Kisah Relawan dari Batu, Mencoba Mendengarkan Isi Hati yang Tak Terucapkan

Paulus Andi Dwi Cahyono, relawan yang mendampingi para pemuda penyandang bisu dan tuli yang tergabung dalam komunitas Shining Tuli mencoba meringankan beban penyandang.

diperbarui 11 Agu 2018, 03:02 WIB
Diterbitkan 11 Agu 2018, 03:02 WIB
Paulus Andi Dwi Cahyono Melayani Penyandang Tuli Bisu
Didik (Tiga dari kiri, bertopi coklat) , relawan pendamping penderita tuna rungu yang sempat setahun menggunakan bahasa Tarzan karena belum paham bahasa isyarat. (Times Indonesia/Muhammad Dhani Rahman)

Batu - Aktivitas di sebuah rumah di sebuah dusun di Desa Oro-oro Ombo, Kecamatan Batu, Kota Batu, Jawa Timur terlihat berbeda hari itu. Beberapa pemuda dengan kaus seragam tampak sibuk, ada yang menggergaji kayu, ada yang mengecat tembok, ada yang membenahi plafon.

Ketika tim TIMES Indonesia (timesindonesia.co.id) mencoba menyapa mereka, tidak ada yang menyahut. Namun, hal itu wajar karena memang semua pemuda itu penyandang tunarungu yang sedang mengadakan bakti sosial memperbaiki salah satu rumah warga tidak mampu di dusun itu.

Hanya seorang laki-laki yang menghampiri TIMES Indonesia (timesindonesia.co.id). Sambil tersenyum ia menyodorkan tangannya, mengajak bersalaman.

Dia adalah Paulus Andi Dwi Cahyono, relawan yang mendampingi para pemuda penyandang bisu dan tuli yang tergabung dalam komunitas Shining Tuli.

"Posisi saya di Shining Tuli juga tidak jelas, karena memang nama saya tidak ada di struktur," ujar Didik, panggilan akrab laki-laki ini.

Meski posisi tidak jelas dalam keorganisasian, peran pria berusia 40 tahun ini sangat besar di komunitas penyandang cacat ini. Dia tidak hanya menjadi penasihat, tidak hanya mendorong dan membina, tapi juga menjadi penerjemah para penyandang bisu tuli ini.

Di mana pun ada Shining Tuli di situ ada Didik. Laki-laki ini memang sudah beritikad untuk mendarmabaktikan hidupnya untuk para difabel ini.

"Karena teman-teman cacat tidak hanya diberikan cobaan hidup dari keterbatasan fisiknya, banyak di antara mereka membutuhkan uluran tangan kita," ujar Didik.

Bukan berbentuk bantuan materi, tetapi mereka butuh orang yang peduli, orang yang mau mendengar, mau menemani dan membantu mereka kala kesulitan.

Berawal saat adik ipar Didik yang mengalami kelainan di kaki yang sedikit bengkok, hingga akhirnya terkadang menjadi korban perundungan teman-temannya.

Ia pun mencoba membesarkan hati adik iparnya tersebut, hingga akhirnya dengan bantuan Yulius Mesar, kenalannya, adik iparnya ini akhirnya bisa dioperasi dan sembuh.

Dari situ Didik diajak Yulius Mesar mendirikan sebuah komunitas yang mendampingi para difabel. Setiap hari bertemu bertemu dengan anak berkebutuhan khusus membuatnya semakin tergerak untuk terus mendampingi para difabel.

"Masih banyak orangtua penyandang cacat yang sengaja menyembunyikan anaknya karena malu. Begitu juga, masih banyak yang menjauhi penyandang cacat karena berbagai hal," ujarnya.

 

Baca berita menarik lainnya dari Times Indonesia di sini.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Jadi Tempat Curhat

Paulus Andi Dwi Cahyono Melayani Penyandang Tuli Bisu
Didik (Tiga dari kiri, bertopi coklat) , relawan pendamping penderita tuna rungu yang sempat setahun menggunakan bahasa Tarzan karena belum paham bahasa isyarat. (Times Indonesia/Muhammad Dhani Rahman)

Bahkan, ada seorang ayah yang tidak mau menerima anaknya yang terlahir cacat, hingga akhirnya difabel ini hanya dirawat ibunya.

Kemalangan difabel itu semakin parah saat sang ibu menikah lagi. Suami baru sang ibu juga tidak mau menerima anaknya yang cacat ini, sehingga akhirnya difabel tersebut terlantar dan dirawat oleh tetangganya.

"Tidak semua anak berkebutuhan khusus memiliki orangtua yang care (peduli) dan kuat. Ada anak yang harus menghadapi sendiri masalah sosial yang dihadapi. Miris sebenarnya, karena itu saya akhirnya memilih bertahan pada aktivitas ini," katanya.

Kedekatannya dengan penyandang tunarungu, tidak lain berawal dari anak-anak berkebutuhan khusus ini merasa sendiri, tidak ada yang memahami keinginan mereka.

"Kebingungan mereka itu, kalau punya masalah harus ngomong ke siapa, orangtua tidak begitu mengerti apa yang menjadi maksud mereka, hingga akhirnya saya mencoba memberikan apa yang mereka butuhkan," ujar Didik.

Saat itu, ia sama sekali tidak mengerti bahasa isyarat, baik model Sibi maupun Bisindo, hingga akhirnya, ia pun harus menggunakan bahasa Tarzan.

"Hampir setahun saya memakai bahasa Tarzan, hingga akhirnya sedikit-sedikit bisa bahasa isyarat," ujar Didik.

Dari situ Didik mengarahkan anak-anak penyandang tunarungu ini melakukan berbagai aktivitas positif, seperti menguasai tari tradisional, pantomim, hingga menyanyi.

Bahkan, Didik mengajak anak-anak ini membuat industri rumahan yakni membuat Batik Shitu. Sebuah karya batik yang dibuat oleh para Shining Tuli, sebuah wadah organisasi yang mereka buat untuk penyandang tuli dan bisu.

"Saya ingin membuat asrama yang didalamnya ada asrama untuk menampung saudara-saudara berkebutuhan khusus yang terlantar," ujar Paulus Andi Dwi Cahyono, relawan yang mendampingi para pemuda penyandang bisu dan tuli yang tergabung dalam komunitas Shining Tuli. 

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya