Masjid Perjuangan, Saksi Bisu Kiprah Perintis Kemerdekaan Asal Garut

Dilihat sepintas memang tak ada yang aneh dengan masjid di Jalan Ciledug, Garut, Jawa Barat tersebut. Berada di tengah pusat keramaian Garut.

oleh Jayadi Supriadin diperbarui 25 Mei 2018, 01:00 WIB
Diterbitkan 25 Mei 2018, 01:00 WIB
Mesjid Perintis Kemerdekaan
Masjid yang menjadi saksi bisu sejumlah tokoh perintis kemerdekaan RI di Garut. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Garut - Dilihat sepintas tidak ada yang aneh dengan masjid di Jalan Ciledug, Garut, Jawa Barat, yang satu ini. Berada di tengah pusat keramaian kota kabupaten Garut, bangunan beton satu lantai itu, seperti biasa ramai dengan pengajian warga.

Terlihat angka 1925 di kedua bidang bangunan bagian atas masjid menandakan tahun pembangunan. Namun siapa sangka, bangunan tua berkelir cat krem ini, adalah saksi sejarah warga Garut dalam pergerakan kemerdekaan melawan penjajah Belanda, hampir seabad yang lalu.

"Dulu di masjid ini selain tempat keagamaan, juga sering diadakan rapat kemerdekaan, tempat pendidikan politik warga sekitar," ucap KH Kamil, pengelola Masjid Perjuangan Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia Al Mushthofa, membuka pembicaraan, saat ditemui Liputan6.com, Kamis, 24 Mei 2018.

Pria 73 tahun itu mengatakan, masjid ini pertama kali dibangun oleh KH Mustofa Kamil, ayahnya sendiri, sekitar tahun 1925. Ulama karismatik sekaligus tokoh pejuang kemerdekaan asal Garut itu membangun masjid baru sebagai bentuk perlawanan terhadap Belanda.

Awalnya sang kiai mengajar pengajian dan kegiatan agama lainnya di Masjid Agung Garut yang berada di alun-alun kota. Namun, pola pendidikannya yang dinilai mengancam kedaulatan Belanda, akhirnya Bupati Garut saat itu, Raden Surya Karta Legawa--yang dianggap pro penjajah--mengekang seluruh kegiatannya.

Mulai larangan menerjemaahkan Alquran ke dalam bahasa Indonesia, kemudian keharusan mengagungkan bupati dan petinggi Belanda, hingga larangan jangan membicarakan soal kemerdekaan Indonesia. "Kalau tidak (patuh), penjara bagiannya," dia mengingatkan.

Tak terima dengan perlakuan itu, akhirnya sang kiai menanggalkan seluruh aktivitas keagamaannya di Masjid Agung. Ia kemudian membuat masjid baru sebagai sarana perjuangan. "Seluruh biaya dan pembangunannya dilakukan sukarela," katanya.

Ia menuturkan, awalnya sang ayah tidak berencana membangun masjid baru di Garut tersebut. Namun, sikap intervensi itulah yang akhirnya mengubah seluruh jalan hidup kiai.

"Karena dalam pengajiannya selalu mengorbarkan perjuangan melawan penjajah dan Belanda tidak senang itu," kata dia.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Awal Perjuangan Kemerdekaan

Suasana Kegiatan Pengajian di Mesjid Perjuangan
Suasana pengajian di Masjid Perjuangan, Garut, Jawa Barat. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)`

Dengan tekad bulat, awal perjuangan pun dimulai. Kiai pertama dari Tatar Priangan yang ikut bertempur bersama Bung Tomo, dalam aksi heroik 10 November 1945 di Surabaya, Jawa Timur itu, mulai melakukan pembangunan.

"Tanahnya wakaf, pasir dan batunya bantuan warga, mengambil dari Sungai Cimanuk secara gotong royong, semuanya sukarela," tutur KH Kamil.

Tak memakan waktu lama, tempat suci umat Islam itu akhirnya tegak berdiri. Kegiatan pengajian dan keagamaan semakin berkibar, dengan semangat bergelora, perjuangan melalui pendidikan pun dimulai di tempat barunya itu.

"Paling pertama (diajarkan) mungkin salah satunya di Indonesia saat itu, adalah menerjemaahkan Alquran ke dalam bahasa Indonesia," kata dia.

Dengan pola itu, masyarakat pun berduyun-duyun datang ikut menimba ilmu. Buat warga saat itu, pola itu tergolong baru untuk memahami ayat suci Alquran. Tak lupa dalam pengajian itu, beberapa siasat perjuangan melawan penjajah Belanda yang diambil dari Alquran ikut diberikan, untuk menyemangati santri dan warga.

Kegiatan keagamaan seperti tak berhenti setiap hari, dimulai pukul 02.00 dini hari, pagi hari, hingga petang, masyarakat ikut belajar dengan bimbingan langsung Kiai Haji Mustofa Kamil. "Paling istirahat salat dan makan, tapi kalau santrinya (yang belajar mengaji) bergantian," ujarnya.

Dengan pola seperti itu, masyarakat pun semakin antusias. Mereka tidak hanya pintar menguasai ilmu agama, tapi juga cakap dalam bidang politik. "Santri dan warga tidak cukup hanya mampu mengaji, tetapi harus pintar politik juga," katanya.

Tak aneh, dengan sikap kerasnya itu, sang kiai puluhan kali ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara Belanda yang dikenal sadis saat itu. "Kalau tidak salah sampai 28 kali ditangkap dan dipenjara," ujar anak ke 12 dari sang kiai mengenang perjuangan ayahnya itu.

 

Meninggal dan Dimakamkan di TMP Surabaya

Rumah Perjuangan Samping Mesjid Perjuangan
Rumah Perjuangan samping Masjid Perjuangan, Garut, Jawa Barat. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Perjuangan KH Mustafa Kamil dalam melawan penjajah Belanda tidak diragukan lagi. Ketika maklumat perjuangan didengungkan Bung Tomo dan KH Hasyim As'ary dari Surabaya, sang kiai tanpa berpikir panjang ikut menjadi bagian penting pertempuran 10 November 1945. "Masjid dan seluruh kegiatan dititipkan pada santrinya," kenang dia.

Ia menjadi salah satu ulama luar Jawa Timur, yang ikut bergabung dalam aksi heroik perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia itu dari tangan penjajah Belanda. "Beliau wafat dan dimakamkan bersama 18 kiai lainnya di sana," kata dia.

Awalnya, keluarga kesulitan menemukan batu nisan ulama pejuang asal Kota Dodol itu. Namun, berkat petunjuk hasil salat istikharah (salat meminta petunjuk) yang dilakukan istrinya, Nyai Siti Rohmah, akhirnya makam KH Mustafa Kamil berhasil ditemukan.

Semula makam kiai ditemukan di daerah Gedangan, Surabaya. Tapi, ketika mau dipindah ke tanah kahirannya, Garut, sang istri kembali bermimpi didatangi kiai, dan menolaknya untuk dipindah. "Takut dikultuskan masyarakat Garut," ujar dia menirukan ucapan ibunya tempo hari.

Akhirnya, berdasarkan kesepakatan keluarga, serta permintaan pihak militer dan pemerintah, diputuskan tempat peristirahatan kiai tetap di kota pahlawan Surabaya. "Makamnya sekarang di TMP (Taman Makam Pahlawan) Taman Hiburan Rakyat, Surabaya, nisannya nomor 7," dia mengingatkan.

Jalan Terjal Menjadi Pahlawan Nasional

Foto Mediang KH Mustofa Kamil
Foto mediang KH Mustofa Kamil. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Kamil pun berharap ayahnya layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. Terutama, melihat kiprah KH Mustafa Kamil dalam mencerdaskan masyarakat melalui pengajian, serta perjuangannya mengangkat senjata secara langsung bertempur dengan penjajah Belanda.

"Dulu pernah dibahas bareng RAA Lasminingrat (calon pahlawan literasi perempuan dari Garut), tapi sekarang enggak tahu bagaimana nasibnya," kata dia.

Menurut dia, pengorbanan sang kiai dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sangat besar. Bahkan, beberapa data sejarah mencatat nama KH Mustafa Kamil sebagai korban dalam pertempuran 10 November 1945.

"Saya juga mendapat foto ayah dari surat kabar terbitan Belanda," kata dia sambil menunjukkan foto besar yang menghiasai ruang utama di salah satu sudut Masjid Perjuangan itu.

Ia berharap, dengan besarnya pengorbanan yang diberikan bagi Indonesia, nama KH Mustofa Kamil bisa diangkat menjadi pahlawan nasional. Dengan demikian, mampu memberikan kebanggaan bagi masyarakat Garut.

"Semoga saja perjuangannya (proses pahlawan) tidak sampai di sini, kami memiliki banyak bukti keterlibatan Beliau dalam perjuangan melawan Belanda," ucapnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya