Tarto Kopi Yogyakarta, Tempat Ngopi Bayar Pakai Relasi

Ngopi di kedai kopi sudah biasa, akan tetapi kalau bayar kopi pakai relasi belum lazim dijumpai. Coba saja secangkir kopi di Kotagede, Yogyakarta ini,

oleh Switzy Sabandar diperbarui 13 Jul 2018, 07:01 WIB
Diterbitkan 13 Jul 2018, 07:01 WIB
Tarto Kopi
Tarto Kopi di Yogyakarta menjual secangkir kopi dengan harga sukarela. (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Yogyakarta - Harga terbaik dari secangkir kopi ialah relasi. Slogan dari sebuah kedai kopi di pinggir kota Yogyakarta ini sejalan dengan konsep pemasaran yang diterapkannya.

Bagaimana tidak, jika untuk mendapatkan secangkir kopi tidak ada patokan harga pasti alias pengunjung membayar sukarela saja. Bahkan, saat ini kedai itu sedang punya program menukarkan delapan botol plastik bisa mendapat secangkir kopi gratis.

Namanya Tarto Kopi. Kedai kopi yang dibuka di sebuah teras rumah di Mondorakan, Kotagede ini lebih mirip markas komunitas. Hal itu bisa dimaklumi karena memang kedai yang baru dibuka pada April lalu ini juga tempat berkumpul komunitas Sakatoya, komunitas manajemen produksi yang bergerak di industri kreatif.

Keunikan Tarto Kopi tidak hanya dari metode pembayarannya. Penyajiannya pun tak kalah nyentrik. Biji kopi biasanya digiling sebelum diseduh, akan tetapi di sini biji kopi diulek.

Secara harafiah diulek, menggunakan cobek. Setelah itu, pengunjung bisa memilih, mau drip, V60, atau tubruk.

"Kopi yang diulek bukan sekadar promosi Tarto Kopi, tapi juga jadi tujuan kami, yakni supaya pembeli menunggu dan bisa mengobrol karena prosesnya lebih lama," ujar BM Anggana, pemilik Tarto Kopi, kepada Liputan6.com, Selasa, 10 Juli 2018.

Tarto Kopi buka setiap hari mulai pukul 16.00 WIB. Lokasinya yang masuk ke dalam gang dekat Pasar Kotagede membuat tempat ini cocok untuk bersantai. Tidak ada kebisingan dan jauh dari lalu lalang kendaraan bermotor.

Uniknya, nama Tarto Kopi juga tercetus dari konsep berinteraksi dan berelasi. Tarto merupakan akronim dari ntar to yang berarti sebentar ya. Eng, sapaan akrab Anggana, sengaja memilih kata itu untuk menggambarkan proses mengulek kopi yang tidak sebentar.

"Jadi kalau ada yang tanya mana kopinya kok lama, saya jawab ntar to," tuturnya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Alasan Menukar Kopi dengan Botol Plastik Bekas

Tarto Kopi
Tarto Kopi di Yogyakarta menjual secangkir kopi dengan harga sukarela. (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

Selain menerapkan pembayaran sukarela, Tarto Kopi juga menerapkan donasi delapan botol plastik bekas yang ditukar dengan secangkir kopi. Metode ini berlangsung sampai dengan akhir Juli 2018.

Komunitas Sakatoya berkolaborasi dengan Snooge Artwork menggagas sebuah teater ekologi dengan pengolahan sampah botol dan sampah plastik sebagai narasi utama pertunjukan, dari segi cerita maupun estetika visual.

Teater bertajuk #OctagonSyndrome akan digelar pada 4 dan 5 Agustus 2018 di Gedung PKKH UGM Yogyakarta. Eng sebagai sutradara pertunjukan bekerja sama dengan Dani Martin dari Snooge Artwork untuk tata artistik dan penata musik, Farindo Reska Jenark “Kidjing”.

Mereka mengolah sekitar 10.000 sampah botol plastik.

"Dari donasi sudah terkumpul lebih dari 2.000 botol," ucap Eng.

Isu sampah memang menjadi perhatian Eng dan teman-temannya. Terlebih, maraknya toko modern 24 jam di Yogyakarta membuat sampah plastik, termasuk botol plastik bekas bertambah.

"Bayangkan saja, anak kos di Yogyakarta yang malas beli galon pasti minum dari air mineral kemasan di botol plastik, daripada jadi sampah mending didonasikan kepada kami," ujarnya.

 

Kisah Pangeran di Negeri Plastik

Tarto Kopi
Tarto Kopi di Yogyakarta menjual secangkir kopi dengan harga sukarela. (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

Teater #OctagonSyndrome berkisah tentang seorang pangeran yang hidup sebatang Kara. Ia tinggal di sebuah negeri yang sudah kehilangan tanah, pohon, dan kehidupan lainnya.

Negeri ini bertanahkan plastik dan seluruh perabotan terbuat dari sampah plastik.

Setiap hari, ia hanya menghadapi lingkungannya dan menunggu detik-detik kematiannya. Aktivitas pangeran hanya berenang di kolam botol plastik atau mencari-cari sisa air dalam botol yang ada untuk bertahan hidup.

Sampai suatu saat, sepasang saudara mendatanginya. Konflik pun muncul karena mereka bertiga menghadapi bencana lingkungan.

Tata panggung dibuat sedemikian rupa sehingga penonton ikut larut dalam kegelisahan dunia plastik. Penonton duduk di antara sampah botol plastik yang menyerupai wahana mandi bola.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya