Aksi Jogja Damai Bergaung Usai Penyerangan di Gereja Santa Lidwina

Usai penyerangan Gereja Santa Lidwina, Deklarasi Jogja Damai yang menolak kekerasan, intoleransi, dan radikalisme itu digaungkan di Bangsal Kepatihan.

oleh Yanuar H diperbarui 16 Feb 2018, 23:01 WIB
Diterbitkan 16 Feb 2018, 23:01 WIB
aksi jogja damai
Aksi Jogja Damai ditandai dengan penandatangan berbagai elemen.

Liputan6.com, Yogyakarta - Puluhan organisasi massa atau ormas di Yogyakarta beserta sejumlah tokoh masyarakat, pemuka agama, dan Forkompimda DIY menyatakan siap menjaga kedamaian melalui Deklarasi Jogja Damai Menolak Kekerasan, Intoleransi, dan Radikalisme di Bangsal Kepatihan.

Deklarasi ini digelar usai penyerangan Gereja Santa Lidwina, Bedog, Jalan Jambon, Trihanggo, Gamping, Sleman, pada Minggu pagi, 11 Februari lalu.

Mereka pun menandatangani Deklarasi Jogja Damai. Acara ini diawali dengan membacakan Pancasila dan Deklarasi Jogja Damai secara bersama-sama.

Deklarasi berisikan tentang pengecaman kekerasan atau anarkistis yang mengatasnamakan agama. Masyarakat pun diimbau menjaga kondisi tetap damai.

Selain itu, Yogyakarta jadi daerah terdepan dalam perlawanan terhadap paham dan tindakan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 46 Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.

Sultan HB X, selaku Gubernur DIY, mengatakan penandatangan Jogja Damai ini tidak menjadi dokumen mati, sehingga ada ketegasan untuk merawat kedamaian di Yogyakarta.

"Jika masalah mengarah keagamaan lebih ke arah dialog. Perlu juga ada musyawarah besar kerukunan agama," katanya di Bangsal Kepatihan, Rabu, 14 Februari 2018.

Sultan Kecam Aksi Kekerasan

Sultan kunjungi korban penyerangan
Sultan mengecam aksi kekerasan di tempat ibadah

Sultan pun mengecam penyerangan di Gereja Santa Lidwina. Termasuk, persekusi dan mewaspadai politik adu domba antarumat beragama. Sebab, DIY merupakan sasaran pelanggaran kasus intoleransi dengan jumlah kasus yang tinggi.

"Ini jadi catatan bagi bupati dan wali kota jika ada potensi masyarakat siap menangani siskampling jadi preventif. Deklarasi ini jadi membuat DIY terdepan dalam menolak kasus radikalisme, intoleransi, dan kekerasan," katanya.

Adapun Kapolda DIY, Ahmad Dofiri mengatakan Yogyakarta memiliki data yang tinggi untuk kasus kekerasan. Hal ini karena banyaknya kegiatan keberagaman agama, sehingga dinamikanya sangat tinggi.

"Tapi kita harus percaya diri secara faktual dan kualitatif kondisi masyarakat Jogja toleransinya tinggi," ucapnya.

Terkait kasus penyerangan Gereja Santa Lidwina, ia mengaku kasusnya sudah ada di tangan Mabes Polri dan Densus 88. Dengan demikian, kasus ini segera dapat diungkap dengan penyelidikan yang mendalam.

"Paham radikal sudah masuk, jadi sekarang dia (pelaku) di Mabes Polri dengan Fensus 88. Saya sudah adem ditanyain kasus ini," katanya di hadapan ratusan orang yang hadir.

Dofiri meminta kepada masyarakat untuk tidak memercayai berita atau informasi yang beredar di media sosial. Sebab, banyak informasi yang salah, sehingga dapat membahayakan toleransi yang sudah terjaga di Yogyakarta.

"Jangan percaya di medsos. Di sana sudah adem, eh di sana sudah awur awuran," katanya.

Respons Keuskupan dan MUI DIY

Romo Harto dan Ketua MUI DIY KH Toha bergandengan
MUI menyambut baik acara deklaraasi Jogja Damai

Adapun Harto Subono, selaku Wakil Keuskupan di Yogyakarta, menyatakan bahwa deklarasi ini bukti toleransi di Yogyakarta sangat tinggi. Hal ini terlihat setelah kejadian di Gereja Santa Lidwina, banyak warga yang.membantu membersihkan gereja.

"Saya menantang masyarakat Jogja, kalau ada dari luar yang ingin ganggu di Jogja, sebab Jogja punya kerukunan dan komitmen sendiri. Deklarasi ini untuk dibuktikan," ujarnya.

Sementara, Ketua MUI DIY, KH Toha Abdurahman menyambut baik kegiatan Jogja Damai ini untuk menangkis kejadian serupa terjadi. Namun, ia berpesan agar warga Yogyakarta tidak terlibat kasus serupa.

"Jogja jangan ikut-ikutan seperti itu," katanya.

Toha mengatakan pula, Yogyakarta berencana menjadi kota layaknya Kota Madinah di zaman Nabi Muhammad SAW atau Serambi Madinah. Saat ini. imbuh dia, sedang diupayakan Jogja sebagai Kota Serambi Madinah.

"Itu sedang berjalan, sedang dilakukan ya melalui panitia-panitia," ujarnya.

Ia pun tidak mempemasalahkan jika Yogya sebagai Serambi Madinah. Sebab, Madinah merupakan kota tokeransi pertama, yaitu berkumpulnya umat Islam, Yahudi, dan Nasrani.

"Ini budayanya malahan," katanya.

Pun demikian Daryono, Jagawarga Desa Giripeni, Wates, Kulonprogo, yang hadir dalam deklarasi itu. Ia menyatakan siap menjaga toleransi di Yogyakarta. Bahkan, acara serupa bisa dilakukan secara rutin.

"Bagus acara seperti ini bisa dilakukan dengan dana istimewa," katanya.

Sementara itu, Iskanto dari Forum Keberagaman Umat Beragama Gunungkidul menyebut Deklarasi Jogja Damai ini sudah dilaksanakan setiap hari dalam kehidupan warga Yogya. Dengan kata lain, kebersamaan dapat selalu terjaga di Yogyakarta.

"Deklarasi Damai Jogja kita kembangkan sikap ini dalam kehidupan sehari hari," ia menandaskan.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya