Semangat Pagi dan Doa di Kampung Kusam Pemulung

Pagi itu para pemulung tampak bahagia. Tak ada raut sedih, meski kenyataan hidup mereka sangat memprihatinkan.

oleh Ola Keda diperbarui 13 Des 2017, 06:00 WIB
Diterbitkan 13 Des 2017, 06:00 WIB
Kehidupan pemulung di Kupang
Kehidupan 46 keluarga pemulung sampah di TPA Alak, Kota Kupang, NTT, sangat memprihatinkan. (Liputan6.com/Ola Keda)

Liputan6.com, Kupang - Kehidupan 46 keluarga pemulung sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) di Alak, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), sangat memprihatinkan. Demi hidup, mereka harus berjuang melawan panas, hujan, dan bau yang menyengat. Mereka tak lelah mengais barang rongsokan untuk dijadikan uang.

Gubuk yang terbuat dari karung, kardus, terpal, dan seng bekas itu dijadikan rumah para pemulung beserta keluarganya. Pagi itu, para pemulung tampak bahagia. Tak ada raut sedih, meski kenyataan hidup mereka sangat memprihatinkan.

"Penghasilan kami dari mengumpul barang-barang bekas ini sekitar Rp 200 ribu sampai Rp 500 ribu setiap bulan, tergantung jenis sampah yang kami kumpulkan," ucap seorang pemulung, Susana (67), Minggu, 10 Desember 2017.

Suasana memang mendapat KIP (Kartu Indonesia Pintar) untuk anaknya. "Tapi, di tempat sekolah anak saya di SMPN 16, katanya tidak berlaku," ujarnya.

Dia meminta perhatian serius dari pemerintah terhadap kondisi mereka khususnya kesehatan dan pendidikan bagi anak-anak pemulung.

"Setiap hari kami bergumul dengan sampah, tolong perhatikan anak-anak kami," pinta Sarce.

Setiap hari, para pemulung harus berjuang melawan panas, hujan dan bau yang menyengat untuk bisa mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan anak-anaknya.

 

Kepedulian Wakil Rakyat

Kehidupan pemulung di Kupang
Kehidupan 46 keluarga pemulung sampah di TPA Alak, Kota Kupang, NTT, sangat memprihatinkan. (Liputan6.com/Ola Keda)

Kondisi para pemulung di TPA Alak, Kota Kupang, tak luput dari keprihatinan sejumlah kalangan. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Kristo Blasin, misalnya. Dengan kesederhanaannya, Kristo menyempatkan diri menemui para pemulung, Minggu pagi, 10 Desember 2017.

Kristo yang datang mengenakan kaus oblong putih, celana jeans hitam, dan sandal jepit merah, langsung berbaur dengan para pemulung. Kebetulan saat itu banyak anak pemulung berusia sekolah dasar (SD) di tempat itu.

Tampak tak ada jarak antara politikus yang dikenal rendah hati ini dengan para pemulung. Ia masuk ke gubuk-gubuk tempat beristrahat para pemulung. Kristo tak mempedulikan aroma bau sampah yang menyengat.

"Saya datang sebagai saudara. Sebagai saudara, kami ingin melihat dan merasakan apa yang kalian alami di tempat ini," ujar Kristo dengan mata berkaca-kaca.

Kristo yang datang ditemani Tim Barisan Relawan (Bara) mengaku prihatin dengan nasib para pemulung. Terutama, kondisi balita dan anak-anak yang turut membantu orangtuanya mengais sampah di lokasi tersebut.

Menurut dia, perlu ada manajemen pengelolaan sampah yang lebih profesional. Mereka memulung tanpa dilengkapi dengan alat pengaman berstandar kesehatan seperti sarung dan masker. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Apalagi, ada anak balita dan anak-anak yang ikut dibawa ke lokasi ini.

"Ini menjadi keprihatinan kita," kata Kristo.

 

Berhak Dapatkan Penghidupan Layak

Kabut Metan Kaki Bukit Bantar Gebang
Seorang pemulung berada di atas tumpukan sampah di TPA Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Kondisi para pemulung, menurut Kristo, harus mendapat perhatian semua elemen baik pemerintah, lembaga swadaya masyarakat maupun warga.

"Sebagai warga negara, mereka punya hak untuk mendapatkan penghidupan yang lebih layak," ujarnya.

Menurut Kristo, kehidupan para pemulung tersebut harusnya menjadi refleksi berharga bagi para eksekutif dan legislatif.

"Ini fakta yang tidak bisa dielakkan bahwa di Kota Kupang, ibu kota Provinsi NTT, ada banyak masyarakat yang hidup jauh di bawah garis kemiskinan," katanya.

Apalagi, kehidupan para pemulung itu tampak di depan mata. "Perlu direfleksikan oleh para pengambil kebijakan di daerah ini, apakah alokasi anggaran sudah adil? Sudah tepat sasaran? Saya meragukan itu," Kristo melontarkan kritik.

Kristo menambahkan, masyarakat miskin, harus menjadi sasaran utama dari pembangunan. Mereka bisa diangkat menjadi tenaga honor Dinas Kebersihan, seperti yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat menjabat gubernur di Jakarta, beberapa waktu lalu.

"Kalau kepala daerah dan legislatif bisa bersepakat membuat mega proyek, kenapa tidak dibuat kebijakan untuk membantu para pemulung," ucap Kristo Blasin.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya