Liputan6.com, Purbalingga - Pada 1899, 69 tahun setelah Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa diterapkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van Den Bosch, wilayah Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, dipenuhi perkebunan tebu, nila, dan kopi. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memaksa para petani menanam komoditas ekspor dengan harga beli yang ditekan serendah mungkin.
Meski dikeluarkan Undang-Undang Agraria 1870 untuk menghapus tanam paksa, adanya hak erfpacht atau Hak Guna Usaha semakin mendorong perluasan perkebunan komoditas ekspor itu. Sebab, seseorang dimungkinkan menyewa tanah telantar selama maksimum 75 tahun.
Akibatnya, perusahaan-perusahaan Belanda berjaya memonopoli perkebunan, pabrik-pabrik, dan angkutan darat, termasuk dua Suikerfabriek (pabrik gula) yang berdiri megah di Kelurahan Bojong dan Kecamatan Kalimanah. Rel kereta milik Serajoedal Stoomtram Maatschappij (Perusahaan Kereta Uap Lembah Serayu) terbentang di wilayah selatan kota.
Advertisement
Lokomotif produksi Beyer Peakock C1401-C1414 memburu deru, dari Kabupaten Banjarnegara melintasi Kecamatan Kemangkon menuju Kabupaten Banyumas, berakhir di Kabupaten Cilacap. Sesekali kereta itu berhenti di stasiun Desa Kemangkon, Karangkemiri, dan Muntang, bongkar muat hasil produksi dan olahan pertanian.
Baca Juga
Pada masa itu, pemerintahan pribumi dikontrol langsung oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Bupati dengan garis birokrasi dari Inlandsch Bestuur (perangkat pegawai pribumi) dikontrol dan diawasi oleh seorang Asisstent-resident (AR) dengan garis birokrasi Europeesch Bestuur (perangkat pegawai pemerintah dari kalangan orang Eropa).
"AR merupakan penasihat bupati yang memiliki tugas khusus di bidang pertahanan dan kebijakan, tetapi bukan atasan bupati karena keduanya langsung di bawah Residen atau pimpinan di lingkup Karesidenan," tutur Ganda Kurniawan, sejarawan pada Tim Ahli Cagar Budaya Purbalingga, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Purbalingga.
Seorang AR dibantu oleh kontrolir dan aspirant kontrolir untuk mengumpulkan pajak, membuat catatan dan laporan pajak, mencatat hasil tanaman wajib seperti kopi, nila, dan tebu. Ganda merinci AR di afdeeling Poerbolinggo pernah dijabat oleh Tuan Tak pada 1831, Willem Canneman (1851-1854), C Bosscher, A Thesingh (1875), BW Heaviside (1888), HEB Schmalhausen (1899), Ch Ph Riviere (1903), H Leenmans, dan P L Holscher (1938).
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Kerabat Karl Marx
Hasil penelusuran TACB mendapatkan bukti bahwa salah satu AR yang pernah menjabat di Purbalingga dikenal sebagai tokoh Belanda yang bersimpati kepada bangsa Indonesia. Dialah Henri Eduard Benno Schmalhausen, menjabat dari 1899–1903.
Ia lahir 12 Mei 1857 di Masstricht, Limburg, The Netherland dan meninggal pada 23 Februari 1906 atau di usia 48 tahun di Apeldoorn, Gelderland, The Netherland. Sebelum di Purbalingga, dia menjabat AR Djombang sekitar 1886–1899.
Barangkali, ketidaksetujuannya terhadap imperalisme sedikit banyak terpengaruh oleh Karl Heinrich Marx (1818 -1983), seorang filsuf yang sering dijuluki sebagai Bapak Komunisme. Hubungan kekerabatan dengan Karl Marx ditengarai Ganda memberikan pengaruh pada pemikirannya.
Berdasarkan penelusuran lewat portal penyedia data pohon silsilah keluarga (geneaologi), yakni Genea.net dan Geni.com, HEB Schmalhausen merupakan putra dari pasangan Willem Robert Schmalhausen (1817-62) berkebangsaan Belanda dan Sophie (1816-86) yang berkebangsaan Jerman.
Sophie adalah kakak kandung dari Karl Heinrich Marx (1818 – 83). Tergariskan, mereka lahir dari pasangan Heinrich Hendrik Marx (1782-1838) dengan Henriette Presburg (1788-1863). Sophie dan Karl Marx lahir di tempat yang sama, yakni di Trier, Rheinland-Pfalz, Jerman atau yang saat itu dikenal dengan Prussia.
Advertisement
Lembaran Catatan Kegetiran
Jabatan AR yang disandang keponakan Karl Marx itu memaksanya langsung bertatap muka dengan para petani dan pekerja. Penerapan UU Agraria 1870 dengan Hak Erfpacht membuat mereka tidak memiliki lahan sendiri dan hanya diperankan sebagai pekerja di perkebunan-perkebunan Hindia Belanda.
"Tanah Jawa mempunyai jalan-jalan kereta api dan trem, banyak sekali tanah-tanah erfpacht telah dibuka dan diusahakan, banyak pabrik-pabrik gula dan nila sudah berdiri,……tapi apakah semua ini bisa mencegah keadaan bahwa kesejahteraan bukannya maju, malah menjadi mundur?" tulisnya kala itu.
Sepanjang pengawasannya, yang ia temukan hanyalah kegetiran bagi para petani. Para perempuan berjalan jauh di tengah terik siang hanya untuk mendapatkan 9 sen dari upah mengetam padi. Tapi, sering kali mereka hanya bisa berpangku tangan karena pekerja terlalu banyak.
"Maka ada yang menangis tersedu-sedu lalu duduk di tepi jalan, putus asa. Keadaan-keadaan yang demikian itu baru bisa kita mengerti, sesudah hidup lama di pedalaman, itupun kalau kita cukup punya perhatian kepada negeri dan penduduk dan senantiasa membuka mata!" tulisnya di bagian catatan yang lain.
Catatan-catatan Schmalhausen itu lalu dibukukan dengan judul Over Java en de Javanen: Nagelaten Geschriften van H. E. B. Schmalhausen (Tentang Jawa dan Orang Jawa: Tulisan-tulisan yang diwariskan dari H. E. B. Schmalhausen).
"Tulisan-tulisannya dibukukan oleh penerbit P. N Van Kampen & Zoon di Amsterdam tahun 1909 atau 3 tahun setelah ia meninggal," Ganda menambahkan.
Tulisan-tulisan Schmalhausen menempatkannya sejajar dengan Multatuli, Baron van Hoevell, Douwes Dekker, dan Poncke Princen yang menentang praktik imperialisme pemerintahan Hindia Belanda. Meski belum diketahui kiprahnya pada pergerakan kemerdekaan, tulisannya dalam buku Over Java en de Javanen dijadikan rujukan tokoh nasional untuk menggugat kemerdekaan.
"Belum jelas apakah ia juga termasuk penganut atau pembawa ideologi komunis atau bukan. Hal yang pasti, tulisan-tulisannya dijadikan referensi tokoh nasional seperti Ir Sukarno dan Marco Kartodikromo atau yang sering dikenal Mas Marco," kata Ganda.
Bangunan Makodim
Setiap AR, termasuk Schmalhausen, bertempat tinggal dan berkantor di gedung yang saat ini digunakan sebagai Markas Komando Distrik Militer (Kodim) 0702/Purbalingga, Jl Letjend S Parman No 1, Kelurahan Bancar, Purbalingga. Bangunan itu saat ini telah didaftarkan oleh TACB Purbalingga menjadi bangunan cagar budaya.
Bangunan era kolonial itu diketahui berciri khas arsitektur indische empire. Bertembok tebal, langit-langit tinggi, lantai dari marmer, terdapat Central Room besar yang berhubungan langsung dengan beranda depan dan beranda belakang.
Barisan pilar besar khas Yunani berjajar di ruangan untuk mendukung atap yang menjulang ke atas. Di samping bangunan utama biasanya terdapat paviliun yang digunakan sebagai kamar tidur tamu.
Jendela besar dan pilar angkuh yang menjulang tinggi menjadi saksi bisu tokoh intelektual itu menorehkan keluhnya pada berlembar kertas. Kesenjangan dan penderitaan yang disebabkan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda ditulisnya dalam kalimat yang lugas.
Kepala Seksi Cagar Budaya dan Permuseuman Dindikbud Purbalingga, Rien Anggaraeni Setya mengatakan TACB telah mengajukan 33 berkas cagar budaya seperti Makodim untuk disahkan oleh bupati. Masing-masing unit memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan.
"Bangunan, benda, situs, kawasan, dan struktur cagar budaya memiliki arti khusus. Seperti Makodim 0702/Purbalingga yang ternyata memiliki kisah menarik di baliknya," katanya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement