Pohon Asam Tua, Rahasia Joni Gala Mudah Panjat Tiang Bendera

Meski tiang bendera setinggi 20 meter bergoyang hebat, Joni Gala tetap mampu mengaitkan kembali tali pengait ke tiang.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Agu 2018, 07:03 WIB
Diterbitkan 25 Agu 2018, 07:03 WIB
Bocah Heroik Joni Gala
Komandan Korem 161/Wira Sakti Brigjen TNI Teguh Muji Angkasa mengapresiasi aksi heroik Yohanes Andi Gala (13) yang biasa disapa Joni.

Liputan6.com, Jakarta - Masih soal Joni Gala. Anak laki-laki berusia 14 tahun asal Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang sejak 17 Agustus 2018 menjadi buah bibir masyarakat Indonesia karena memanjat tiang bendera.

Nama lengkapnya Yohanes Ande Kalla Marcal. Namun, menurut sang kakak, Joqino Carvalho Marcal (19), sejak kecil adiknya yang duduk di kelas 1 SMP Negeri 1 Silawan ini memang sudah dipanggil Joni.

Bungsu dari sembilan bersaudara, anak pasangan Lorensa Gama (53) dan Viktorlino Fahik Marcal (65) itu berhasil membuat Merah Putih berkibar saat upacara perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ke-73 di Atambua.

Joni memanjat tiang setinggi 20 meter yang terlihat semakin bergoyang hebat manakala puncaknya berhasil dicapai. Ia berhasil menggapai tali pengait bendera yang terlanjur meluncur ke puncak tiang bendera.

Peristiwa spontanitas Joni ini mengingatkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada pemicu pecahnya pertempuran Surabaya, yakni penyobekan bagian bendera Belanda yang berwarna biru di atap Hotel Yamato sehingga meninggalkan hanya warna merah dan putih sebagai bendera Indonesia.

Situasinya memang berbeda, namun setidaknya semangatnya sama, yakni memastikan Merah Putih tetap berkibar.

Dilansir Antara, ternyata, Joni memang terbiasa memanjat pohon, mulai dari pohon pinang, asam, hingga kelapa. Qino, kakak ke-6 Joni yang ditemui saat menemani adiknya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta, beberapa waktu lalu, bercerita tentang keseharian adiknya di tapal batas.

Desa Silawan, tempat keluarga Joni tinggal, berada di tapal batas antara Indonesia dan Timor Leste. Menurut Qino, rumah keluarganya pun berjarak hanya beberapa ratus meter saja dari perbatasan dua negara.

Menurut siswa SMK Negeri 2 Belu yang mengambil jurusan otomotif ini, adik bungsunya seusai sekolah selalu membantu ibunya mengambil dan mengumpulkan asam. Hanya tersisa satu atau dua jam saja di sore hari yang terkadang digunakan Joni untuk bermain sepak bola dengan teman-temannya.

Adiknya, kata Qino, biasa memanjat pohon asam dan mengambilnya, dan ibunya yang mengumpulkannya ke dalam karung. Pohon asam itu berada di hutan sekitar desa. Luasannya melingkupi tiga desa perbatasan Belu, NTT, bahkan hingga menyeberang ke Timor Leste.

Buah asam yang terkumpul kemudian dijual ini dilakukan di hutan sekitar desa. "Iya kadang mereka (mamak dan Joni) juga mengambil asam sampai melewati perbatasan. Tidak apa-apa, boleh," ujar Qino.

* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini

 

 

Jual Roti

Joni dapat penghargaan dari Mendikbud
Yohanes “Joni” Ande Kala bertemu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy di Jakarta, Senin (20/8). Joni Gala (14) yang mengenakan seragam SMP berwarna putih biru itu didampingi kedua orang tuanya. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Bulan-bulan di musim kering seperti ini, dari Juli hingga Oktober, menurut dia, merupakan waktu terbaik untuk mengambil asam. Terkadang jika pergi mengumpulkan asam dari pagi, mereka bisa membawa pulang hingga empat atau lima karung berisi asam.

"Tapi kalau pergi jam 1 siang, paling hanya dua kilogram terkumpul," lanjutnya.

Pohon asam di sana banyak dan juga sudah lumayan tua usianya. Karenanya, banyak pula yang tingginya 10 meter atau lebih. Pohon-pohon seperti ini yang hampir setiap hari dipanjat oleh adiknya.

Setelah mengumpulkan asam, mamak akan kupas kulitnya lalu dimasukkan lagi dalam karung untuk kemudian dijual ke Atambua. "Atau nanti ada yang datang jemput," kata Qino.

Biasanya, asam akan terkumpul hingga 40 kilogram (kg) dalam seminggu, dan akan dijual dengan kisaran Rp 5.000 per kg. Tapi jika benar-benar sedang banjir asam, menurut dia, terkadang hanya diberi harga Rp 2.500 per kg.

Selain menjual asam, sumber pendapatan lain keluarganya berasal dari roti bakar. Ibu Joni di malam hari, sepulang dari mengumpulkan asam, akan membuat roti bakar yang akan dijual sebagai menu sarapan pagi hingga ke perumahan terdekat di Timor Leste.

"Ada banyak rumah di sana, mungkin ada 100 rumah. Joni yang bawa ke sana pagi-pagi sebelum sekolah, dijual Rp 1.000 satu roti bakar," kata Qino.

Qino yang sekarang duduk di kelas 3 SMK ini mengatakan keseharian Joni sebenarnya sama dengan apa yang dilakukannya saat dirinya seusia adiknya. Karena sudah mulai banyak praktikum di sekolah, kegiatan membantu mamak diserahkan semua pada adik bungsunya.

"Ambil asam, panjat pohon, ambil rumput (untuk pakan ternak), jual roti bakar," kata Qino menyebutkan apa saja yang biasa dilakukan dirinya dan adiknya.

Sang ayah kebetulan sedang menderita asma dan hanya bisa sekali-sekali berladang jagung dan ubi jalar untuk makan sehari-hari. Lagipula, kegiatan mengumpulkan asam dan menjualnya ke Atambua atau diambil pembeli di rumah, menurut Qino, bukan hanya keseharian di keluarganya saja.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya