2017, KPK Tangkap Jaksa, Hakim, hingga Gubernur di Bengkulu

Mulai dari jaksa, hakim, pengusaha, hingga gubernur beserta istrinya dijaring dalam operasi KPK di Bengkulu sepanjang 2017.

oleh Yuliardi Hardjo Putro diperbarui 30 Des 2017, 21:00 WIB
Diterbitkan 30 Des 2017, 21:00 WIB
2017 KPK Tangkap Jaksa, Hakim hingga Gubernur Bengkulu
KPK menangkap hakim, jaksa hingga Gubernur dan istri dalam OTT di Bengkulu sepanjang tahun 2017 (Liputan6.com/Yuliardi Hardjo)

Liputan6.com, Bengkulu - Tim Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan taringnya sebagai lembaga anti-rasuah sepanjang 2017 di Bengkulu. Tindak pidana penyuapan yang masuk dalam ranah perbuatan korupsi ini bahkan dilakukan secara berjemaah atau bersama sama.

Tidak tanggung-tanggung, mulai dari jaksa, hakim, pengusaha, hingga gubernur beserta istrinya dijaring dalam operasi KPK di Bengkulu sepanjang 2017. Semua kasus tersebut saat ini sudah bergulir ke meja hijau Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kota Bengkulu.

Tuntutan terberat yang dibacakan tim JPU KPK dalam persidangan PN Tipikor Bengkulu dialamatkan kepada Gubernur Bengkulu non-aktif Ridwan Mukti dan istrinya, Lily Martiani Maddari. Keduanya dituntut hukuman pidana penjara selama sepuluh tahun.

"Ada unsur penyelenggara negara, dalam hal ini penyelenggara negaranya Ridwan Mukti dalam kapasitas sebagai Gubernur Bengkulu," ujar Haeruddin.

Hampir semua terdakwa tersebut sudah divonis hakim PN Tipikor dengan dengan hukuman pidana kurungan badan dan denda. Jika tidak ada aral melintang, pada pertengahan bulan Januari 2018, PN Tipikor Bengkulu juga akan menuntaskan proses persidangan terhadap Gubernur Bengkulu non-aktif bersama istrinya.

Berikut rangkuman OTT KPK di Bengkulu sepanjang tahun 2017

 

Saksikan tayangan video pilihan berikut ini:

 

Jaksa Kejati Bengkulu Terjaring OTT

2017 KPK Tangkap Jaksa, Hakim Hingga Gubernur Bengkulu
Satu orang Jaksa Kejati Bengkulu ditangkap KPK dalam OTT di Bengkulu bulan Juni 2017 lalu (Liputan6.com/Yuliardi Hardjo)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Bengkulu pada Jumat, 9 Juni 2017 dini hari. KPK mengamankan tiga orang yang diduga melakukan transaksi suap.

Mereka adalah Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Tinggi Bengkulu Parlin Purba bersama Amin Anwari, salah seorang Pejabat Pembuat Komitmen di Balai Wilayah Sungai Sumatra VII dan seorang kontraktor bernama Murni Suhardi.

Tim JPU KPK menuntut bekas Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Tinggi Bengkulu Parlin Purba dengan pidana penjara selama 5 tahun. Amar tuntutan yang dibacakan JPU Dodi Sukmono dalam persidangan yang digelar Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Kota Bengkulu itu dipimpin ketua majelis hakim Admiral SH, MH.

Selain tuntutan pidana penjara selama 5 tahun, JPU KPK juga menuntut jaksa Parlin Purba dengan pidana denda sebesar Rp 200 juta subsider hukuman pidana penjara selama 3 bulan.

Parlin dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan melanggar Pasal 12 huruf A Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP juncto Pasal 61 ayat 1 KUHP.

"Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa Parlin Purba berupa pidana penjara selama 5 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan pidana denda sebesar 200 juta rupiah subsider 3 bulan kurungan dengan perintah supaya terdakwa tetap dalam tahanan," kata Dodi Sukmono di Bengkulu (12/12/2017).

Terdakwa Parlin Purba oleh JPU dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan melawan hukum secara bersama-sama, yaitu tindak pidana korupsi penyuapan sebagai pihak yang menerima suap dan menyalahgunakan jabatan, wewenang, dan pengaruhnya untuk memperkaya diri sendiri.

Pertimbangan yang meringankan terdakwa menurut JPU adalah terdakwa masih memiliki tanggungan keluarga, kooperatif selama persidangan, mengakui dan menyesali perbuatannya. Sedangkan pertimbangan yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa yang bertentangan dengan semangat pemberantasan tindak pidana korupsi. Apalagi terdakwa adalah aparat penegakan hukum.

"Perbuatan terdakwa mencederai proses penegakan hukum," lanjut Dodi Sukmono.

Amar tuntutan yang dibacakan tim JPU KPK terhadap terdakwa jaksa Parlin Purba di PN Tipikor Bengkulu juga menetapkan Parlin sebagai justice collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penyidik di dalam tindak pidana tertentu. Menurut JPU Dodi Sukmono, penetapan jaksa Parlin sebaga JC berdasarkan surat keputusan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi nomor 1525 tahun 2017.

Dalam Operasi Tangkap Tangan pada malam perpisahan ketua Kejaksaan Tinggi Bengkulu itu, petugas KPK RI juga mengamankan barang bukti uang tunai sebesar Rp 10 juta dan dikembangkan dengan penyitaan dokumen yang berkaitan dengan pekerjaan pembangunan irigasi yang dilakukan Murni Suhardi dan Amin Anwari.

Murni Suhardi dan Amin Anwari saat ini sudah dijatuhi hukuman pidana penjara masing-masing dua tahun oleh majelis hakim PN Tipikor Bengkulu dan menjalani sisa hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Bentiring Kota Bengkulu.

OTT Gubernur Bengkulu

2017 KPK Tangkap Jaksa, Hakim Hingga Gubernur Bengkulu
Gubernur Bengkulu non aktif Ridwan Mukti bersama istrinya dituntut pidana 10 tahun penjara oleh JPU KPK (Liputan6.com/Yuliardi Hardjo)

Komisi Pemberantasan Korupsi kembali melakukan Operasi Tangkap Tangan di Bengkulu pada bulan suci Ramadan, tepatnya pada 20 Juni 2017. Dalam operasi kali ini, penyidik KPK menangkap Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti bersama istrinya, Lily Martiani Maddari.

Dalam operasi ini juga ditangkap dua orang yang terlibat langsung dengan tindak pidana penyuapan, yaitu Bendahara Partai Golkar Rico Dian Sari dan seorang kontraktor bernama Jhoni Wijaya.

Penangkapan kelima orang ini terkait dugaan pemberian komitmen fee proyek pembangunan jalan di Provinsi Bengkulu. KPK berhasil mengamankan uang tunai sebesar Rp 1 miliar sebagai barang bukti untuk melanjutkan kasus ini ke proses penyidikan hingga persidangan.

Bergulirnya kasus ini menjerat Jhoni Wijaya, terdakwa kasus dugaan penyuapan kepada Gubernur Bengkulu nonaktif Ridwan Mukti, divonis hukuman pidana penjara selama tiga tahun tujuh bulan. Kepala Perwakilan PT Statika Mitra Sarana itu secara sah dan menyakinkan terbukti bersalah melanggar Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Selain hukuman pidana, Jhoni juga dikenai denda sebesar Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan. "Kami juga putuskan supaya terdakwa tetap ditahan," ucap Admiral selaku Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor di Bengkulu, Rabu (8/11/2017).

Jhoni mengantarkan uang komisi proyek kepada Gubernur Bengkulu melalui Rico Dian Sari dan Lily Martiani Maddari dengan barang bukti uang tunai sebanyak Rp 1 miliar. Paket pekerjaan pembangunan jalan itu terdiri atas pembangunan jalan Curup menuju Air Dingin dengan anggaran sebesar Rp 16,8 miliar dan paket pembangunan jalan Desa Tes menuju Muara Aman dengan anggaran sebesar Rp 37 miliar.

Sementara itu, perantara suap yang juga Bendahara DPD Partai Golkar Provinsi Bengkulu Rico Dian Sari divonis hukuman pidana penjara selama enam tahun dan denda sebesar 200 juta rupiah subsider dua bulan penjara dalam sidang di PN Bengkulu Kamis, 14 Desember 2017.

Terdakwa secara aktif melakukan tindakan berdasarkan permintaan Lily Martiani Maddari yang secara jelas merupakan istri dari penyelenggara negara, yaitu Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti. Dengan demikian, terdakwa disimpulkan melakukan tindak pidana secara bersama sama.

Hal yang meringankan terdakwa adalah terdakwa bersedia menjadi justice collaborator, menyesali perbuatannya dan bersikap kooperatif dalam penanganan kasus ini.

Sedangkan, hal yang memberatkan adalah terdakwa masuk dalam pusaran tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat negara. Ia juga menjadi perantara suap dalam tindak pidana korupsi dari penyuap Jhoni Wijaya kepada penyelenggara negara, yaitu Gubernur Bengkulu.

Tim JPU KPK menuntut Gubernur Bengkulu nonaktif, Ridwan Mukti, dan sang istri, Lily Martiani Maddari, masing-masing dengan hukuman pidana selama 10 tahun penjara. Dalam amar tuntutan yang dibacakan ketua tim JPU KPK Haeruddin itu, selain hukuman pidana penjara selama 10 tahun juga menuntut denda sebesar Rp 400 juta subsider kurungan selama masing masing empat bulan penjara.

"Ada unsur penyelenggara negara, dalam hal ini penyelenggara negaranya Ridwan Mukti dalam kapasitas sebagai Gubernur Bengkulu," ujar Haeruddin.

Selain menuntut hukuman pidana, tim jaksa penuntut umum KPK dalam persidangan di PN Tipikor Bengkulu juga membacakan tuntutan lain berupa hukuman tambahan khusus untuk terdakwa Ridwan Mukti. Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Bengkulu itu juga dituntut pencabutan hak politiknya setelah dia menjalankan hukuman pidana penjara.

"Menyatakan hukuman tambahan terhadap terdakwa Ridwan Mukti berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun setelah terdakwa Ridwan Mukti selesai menjalani pidana pokok," Haerudin menegaskan.

Anggota tim penasihat hukum Ridwan Mukti, Muhammad Rujito, menyatakan secara tegas bahwa tuntutan yang dibuat oleh JPU KPK itu sangat subjektif, lebih didasarkan pada pemahaman dan asumsi. Hal tersebut secara gamblang disampaikan oleh Muhammad Rujito usai menjalani persidangan kliennya.

"Tuntutan itu lebih didasarkan pada pemahaman orang. Jadi, pemahaman atau persepsi orang tidak bisa dipergunakan sebagai dasar untuk menghukum orang," ucap Rujito.

 

Hakim Tipikor Bengkulu Terjerat OTT

2017 KPK Tangkap Jaksa, Hakim Hingga Gubernur Bengkulu
Ketua Majelis hakim PN Tipikor Bengkulu Admiral memberikan keterangan pers terkait penanganan proses hukum di Bengkulu (Liputan6.com/Yuliardi Hardjo)

Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menangkap lima orang di kawasan Sawah Lebar, Kota Bengkulu. Salah seorang yang ditangkap itu kemudian diketahui merupakan salah seorang hakim di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Kota Bengkulu bernama Dewi Suryana.

Bersama Dewi Suryana, tim penindakan KPK juga menangkap panitera pengganti PN Bengkulu bernama Hendra Kurniawan, dan Aparatur Sipil Negara Kota Bengkulu bernama Syuhadatul Islamy. Dalam kasus ini, Dewi Suryana dan Hendra diduga menerima suap sebesar Rp 125 juta dari Syuhadatul Islamy untuk meringankan putusan perkara nomor 16/Pid.Sus-TPK/2017 PN Bgl, dengan terdakwa Wilson.

Wilson sendiri telah divonis bersalah dengan hukuman penjara satu tahun tiga bulan oleh pengadilan lantaran terbukti telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 590 juta. Wilson pun telah menjalani proses hukuman tersebut terhitung sejak 14 Agustus 2017.

Saat ini ketiga terdakwa tersebut tengah menjalankan persidangan di PN Tipikor Kota Bengkulu. Proses persidangan masih melakukan pemeriksaan para saksi sebelum dilakukan penuntutan oleh tim JPU KPK.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya