Awas, Bahaya Ini Mengintai Pendaki Gunung Slamet di Musim Kemarau

Gunung Slamet terdiri dari vegetasi lereng berupa hutan lindung penuh belukar, hingga mendekati puncak yang didominasi tanaman semak yang mudah terbakar pada musim kemarau.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 12 Sep 2018, 15:30 WIB
Diterbitkan 12 Sep 2018, 15:30 WIB
Pendaki menuju puncak Gunung Slamet. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Pendaki menuju puncak Gunung Slamet. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Purwokerto - Gunung Slamet yang puncaknya berada pada ketinggian 3.428 meter di atas permukaan laut merupakan gunung tertinggi kedua di Pulau Jawa. Kaki gunungnya yang berada di lima kabupaten, yaitu Banyumas, Purbalingga, Tegal, Pemalang, Tegal, dan Brebes, membuat jalur pendakian gunung ini tersebar di berbagai penjuru, mulai dari sisi selatan, timur, utara, dan baturraden, hingga Guci.  

Sebagaimana vegetasi gunung di pulau Jawa, tetumbuhan di Gunung Slamet pun terdiri dari mulai vegetasi lereng berupa hutan lindung penuh belukar, hingga mendekati puncak yang didominasi tanaman semak.

Pada musim kemarau ini, tanaman yang berada di Gunung Slamet mengering, terutama di vegetasi semak, mendekati puncak Gunung Slamet. Potensi kebakaran pun meningkat di musim kering ini.

Yang berbahaya, tiupan angin kencang menyebabkan api cepat meluas. Dikhawatirkan, api merembet ke jalur-jalur pendakian dan menyebabkan pendaki terjebak.

Komandan Tim Reaksi Cepat (TRC) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banyumas, Kusworo, mengingatkan bahaya kebakaran ini yang jebanyakan justru muncul dari ulah para pendaki sendiri. Contohnya, kebakaran terakhir yang terjadi pada 2015 lalu diduga disebabkan oleh api unggun pendaki yang tak dimatikan sempurna.

Api ini lantas merembet di bawah tanah dan menyebabkan kebakaran Gunung Slamet hingga 40 hektare. Karenanya, ia meminta agar pendaki berhati-hati saat menyalakan api unggun.

Ketersediaan Sumber Air di Gunung Slamet

Batas vegetasi di Gunung Slamet. (Liputan6.com/Basarnas/Muhamad Ridlo)
Batas vegetasi di Gunung Slamet. (Liputan6.com/Basarnas/Muhamad Ridlo)

Saat itu, pemadaman kebakaran terkendala medan yang berat. Pemadaman api secara konvensional pun tak bisa dilakukan. Sebab, kebakaran berada di ketinggian sekitar 2.800 mdpl.

Petugas juga berhadapan dengan bahaya angin kencang yang membuat api sulit dipadamkan. Di medan ekstrem ini, seorang petugas bahkan bisa terjebak dalam kobaran api, jika tak berhati-hati.

"Sarannya, kalau mematikan api harus memastikan api betul-betul padam. Tidak ada sisa," ungkap Kusworo, Selasa (11/9/2018).

Kusworo bercerita, secara teori, kebakaran hutan atau semak bisa dipadamkan dengan memotong jalur rembetan api. Misalnya, dengan memotong pohon dan membersihkan semak untuk melokalisasi api.

Namun, rupanya saat itu api juga merembet di bawah tanah, sehingga tak tampak. Api ini lantas muncul di lokasi lain sehingga kebakaran tak bisa cepat dipadamkan. Kesulitan juga bertambah lantaran tak ada sumber air yang bisa membantu pemadaman api.

"Khawatir ada pendaki atau warga yang terjebak api," ujarnya.

Kondisi kering yang berimbas pada meningkatnya risiko kebakaran juga berarti pertanda bahaya untuk pendaki. Persediaan air bersih pendaki pun harus dipastikan cukup. Pasalnya, pendaki bakal kesulitan mencari sumber air bersih pada musim kemarau.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya