Ketika Kota di Jepang Berguru kepada Sleman Tangani Erupsi Gunung

Kota Kagoshima ingin belajar persiapan prabencana, pada saat bencana, dan pascabencana erupsi gunung api dari pengalaman pemerintah Sleman.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Nov 2017, 09:04 WIB
Diterbitkan 03 Nov 2017, 09:04 WIB
Gunung Merapi
Gunung Merapi (Liputan6.com/ Reza Kuncoro)

Liputan6.com, Sleman - Pengalaman penangggulangan bencana erupsi Gunung Merapi pada 2010 di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, menarik Kota Kagoshima, Jepang, untuk belajar menghadapi ancaman bencana serupa di wilayah itu.

"Kota Kagoshima menilai penanganan bencana erupsi Gunung Merapi 2010 cukup baik, sehingga mereka tertarik untuk mempelajari upaya penanggulangan bencana serupa," kata Kabag Humas Setda Kabupaten Sleman Sri Winarti, seperti dilansir Antara, Jumat (3/11/2017).

Menurut dia, Kota Kagoshima ingin belajar mulai dari persiapan sebelum prabencana, pada saat bencana, dan pascabencana.

"Oleh karena itu, pemerintah Kagoshima Jepang mengundang Bupati Sleman Sri Purnomo untuk secara khusus mempresentasikan pengalaman Pemerintah Kabupaten Sleman dalam penanganan kejadian bencana pada erupsi Merapi 2010," katanya.

Ia mengatakan, Bupati Sleman kemudian didampingi peserta dari Kabupaten Sleman, Kabupaten Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, yang juga merupakan daerah terdampak erupsi Merapi.

"Di samping itu peserta juga berasal dari UGM Yogyakarta, Balai SABO, BPPTKG Yogyakarta, dan Badan Geologi. Anggaran Perjalanan Dinas ini ditanggung oleh Japan International Coorporation Agency (JICA)," katanya.

Sri Winarti mengatakan erupsi Gunung Merapi pada 2010 memang luar biasa dahsyatnya untuk ukuran erupsi di zaman modern ini. Gunung Merapi memiliki kategori erupsi dengan skala IV (material yang dimuntahkan lebih dari 100 juta m3).

"Hal inilah yang membuat masyarakat kalang kabut karena dalam waktu 100 tahun lebih gunung tersebut tidak mengalami letusan sedahsyat ini," ujar Sri.

Ia mengatakan, tidak ada saksi hidup atau data sejarah yang bisa menceritakan kejadian tersebut secara rinci.

Peta Kawasan Rawan Bencana pun hanya memperkirakan radius tujuh kilometer di sekitar Gunung Merapi. Hal itulah yang membuat masyarakat "tidak percaya" atas analisis BPPTKG dan PVMBG yang mengeluarkan peta ancaman sampai dengan radius 20 kilometer dan penduduk di dalam radius tersebut harus keluar dan mengungsi.

"Tak kurang 275 penduduk meninggal dunia, 2.882 rumah rusak, dan jumlah pengungsi sebanyak 158.645 jiwa," papar Sri.

Erupsi Merapi 2010 ini juga mengakibatkan terjadinya gelombang pengungsi yang cukup besar ke daerah yang aman.

"Arus pengungsi juga merambah di wilayah provinsi tetangga, yaitu Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan ada sebagian mengungsi sampai Provinsi Jawa Barat," Sri menambahkan.

Arus pengungsian ini, kata Sri, dikoordinasikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman. Namun, dalam pelaksanaan arus pengungsian, masyarakat melakukan evakuasi secara mandiri.

"Mereka menggunakan alat transportasi yang dimiliki oleh masyarakat sendiri tanpa menggantungkan sepenuhnya kepada pemerintah," katanya.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Foto Seharga Nyawa, Apakah Harus Dikejar?

Kisah Di Balik Sebuah Foto
Sebuah manequin yang terbakar dalam tragedi kebakaran Pasar Johar Semarang 2015. (foto: Liputan6.com/Budi Purwanto/Edhie Prayitno Ige)

Pernahkah membayangkan bagaimana sebuah foto jurnalistik dihasilkan? Bisa jadi sang pewarta foto akan masuk ke dasar gua, dibayang-bayangi awan panas gunung meletus, atau bahkan harus bertahan berhari-hari melawan jenuh, lelah fisik lelah jiwa, sekadar untuk mendapatkan gambar yang keren.

Pengalaman Budi Purwanto sebagai jurnalis foto menegaskan bahwa di balik karya foto jurnalistik yang wow, ada pertaruhan nyawa.

"Menjadi pewarta foto itu menantang. Apalagi zaman dulu, belum banyak. Hanya media-media mainstream yang punya jurnalis foto," kata Budi kepada Gina Mardani Cahyaningtyas, finalis Citizen Journalist Academy Semarang dari kelas menulis.

Budi berkisah banyak hal di balik munculnya sebuah foto yang menghebohkan. Menurut dia, menjadi pewarta foto adalah pilihan. Meski demikian, untuk menjadi pewarta foto, tak boleh mengorbankan segalanya.

"Pernah dengar tidak ada foto seharga nyawa? Sebagai jurnalis foto pun harus tahu yang lebih berharga tetap nyawa. Percuma dapat gambar yang bagus kalau enggak selamat," kata Budi, Kamis (26/10/2017).

Tugas pewarta foto harus bisa memberikan penjelasan kepada masyarakat, jika ada kesimpangsiuran informasi. Dicontohkan simpang siur adanya mata air bawah tanah.

Masyarakat dan para ahli yang menolak pembangunan pabrik semen menyebutkan adanya banyak mata air atau sumber air yang menjadi penyangga kebutuhan air di situ. Sementara kelompok yang setuju pembangunan menyebutkan isu itu dilebih-lebihkan.

"Sebagai jurnalis, pewarta foto harus bisa menjernihkan masalah ini. Salah satunya dengan foto. Jangan heran kalau saya sampai harus menuruni dasar gua yang hanya muat untuk satu tubuh saja. Belum lagi nanti kesulitan pengambilan gambar karena sempitnya ruang," kata Budi.

Menurut Budi, pewarta foto tidak jarang harus bertaruh nyawa. Salah satu kisah menarik yang dipaparkan Budi ketika ia harus memotret keadaan Merapi sesudah erupsi.

"Saat itu memakan korban, ada orang yang berlindung di bungker, tapi bungkernya tembus. Kita harus ke sana, masih dibayang-bayangi wedhus gembel kan, sehabis erupsi," kata Budi.

Tantangan menjadi jurnalis foto tidak hanya berhenti sampai di situ. Kerap kali pewarta foto harus sabar menangkap momen, begitu pula yang ia rasakan ketika Gunung Merapi statusnya menjadi Awas.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya