Liputan6.com, Bengkulu - Bengkulu memiliki tradisi gotong royong yang masih dipertahankan di zaman modern ini, namanya Ngacau Gelamai. Istilah ini dilekatkan dalam aktivitas mengaduk adonan untuk membuat kudapan bernama gelamai.
Gelamai adalah kudapan seperti dodol yang dibuat selama lebih dari tujuh jam di atas tungku dengan bara api sedang. Adonannya terdiri dari tepung beras, santan kelapa, gula merah, dan air yang diaduk secara terus-menerus hingga mengental.
Ujang Iskandar, sesepuh masyarakat Kota Bengkulu mengatakan, tradisi membuat penganan yang disebut Ngacau Gelamai ini merupakan cara warga mempertahankan kebersamaan dengan bergotong royong.
Advertisement
Setiap 15 menit, warga akan bergantian mengayun sendok bertangkai kayu sepanjang satu meter sambil berkeliling menyapu bagian pinggir belanga atau kuali besar.
Baca Juga
"Seluruh warga dan keluarga yang ada di tempat Ngacau Gelamai terlibat secara bergotong royong, termasuk anak anak," ucap Ujang di Bengkulu, Minggu (24/12/2017).
Setelah adonan diaduk mulai mengental atau lebih dari tiga jam, pergantian orang mengayun sendok menjadi lebih cepat. Sebab, adonan sudah mulai berat dan memerlukan tenaga yang lebih besar
Biasanya kaum pria mulai mengambil alih dengan jarak waktu pergantian mengaduk dari 10 menit hingga lima menit saja.
Sri Armaini, ahli pembuat gelamai Bengkulu, mengatakan setelah adonan tidak lengket lagi ditandai dengan bentuknya yang menyatu. Bara api mulai disingkirkan, namun tetap diaduk hingga adonan menjadi dingin. Setelah dingin, secara gotong royong diangkat dan dimasukkan ke dalam nampan beralas daun pisang.
Saksikan tayangan video pilihan berikut ini:
Makan Bersila
Setelah bergotong royong melakukan tradisi Ngacau Gelamai, semua warga yang terlibat duduk bersila di atas berenda atau teras rumah untuk makan bersama. Menu yang disajikan juga merupakan makanan khas yang dimasak khusus.
Menurut Oka Shanti, dalam makan bersama dengan cara duduk bersila itu, mereka biasanya menyajikan lauk yang biasa disebut Masak Asam Incek Kacang Merah, lauk ini terdiri dari kacang merah yang dimasak pedas bersama ikan teri kering dan kacang panjang.
"Masak Asam ini biasanya paling diserbu, karena sangat jarang disajikan, hanya waktu tertentu saja kami memasaknya," ujar Shanti.
Selain Masak Asam Incek Kacang Merah, menu lain yang juga disajikan adalah Ikan Balur atau sejenis ikan asin besar yang dipotong petak digoreng kering. Setelah kering ditaruh di atas piring, lalu dikasih cabqi hijau bersama bawang mentah dan disiram minyak goreng panas.
Ada lagi satu menu khas Bengkulu yang juga biasanya disajikan, namanya Goreng Kabau. Kabau adalah buah sejenis petai dan jengkol yang memiliki aroma khas. Goreng Kabau juga digoreng kering bersama cabai merah iris dan ikan teri kering yang dicampur dalam satu kali masak.
Menurut Adil Qurniawan, salah seorang anggota Kerukunan Keluarga Tabut Bencoolen, makan bersila atau dalam bahasa Melayu Bengkulu disebut Nyuok Beselo lebih memupuk rasa kebersamaan, dan membangun keakraban. Biasanya kaum pria terlebih dahulu makan, setelah selesai, baru para perempuan bersama anak anak juga ikut makan.
"Hanya mengambil nasi dan lauk saja, kaum pria terlebih dahulu, tetapi makan bersilanya tetap bersama sama," kata Adil.
Advertisement
Ngota Baso Bengkulu
Setelah makan bersila, para warga melanjutkan aktivitas dengan mengobrol ataupun bersenda gurau sambil minum kopi menunggu gelamai yang sudah didalam nampan menjadi dingin. Tidak ada anggota yang boleh menggunakan bahasa lain dalam obrolan tersebut. Semuanya harus menggunakan bahasa Melayu pesisir Kota Bengkulu.
Ketua Komunitas bahasa Bengkulu atau Bencoolen Speaking Community Endang Kurnia Saputra mengatakan, banyak hal yang dibicarakan saat duduk minum kopi atau biasa disebut ngatoa baso Bengkulu tersebut. Mulai dari pelurusan penggunaan bahasa asli Bengkulu hingga obrolan terkait budaya, perkembangan kota, dan permasalahan keluarga.
"Cara ini kami lakukan untuk tetap mempertahankan tradisi bahasa yang sebagian sudah mulai ditinggalkan," Endang menegaskan.
Komunitas ini juga sudah menerbitkan sebuah buku pegangan berjudul Pernik Baso Bengkulu yang disebar ke berbagai kalangan. Tujuannya untuk menjadi pegangan saat orang menggunakan bahasa Melayu Bengkulu.
Saat ini sudah terjadi percampuran kebiasaan berbahasa yang terimbas dari bercampurnya masyarakat asli dengan kaum pendatang. Istilah dari bahasa luar Bengkulu itu bahkan menjadi kebiasaan dalam penyebutan. Untuk menghindarinya, maka buku Pernik Baso Bengkulu ini menjadi acuan dalam berbahasa Melayu Bengkulu.
"Tidak ada masalah terjadi percampuran dalam penuturan bahasa lokal, tetapi kita harus bijak untuk mempertahankan keaslian bahasa Melayu Bengkulu," Endang Kurnia Saputra memungkasi.