Liputan6.com, Makassar - Kebijakan Donald Trump yang mengetatkan jumlah imigran berdampak pada dipulangkan atau dideportasinya ratusan Warga Negara Indonesia (WNI) termasuk WNI yang berasal dari Manado, Sulawesi Utara (Sulut)
"Sudah ada 588 warga Indonesia di Amerika yang mendapat keputusan final dari otoritas setempat untuk dipulangkan," ungkap Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Lalu Muhammad Iqbal di Manado, Rabu, 1 November 2017, malam.
Iqbal memang tidak merinci berapa banyak di antara mereka merupakan warga Manado, hanya saja, katanya, mayoritas WNI di Amerika merupakan orang Sulut, khususnya Minahasa.
Advertisement
"Mereka kini berstatus final deportation order, dulunya juga sudah begitu tapi pemerintahan sebelumnya memberikan kelonggaran sehingga bisa tetap bermukim di Amerika," kata Iqbal.
Baca Juga
Dalam penelusuran Kemenlu, ada warga Sulut di Amerika merupakan pendatang ilegal. Namun, setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan di negeri orang, warga Minahasa yang berada di sana mendapat kehidupan yang lebih mapan, bahkan banyak di antaranya meraih kesuksesan.
Generasi kedua orang Manado yang lahir di New Hampshire, Chicago, Los Angeles, dan San Fransisco berupaya keras untuk mengenyam pendidikan tinggi. Dengan sumber daya yang siap bersaing, tak jarang mereka mendapatkan posisi penting di lingkungan kerja. Tentu ini juga berimbas pada peningkatan ekonomi.
Iqbal mengelompokkan 3 jenis kelompok WNI yang segera dideportasi. Pertama, adalah assylum seeker atau pencari suaka yang ditolak pengadilan. Mereka berada di sana pasca-kerusuhan 1998. Kedua, adalah penerima suaka yang sudah tidak bisa balik lagi ke Indonesia karena terikat regulasi Amerika.
"Berikutnya adalah pengunjung yang memegang visa kunjungan dan melebih batas waktu tinggal," jelas dia.
Simak video pilihan berikut ini:
Para Imigran Ambil Langkah Hukum
Bentuk perlawanan terhadap kebijakan pengetatan jumlah imigran dilakukan lewat gugatan praperadilan untuk menguji keabsahan sebuah langkah hukum. Beberapa di antara WNI yang mengambil jalan habeas corpus bisa menunda deportasi sambil menunggu putusan inkrah pengadilan di Amerika. Pasangan Meldy dan Eva Lumangkun adalah contohnya.
Penundaan deportasi ini, menurut Iqbal, akan berlaku sampai pengadilan memutuskan apakah "memiliki kewenangan untuk menangani gugatan tersebut atau tidak".
Sebelumnya, karena status mereka yang ilegal di Amerika, tiap tahun Meldy dan Eva harus melapor atau disebut 'chek-in', ke pihak Imigrasi dan Penegakan Bea Cukai Amerika Serikat (ICE).
Advokasi pemerintah Indonesia terhadap warganya yang terancam dideportasi dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya sosialiasi lewat leaflet. Iqbal mengatakan lembaran yang dibagikan itu berisi cara-cara agar WNI di Amerika bisa terhindar dari penjaringan keimigrasian.
Cara itu dilakukan tanpa mengesampingkan aturan di negara tersebut. Kemenlu juga menyiapkan jasa pengacara untuk pembelaan di persidangan. Iqbal mengatakan, mereka juga membuka kontak hotline 1×24 jam agar warga Indonesia bisa berkonsultasi bila mendapat masalah.
Di sisi lain, pihak Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia atau BP3TKI Sulawesi Utara memastikan tidak memiliki data pasti berapa banyak warga Sulut yang kini bermukim di Amerika. Mereka pernah melakukan penelusuran di Langowan, Minahasa untuk mencari data-data terkait, namun tidak berhasil.
Iqbal juga mengakui sulitnya menyusun data valid soal jumlah WNI maupun TKI yang kini berada di luar Indonesia. "Data kami sejauh ini hanya diketahui lewat proses legal yang bisa teridentifikasi per nama yang jumlahnya mencapai 2,9 juta orang," Iqbal menandaskan.
Advertisement