Liputan6.com, Cirebon - Angklung merupakan alat musik bernada ganda yang berasal dari masyarakat Sunda Jawa Barat. Dalam perjalanannya, angklung juga memiliki catatan sejarah perkembangan Cirebon pada zaman Sunan Gunung Jati.
Angklung menjadi salah satu alat musik yang dimainkan untuk hiburan hingga menjadi salah satu isyarat peperangan melawan Portugis.
Filolog Cirebon Raffan S Hasyim mengatakan, Angklung Bungko yang berada di Desa Bungko, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon memiliki kemiripan dengan angklung Blambangan di Banyuwangi, Jawa Timur.
Advertisement
Baca Juga
Naskah Serat Carubkanda yang ditulis Pangeran Abdul Hamid pada tahun 1813 mencatat pada abad ke-14 Sunan Gunung Jati pertama kali tiba di Cirebon disuruh oleh Tumenggung Cerbon yakni Pangeran Cakrabuana untuk meminta restu dan berkah kepada ulama yang lebih tua di tanah Jawa.
"Tapi tidak ada satu wali pun yang memberi berkah, alasannya sama yaitu 'Kamu sudah cukup, bahkan kalau perlu saya yang meminta berkah," tutur lelaki yang akrab disapa Opan Safari itu, Kamis, 15 Maret 2018.
Singkat cerita, saat Sunan Gunung Jati bertemu dengan Sunan Ampel, dia langsung mendapat restu. Sunan Ampel, kata Opan, menyuruh Sunan Gunung Jati untuk kembali ke Cirebon membantu Pangeran Cakrabuana.
Dia mengatakan, saat itu, di pesantren milik Sunan Ampel terdapat dua murid kebanggaannya yang sedang bertapa, yakni Raden Jakataruna Veteran Angkatan Laut Majapahit dan Pangeran Surya.
"Raden Jakataruna ini yang mendapat gelar Ki Gedeng Bungko beliau saat itu bertapa di pinggir laut siang dan malam, keduanya disuruh Sunan Ampel ikut Sunan Gunung Jati mengabdi di sana," ujar Opan.
Raden Jakataruna dalam berbagai pertempuran di Cirebon sangat memberikan pengaruh. Ki Gedeng Bungko, kata dia, mampu mengusir penjajah Portugis setelah berperang selama tiga hari.
Di sela istirahat semasa peperangan, Ki Gedeng Bungko bersama pasukannya selalu bermain angklung.
"Angklung tersebut bahan bambunya dikirim dari Kuningan yang notabene memiliki kedekatan dengan Sunan Gunung Jati. Ki Gedeng Bungko sendiri aslinya dari Banyuwangi," ujar dia.
Keunikan Angklung Bungko
Rekam jejak Ki Gedeng Bungko berjuang di Cirebon tidak hanya tercatat dalam sebuah naskah Serat Carubkanda. Para prajurit Ki Gedeng Bungko, kata dia, merekam perjalanan peperangan Ki Gedeng Bungko dalam sebuah tarian.
Oleh karena itu, lanjut Opan, Angklung Bungko di Cirebon berbeda dengan angklung yang ada di masyarakat Sunda. Sementara beberapa tarian juga memiliki makna dan cerita tentang perjuangan Ki Gedeng Bungko.
Seperti Tari Bebek Ngoyor yang merekam perjuangan Ki Gedeng Bungko menaklukan Sunda Kelapa bersama pasukan Cirebon dan Demak. Selain itu, Tari Ayam Alas, yakni tarian yang merekam saat Ki Gedeng Bungko menumpas istana aliran sesat yang didirikan oleh Ki Gedeng Kapetakan.
"Istana aliran sesat Ki Gedeng Kapetakan saat itu banyak pengikutnya dan sempat menggoyahkan umat Islam Cirebon yang baru masuk Islam," ujar dia.
Rekam jejak Ki Gedeng Bungko memenangkan berbagai peperangan tersebut, kata Opan, membuat dirinya diberi jabatan sebagai Panglima Angkatan Laut Kerajaan Cirebon di era Sunan Gunung Jati.
Ketua Kesenian Angklung Bungko Cirebon, Jaso mengatakan hingga saat ini warisan seni Angklung Bungko masih lestari. Hanya saja, ujar dia, warisan kesenian asal Desa Bungko tersebut belakangan minim jam terbang.
Dia menyebutkan, keunikan Angklung Bungko Cirebon yakni terdapat tarian tradisional yang dilakukan oleh penari laki-laki. Dia menyebutkan, ada lima tarian pokok di seni musik Angklung Bungko yakni Tari Panji, Banteleo, Ayam Alas, Bebek Ngoyor, dan Blarak Sengkle.
"Semua tarian itu ada ceritanya dan memang semacam tarian perang jadi tubuh penari tidak lunglai karena penarinya ya prajurit juga waktu zaman Ki Gedeng Bungko," ujar dia.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement