dan mutiara. Paling marak penangkapan dan ekspor ilegal jenis lobster mutiara karena harganya yang cukup mahal dibanding tiga jenis lain.
"Harga yang paling tinggi jenis mutiara. Satu ekor benih lobster mutiara sebesar kelingking dihargai Rp 60 ribu per ekor di pengepul, tapi sampai di Vietnam dijual Rp 130 ribu per ekor," dia menerangkan.
Sementara benih lobster jenis pasir, lanjut Rina, harganya hanya Rp 15 ribu-Rp 20 ribu per ekor di Indonesia. Setelah sampai ke Vietnam diharga lebih mahal Rp 60 ribu per ekor.
"Oleh Vietnam, lobster itu dibesarkan dan nelayan mereka bisa panen dan menjual lobster hingga Rp 1 juta per Kilogram (Kg). Wong di sini saja makan lobster di restoran Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta per Kg," Rina memaparkan.
Ia mengatakan penyelundupan lobster dari Indonesia ke Vietnam minimal satu koper sekitar 10 ribu-12 ribu ekor. Artinya, 12 ribu ekor dikalikan Rp 1 juta sehingga potensi kerugian mencapai Rp 12 miliar. Faktanya, kata dia, satu kali pengiriman ilegal mencapai dua atau tiga koper yang berarti mencapai 36 ribu ekor benih lobster.
"Dikalikan saja potensi kerugian Indonesia jika lobster itu tumbuh besar. Jadi kita minta nelayan untuk sabar, tidak usah buru-buru ditangkap, biarkan besar dan yang akan menikmati keuntungan kan nelayan juga," pinta Rina.
Dia menjelaskan, sumber utama benih lobster jenis mutiara banyak terdapat di perairan Mataram, Lombok, dan Jawa Timur. Negara tujuan utama penyelundupan, diakuinya, yang terbesar saat ini Vietnam dan Singapura.
"Memang ada pasar gelapnya di Vietnam," Rina menegaskan.
Dengan maraknya penyelundupan benih lobster, dia menerangkan, Vietnam kini menjadi pengekspor lobster terbesar. Padahal beberapa tahun sebelumnya, Indonesia yang memimpin pasar ekspor lobster ke negara lain.
"Dulu semua nelayan nunggu lobster ukuran besar baru ditangkap. Makanya grafik ekspor kita 2013-2014 sampai 45 ribu ton lobster. tapi sekarang orang berpikiran menjual benih demi keuntungan pribadi dan negara lain yang mendapatkan hasil akhirnya," keluhnya.
Menurut Rina, pemerintah melalui KKP terus melakukan sosialisasi kepada para nelayan sebagai langkah preventif atau pencegahan ekspor ilegal benih lobster. Bahkan, Menteri Susi telah bertindak melobi pemerintah Vietnam untuk bersama-sama memberantas praktik tersebut.
"Kerja sama dengan Vietnam sudah kita coba berkali-kali kirim nota dinas. Tim juga sedang melobi pemerintah Vietnam untuk menutup itu (pintu ekspor ilegal). Bu Susi juga sudah bertindak, tapi persepsi kita tidak sama, mereka merasa itu merupakan penghidupan rakyatnya," Rina mengungkapkan.
Advertisement