Cerita Mantan TKW Modal Nekat Usaha Tenun Ikat

Lambat laun hasil ketelatenan dan kerja keras Siti Ruqoyah membuahkan hasil.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 26 Sep 2018, 08:01 WIB
Diterbitkan 26 Sep 2018, 08:01 WIB
Mantan TKW usaha tenun ikat di Kediri
Mantan TKW usaha tenun ikat di Kediri (Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Kediri - Bekerja selama dua tahun menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) sebagai Pembantu Rumah Tangga (PT) di Arab Saudi membuat mental Siti Ruqoyah (49), warga Kelurahan Bandar Kidul, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, Jawa Timur, menjadi lebih tangguh.

Dikisahkan ibu dua anak ini, semula sejak tahun 1989, dirinya sudah merintis usaha tenun ikat.

Namun, seiring berjalannya waktu, menginjak tahun 1998, Indonesia diguncang krisis moneter, sehingga usahanya tersebut terpaksa ditutup. Selama itu, lalu timbul keinginannya untuk adu peruntungan mencari nafkah di negeri orang.

"Ketika itu, sebenarnya berat karena suami sempat melarang. Tetapi karena keadaan saya akhirnya nekat berangkat," tutur Siti Ruqoyah, Kediri, Selasa, 25 September 2018.

Selepas masa krisis moneter, setelah dua tahun merantau di luar negeri, terbesit keinginannya untuk kembali ke kampung halaman sekaligus merintis kembali usaha tenunnya tersebut.

"Sisa uang hasil kerja saya saat itu cuma 25 juta rupiah," katanya.

Berbekal tekad dan kemauan yang sangat tinggi, perlahan ia merintis kembali usahanya tersebut bersama sang suami, Munawar (68).

Lambat laun hasil ketelatenan dan kerja keras Siti membuahkan hasil. Kini ia sudah memiliki empat tempat usaha tenun ikat tradisional khas Kediri.

Awal membuka usaha, Siti hanya mampu menggaji lima orang karyawan. Saat ini, jumlah pekerjanya terus bertambah hingga bisa mempekerjakan 98 orang dan memiliki alat tenun bukan mesin sebanyak 60 unit.

"Dulu waktu awal bikin, alat tenunnya cuma tiga unit," ucapnya.

 

Banjir Order

Mantan TKW usaha tenun ikat di Kediri
Mantan TKW usaha tenun ikat di Kediri (Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Secara kumulatif, Siti Ruqoyah mengaku dalam waktu satu hari ia bisa memproduksi enam puluh pesanan, di antaranya baju jenis katun, sarung tenun, syal, dan kain sutra.

Tarifnya bervariatif untuk baju jenis katun satu potong, dihargai Rp 315 ribu. Kain sutra Rp 440 ribu, semisutra Rp 320 ribu, syal Rp 90 ribu, sarung kualitas A agak lebih mahal dibanderol Rp 225 ribu. Sementara sarung kualitas B Rp 185 ribu.

"Kalau pesan 100 potong, pengerjaannya butuh waktu satu bulan. Paling cepat tiga minggu mas. Pesanan paling banyak terutama, ketika mendekati momentum Lebaran. Kalau sudah gitu, numpuk pengerjaannya baru selesai setelah Lebaran," ujarnya.

Karena produksi tenun ikat garapannya dinilai konsumen memiliki kualitas sangat baik, ia sering mendapat order dari dalam maupun luar kota Kediri. "Dari Papua maupun NTT juga pernah Mas pesan di sini," tuturnya.

Bahkan, ia juga sering diundang pameran UMKM di berbagai daerah mewakili pemda setempat. Tidak hanya itu, ia juga acapkali menerima piagam penghargaan dan memenangkan lomba.

"Tanggal 4 Oktober saya diundang BI, untuk pameran di Jakarta," katanya.

Wilayah Kelurahan Bandar Kidul Kecamatan Mojoroto Kota Kediri, Jawa Timur, selama bertahun-tahun memang dikenal sebagai daerah kampung industri berbasis tenun ikat. Di tempat ini terdata, kurang lebih ada 12 pelaku usaha.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya