Liputan6.com, Singkawang - Perayaan Cap Go Meh atau hari kelima belas Tahun Baru Imlek di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, kurang afdal tanpa adanya atraksi tatung. Warga etnis Tionghoa di Singkawang meyakini tatung sebagai tokoh yang menjadi medium arwah para ksatria China.
Kemarin atau H-1 Festival Cap Go Meh 2018 di Singkawang, Kalimantan Barat, para peserta tatung menjalani ritual cuci jalan di beberapa wihara yang ada di kota tersebut.
Momentum menyambut puncak perayaan Imlek itu pun sepertinya tak mau disia-siakan oleh warga lokal maupun tamu yang sudah datang ke Singkawang untuk menyaksikan ritual itu, tepatnya di Wihara Tri Dharma Bumi Raya (pusat kota) Singkawang.
Advertisement
Salah satu tatung, Susi Susanti (28), mengatakan ritual cuci jalan bertujuan untuk mengusir atau membersihkan segala bala dan roh jahat yang ada di seluruh kota.
Baca Juga
Wanita yang sudah belasan tahun ikut dalam perhelatan Cap Go Meh ini akan turun bersama delapan rombongan dari Pekong Jalan Tani Gang Bersama, Jumat ini.
"Kita ada delapan rombongan yang terdiri atas enam tatung pakai tandu dan dua tatung jalan kaki," ucapnya, dilansir Antara.
Menurut Susi, tidak ada persiapan khusus untuk mengikuti Cap Go Meh. "Paling makan vegetarian selama tiga hari sebelum tampil," ujarnya.
Jumlah tatung yang beratraksi pada perhelatan Festival Cap Go Meh Singkawang ada sebanyak 1.038 tatung. Mereka menampilkan atraksi mendebarkan sejak Jumat (2/3/2018) pagi sekitar pukul 07.00 WIB.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Â
Perayaan Cap Go Meh di Indonesia
Seperti dalam beberapa tahun terakhir, Cap Go Meh atau puncak rangkaian perayaan Imlek tahun ini atau 2569 yang merupakan shio Anjing Tanah, umumnya dihelat di sejumlah wilayah Indonesia dengan populasi besar etnis Tionghoa.
Sebut saja bilangan Glodok di Jakarta Barat, kawasan Jalan Suryakencana di Bogor, Jawa Barat, wilayah Singkawang dan Pontianak di Kalimantan Barat, serta kawasan Pecinan di Manado, Sulawesi Utara. Termasuk Pulau Kemaro di Palembang, Sumatera Selatan.
Di Singkawang, keunikan perayaan Cap Go Meh bahkan senantiasa menyedot perhatian. Ini terbukti dengan datangnya ribuan orang, termasuk turis mancanegara. Festival ini biasanya melibatkan ratusan tatung yang memperlihatkan kesaktian mereka.
Mereka menusuk tubuh dengan paku hingga terkadang berdarah-darah. Akulturasi atau percampuran budaya Tionghoa dan lokal di Singkawang pun sangat kental terasa.
Berdasarkan data yang dihimpun Liputan6.com, pada umumnya di negara besar seperti Tiongkok dan Taiwan, Cap Go Meh adalah ajang perjamuan besar. Pesta dan pawai digelar di jalanan dari pagi hingga malam.
Cap Go Meh adalah lafal dialek Tio Ciu dan Hokkian, artinya malam 15. Sedangkan lafal dialek Hakka adalah Cang Njiat Pan, artinya Pertengahan bulan satu. Di daratan Tiongkok dinamakan Yuan Xio Jie dalam bahasa Mandarin yang berarti festival tanggal 15 bulan satu Kalender Tionghoa.
Â
Advertisement
Asal Muasal Cap Go Meh
Banyak versi yang menyebutkan asal muasal perayaan Cap Go Meh. Salah satu versi menyebutkan Dinasti Zhou (770-256 Sebelum Masehi) yang diyakini mengawali perayaan Cap Go Meh setiap tanggal 15 malam bulan satu Imlek.
Kala itu, para petani memasang lampion-lampion yang dinamakan Chau Tian Can di sekeliling ladang untuk mengusir hama dan menakuti binatang-binatang perusak tanaman. Lampion-lampion itu juga dimaksudkan menciptakan pemandangan yang indah di malam hari tanggal 15 bulan satu tahun baru Imlek berdasarkan penanggalan Tiongkok.
Buat menakuti atau mengusir binatang-binatang perusak tanaman, mereka menambah segala bunyi-bunyian serta bermain barongsai. Terutama agar lebih ramai dan bermanfaat bagi petani.
Selama puluhan abad, kepercayaan dan tradisi budaya ini berlanjut turun-menurun, baik di daratan Tiongkok maupun di perantauan etnis Tionghoa di seluruh dunia. Sementara di negara-negara Barat, Cap go meh dianggap sebagai pesta karnaval etnis Tionghoa.
Dan sejatinya, sejarah Cap Go Meh di Nusantara--nama lama Indonesia--dimulai sejak abad XIV. Kala itu terjadi migrasi besar dari daratan Tiongkok Selatan.
Berdagang menjadi alasan mereka singgah di Nusantara. Mereka pun mulai menetap dan menjadi warga Nusantara. Tradisi Tionghoa mulai dikenal, Imlek dan puncak rangkaiannya, Cap Go Meh, adalah salah satu di antaranya.
Â
Kelenteng atau Bio
Pawai merayakan Cap Go Meh pada umumnya dimulai dari kelenteng ataupun wihara. Kelenteng adalah penyebutan secara keseluruhan untuk tempat ibadah Tri Dharma, atau Buddha, Tao, dan Konghucu, di Indonesia.
Namun, nama kelenteng bukan berasal dari Tiongkok, melainkan bahasa Jawa. Diambil dari perkataan "kelintingan" lonceng kecil, karena bunyi-bunyian inilah yang sering keluar dari kelenteng, sehingga mereka menamakannya kelenteng.
Etnis Tionghoa sendiri menamakan kelenteng itu sebagai Bio. Bahasa Mandarin-nya Wen Miao adalah bio untuk menghormati Confucius dan Wu Miao adalah untuk menghormati Guan Gong.
Cap Go Meh juga dikenal sebagai acara pawai menggotong joli Toapekong untuk diarak keluar dari kelenteng. Toapekong (Hakka = Taipakkung, Mandarin = Dabogong) berarti secara harfiah eyang buyut untuk makna kiasan bagi dewa yang pada umumnya merupakan seorang kakek yang sudah tua.
Da Bo Gong adalah sebutan untuk para leluhur yang merantau atau para pioner dalam mengembangkan komunitas Tionghoa di Indonesia. Namun istilah Da Bo Gong itu sendiri tidak dikenal di Tiongkok.
Â
Advertisement
Tradisi Penting
Adapun menyaksikan lampion dan makan onde-onde adalah dua bagian penting pada saat perayaan Cap Go Meh. Selain itu, ada beberapa adat istiadat lainnya yang merupakan rangkaian acara yang tidak terpisahkan dari zaman Tiongkok kuno, yakni:
1. Pawai menggotong joli Toapekong untuk diarak keluar dari kelenteng.
2. Lontong opor lengkap atau disebut lontong Cap Go Meh.
3. Pawai Cap Go Meh.
4. Tarian barongsay atau tarian singa atau disebut pula Nong Shi.
5. Tarian Naga atau liong atau disebut Nong Long.
6. Lampion berwarna.
7. Kue onde-onde.
8. Kegiatan hiburan lainnya, seperti jangkungan, tari yangge atau semacam tarian khas di utara Tiongkok.
Â
Pasang Surut Perayaan
Pena sejarah mencatat, jauh sebelum Belanda membangun Batavia (nama Jakarta saat masa kolonial) pada tahun 1619, warga etnis Tionghoa sudah bermukim di sebelah timur muara Ciliwung. Kendati demikian, sewaktu Belanda membangun loji di tempat itu mereka pun diusir.
Barulah setelah terjadinya pembantaian orang Tiongkok di Batavia pada 9 Oktober 1740, etnis Tionghoa ditempatkan di kawasan Glodok, tak jauh dari Stadhuis (sekarang Museum Fatahillah). Pemindahan ini agar mereka mudah diawasi.
Setelah itu perayaan Imlek dan Cap Go Meh tetap berlangsung. Di Buitenzorg (nama lama Bogor saat zaman kolonial Belanda), misalnya. Dalam rentang tahun 1800-1930, sejak komunitas Tionghoa Buitenzorg memiliki klenteng Hok Tek Bio, perayaan Cap Go Meh mulai digelar. Bahkan, sekitar tahun 1930, arak-arakan Tapekong dan Ceng Ge diizinkan masuk ke Istana Gubernur Jenderal Belanda--kini Istana Bogor.
Namun, saat masa pendudukan bala tentara Jepang di Indonesia, kemeriahan perayaan Imlek dan Cap Go Meh hampir tak terdengar gaungnya. Terlebih, saat itu bangsa Indonesia mengalami banyak penderitaan. Banyak orang di Indonesia bahkan dijadikan romusha untuk menjalani kerja paksa.
Memasuki zaman kemerdekaan, terutama saat pemerintah Orde Lama berkuasa, Imlek sempat dirayakan secara meriah. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1946 tentang Hari Raya Kaum Tionghoa sebagai bukti.
Pada tahun 1954, Cap Go Meh bahkan bisa masuk ke Istana Bogor dan memeriahkan acara di area tersebut. Padahal, Cap Go Meh bisanya hanya digelar di kawasan Jalan Suryakencana. Namun atas undangan Presiden Sukarno, Cap Go Meh menjelma menjadi ajang yang dapat dibanggakan warga Bogor.
Saat itu arak-arakan Tapekong dan Ceng Ge memukau Bung Karno beserta tamu negara yang berada di Istana Bogor. Kendati demikian pada tahun 1962, Presiden Sukarno justru melarang perayaan Cap Go Meh di kawasan Glodok, Jakarta.
Saat Presiden Soeharto berkuasa, pergerakan kaum Tionghoa dibatasi. Hal itu tersurat dalam Inpres Nomor 14 Tahun 1967, upacara agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dalam ruangan tertutup.
Tiga dekade berlalu. Pada Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Bahkan setahun kemudian menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional fakultatif. Hanya terbatas bagi kaum Tionghoa.
Selanjutnya pada 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional. Pengumuman ini dibacakan saat Megawati menghadiri acara puncak perayaan Imlek atau Cap Go Meh.
Sementara pada 26 Desember 2004, Aceh diguncang gempa dan tsunami. Ratusan ribu warga Aceh turut menjadi korban. Dua bulan pascabencana tsunami, perayaan Cap Go Meh ditiadakan. Seiring dengan itu, bantuan sosial dari etnis Tionghoa digalang dan mengalir ke Aceh.
Setelah itu perayaan Cap Go Meh terus berlangsung hingga saat ini. Dengan tema akulturasi budaya dan Bhinneka Tunggal Ika, berbagai festival Cap Go Meh pun digelar di berbagai wilayah di Tanah Air. Maraknya festival Cap Go Meh bahkan turut mendorong sektor pariwisata di Indonesia.
Beberapa bulan setelah dilantik sebagai Presiden ke-7 RI, Joko Widodo pun membuka perhelatan pesta rakyat Street Festival Cap Go Meh 2015 di Kota Bogor, Jawa Barat. Kehadiran Jokowi saat itu di panggung utama langsung mendapat sambutan meriah dari warga.
"Dengan mengucap bismillah saya buka perayaan Cap Go Meh 2015," ucap Jokowi disambut riuh tepuk tangan penonton, Kamis, 5 Maret 2015.
Â
Advertisement
Keberagaman dan Persaudaraan
Di tahun 2016, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani mewakili Presiden Jokowi membuka kegiatan Karnaval Cap Go Meh dalam rangka merayakan Tahun Baru Imlek di Lindeteves Trade Centre, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta.
Perayaan Cap Go Meh di kawasan pecinan Glodok kali ini mempunyai makna tersendiri. Ini mengingat Cap Go Meh baru dirayakan kembali setelah sempat berhenti 54 tahun. Terakhir kali digelar di masa pemerintahan Presiden Sukarno pada 1962 lalu.
Terlepas dari hal itu, menurut Puan, Karnaval Cap Go Meh tak sekadar budaya Tionghoa yang dimiliki secara turun-temurun. Tapi, terdapat pesan penting kebhinnekaan dan persaudaraan.
"Kehadiran masyarakat Tionghoa beserta budayanya sejak berabad-abad lalu telah memperkaya khasanah budaya Nusantara. Hingga kini, perayaan Imlek maupun Karnaval Cap Go Meh bukan hanya tertutup bagi masyarakat Tionghoa, tapi juga telah melibatkan berbagai etnis lain di Nusantara," kata Puan dalam sambutannya, Minggu 21 Februari 2016.
Pesan serupa disampaikan Oesman Sapta Odang alias Oso. Menurut Oso yang saat itu menjabat Wakil Ketua MPR, terselenggaranya perayaan Cap Go Meh bisa terselenggara berkat adanya Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
"Itulah Bhinneka Tunggal Ika, sehingga kita bisa melakukan Cap Go Meh. Anda bisa melakukan apa saja, asal menghayati dan melakukan aturan di wilayah bangsa Indonesia," ujar Oso kepada Liputan6.com saat perayaan Cap Go Meh Tahun Imlek 2567 di Pontianak, Kalimantan Barat, Senin 22 Februari 2016.
Adapun tahun lalu, saat perayaan Cap Go Meh, Menteri Koordinator (Menko) Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Wiranto menilai ancaman terbesar yang dihadapi Indonesia saat ini datang dalam negeri. Ia mengindikasi adanya sejumlah pihak yang menginginkan perpecahan terjadi di Tanah Air.
"Kejahatan narkoba, terorisme, radikalisme, korupsi, illegal logging, illegal fishing dan sebagainya, itu ada dan kelihatan. Tapi sebenarnya yang sangat berbahaya adalah ancaman perpecahan dari bangsa sendiri," kata ucap Wiranto saat memberi sambutan di Perayaan Cap Go Meh bersama 2017 yang diadakan Forum Bersama Indonesia Tionghoa (FBIT), Minggu, 19 Maret 2017.
Untuk dapat menghindari ancaman tersebut, Wiranto berpesan agar masyarakat membangun semangat toleransi dan solidaritas bersama agar benih perpecahan tidak tumbuh di Tanah Air.
"Semangat toleran artinya masyarakat bisa merasakan penderitaan orang lain, bisa merasakan kesulitan orang lain dan selanjutnya dengan ikhlas ikut meringankan beban mereka itu," kata Wiranto, dilansir Antara.
Di perayaan Cap Go Meh tersebut, Wiranto pun memberikan tiga pesan kepada warga etnis Tionghoa agar ikut membangun semangat toleransi dan solidaritas di tengah-tengah masyarakat.
"Pertama, kita harus merasa memiliki negeri ini. Kedua, masyarakat harus wajib membela negeri ini, bukan hanya membela negara tapi membela masyarakat, teman-teman, kaum fakir miskin dan duafa. Kemudian ketiga, harus mampu selalu mengintrospeksi diri seberapa besar sumbangan yang telah diberikan pada negeri ini," ucap mantan Panglima ABRI itu.
Menurut dia, bila tiga hal itu ditanamkan dalam diri warga, maka benih perpecahan tidak akan muncul di negeri ini.