Liputan6.com, Denpasar - Sore itu, matahari masih tinggi. Panas sinar mentari seakan mampu menembus kulit. Namun, ribuan orang perempuan berbaris rapi mengenakan pakaian adat Bali. Cantik dan memesona. Mereka tak henti menebar senyum kepada pengunjung Petitenget Festival yang antusias datang ingin menyaksikan ribuan penari menari bersama.
Pada Minggu sore, 11 September 2018, Festival Petitenget resmi ditutup setelah dua hari digelar. Sebagai pertunjukan pamungkas sekaligus pertanda event itu selesai, panitia menyuguhkan tari tenun.
Dua ribu penari dilibatkan pada perhelatan itu. Mereka merupakan perempuan yang berasal dari 50 desa di Kelurahan Kerobokan. Berbaris rapi di bibir pantai, gerakan ribuan yang mengenakan pakaian, hiasan, dan riasan yang sama, tampak gemulai.
Advertisement
Tari tenun yang merupakan ikon Petitenget Festival mampu menghipnotis ribuan pengunjung dan turis mancanegara yang menyaksikan pertunjukan. Suasana semakin eksotis kala saat tarian dilangsungkan, matahari terbenam di Pantai Petitenget. Deburan ombak menambah sejuk suasana.
Baca Juga
Ketua Panitia Petitenget Festival, Anak Agung Bayu Joni Saputra menjelaskan, ada dua ribu penari yang dilibatkan pada kegiatan tersebut. Tari Tenun, Bayu melanjutkan, meerupakan karya Nyoman Ridet asal Desa Kerobokan. Tari Tenun diciptakan Nyoman Ridet pada 1957.
"Tari Tenun menceritakan aktivitas perempuan Bali yang tengah melakukan kegiatan menenun dengan alat sederhana," kata dia.
Gerakan Tari Tenun amat khas dengan lelaku penenunan yang masih dijumpai hingga kini di Bali. Tari ini dimulai dengan gerakan yang mirip ketika seseorang tengah memintal benang saat menenun, lalu gerakan mengatur benang di alat tenun dan diakhiri dengan kegiatan menenun itu sendiri.
Sebagian gerakan pada Tari Tenun mengacu pada tarian klasik. Sebagian lainnya imitatif untuk menunjukkan keindahan dan kekompakan. "Selain gerakan yang unik, busana yang dikenakan identik dengan warna cerah seperti kuning, hijau dan merah. Hiasan di kepala yang khas disebut Lelunakan," ujarnya.
Sabet Rekor MURI hingga Kesurupan Massal
Selain menjadi magnet bagi wisatawan, Tari Tenun massal itu juga menarik perhatian Museum Rekor Indonesia (Muri) yang memberikan penghargaan khusus atas pementasan tersebut. Muri memberikan penghargaan khusus atas penyelenggaraan tari renun massal yang menjadi pertunjukan pamungkas Petitenget Festival.
Sementara itu, usai memecahkan rekor Muri, beberapa dari penari kerauhan (kerasukan/kesurupan). Ada yang menangis, ada yang berteriak histeris, ada pula yang terus menari tanpa henti.
Untung saja, panitia sigap, mereka segera dilokalisasi dan diberikan tirta (air suci penetral) oleh pemangku (pendeta hindu) yang dihadirkan khusus pada acara itu. Menurut Bayu, kerauhan yang terjadi merupakan roh atau spirit dari penari.
Ia meyakini jika hal itu menunjukkan pengaruh positif, bukan roh negatif. "Kerauhan itu adalah ciri jika Desa Adat Kerobokan masih metaksu. Spirit ini menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa hadir di tempat ini memberikan restu bahwa ini adalah tempat sakral," ujarnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement