Tradisi Ujungan, Adu Pukul Rotan dan Janji Manusia kepada Tuhan

Tradisi ujungan berkembang di wilayah Kademangan, di mana kehidupan masyarakat banyak bergantung pada aliran sungai Gumelem dan mata air gunung berbatu.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 29 Sep 2018, 17:00 WIB
Diterbitkan 29 Sep 2018, 17:00 WIB
Dua pria bertarung adu pukul rotan dalam tradisi Ujungan, ritual minta hujan masyarakat Banjarnegara. (Liputan6.com/Yusmanto/Muhamad Ridlo)
Dua pria bertarung adu pukul rotan dalam tradisi Ujungan, ritual minta hujan masyarakat Banjarnegara. (Liputan6.com/Yusmanto/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banjarnegara - Dua pria dewasa berhadap-hadapan dengan sikap siaga di tengah kepungan lautan manusia. Keduanya tak mempedulikan terik matahari di tengah tradisi ujungan, ritual minta hujan itu.

Masing-masing memegang bilah rotan di tangan kanan. Terikat kain pengaman di tangan kiri yang berfungsi sebagai perisai.

Di antara kedua, berdiri seorang wlandang atau wasit. Wasit inilah yang mengatur jalannya pertarungan dalam tradisi ujungan di Kemranggon, Susukan, Banjarnegara, Jumat, 28 September 2018.

Lantas, keduanya saling adu pukul. Perih dan ngilu dirasakan kedua petarung yang berasal dari desa berbeda ini, tetapi keduanya tak mengeluh.

Tak ada yang kalah menang dalam peratarungan adu pukul rotan ini. Semuanya adalah bagian prosesi ritual ujungan yang merupakan ritual minta hujan.

"Ujungan bukan pertandingan, jadi tidak ada yang kalah menang. Setelah pertandingan peserta juga saling memaafkan dan tidak ada dendam," ucap Ketua Dewan Kesenian Susukan, Yusmanto, kepada Liputan6.com, Jumat, 28 September 2018.

Yusmanto mengatakan ritual ujungan diikuti oleh wakil desa-desa yang berada di Kecamatan Susukan. Mereka bertarung di gelanggang terbuka di tengah tanah lapang.

Lantaran dimulai ketika matahari sudah tergelincir ke barat, pada tradisi ujungan kali ini, hanya ada 10 peserta yang bertarung alias lima pasang. Sebanyak 10 peserta itu berasal dari 10 desa yang ada di Kecamatan Susukan.

"Dibatasi sampai jam 5 sore. Jadi hanya ada lima pasang. Sebetulnya masih banyak yang akan ikut ujungan," dia menjelaskan ritual minta hujan tradisi masyarakat Susukan, Banjarnegara ini.

Pesan Mulia di Balik Tradisi Ujungan

Tradisi Takir, atau nata pikir, dalam rangkaian Festival Ujungan, Banjarnegara. (Liputan6.com/Yusmanto/Muhamad Ridlo)
Tradisi Takir, atau nata pikir, dalam rangkaian Festival Ujungan, Banjarnegara. (Liputan6.com/Yusmanto/Muhamad Ridlo)

Dua pihak akan berdamai seusai pertarungan, meski kadang ada yang menderita cedera. Cedera dalam prosesi ujungan dimaknai sebagai doa dan harapan.

Yusmanto menjelaskan, ujungan adalah sebentuk ritual perlambang ungkapan keluh kesah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Rasa perih dan sakit akibat sabetan rotan adalah jerit tangis manusia setelah lama didera kemarau panjang.

Manusia memanjatkan doa agar Tuhan segera menurunkan hujan. Ritual ini adalah janji manusia kepada Tuhan, demi menghindari penderitaan, mereka akan melestarikan Bumi.

"Manusia ingin kehidupan yang lebih baik, lebih baik lagi dan berjanji hidup lestari dengan bersahabat dengan alam semesta," dia mengungkapkan.

Di wilayah Kabupaten Banjarnegara, tradisi ujungan berkembang di wilayah Kademangan, dimana kehidupan masyarakat banyak bergantung pada aliran sungai Gumelem dan mata air gunung berbatu.

Tradisi ini diduga merupakan warisan kebudayaan ketika Kerajaan Majapahit berjaya, alias berasal dari ratusan tahun silam. Ritual ujungan digelar tiap tahun pada puncak kemarau, agar hujan segera tiba.

Festival Ujungan dimulai sejak Rabu (26/9/2018) lalu dengan berbagai rangkaian tradisi. Festival Ujungan dilanjutkan malam harinya dengan pentas seni, mulai seni modern hingga tradisional pada Jumat malam.

Dihadwalkan tampil, ensambel musik Mexico dari Grup Nayeche pimpinan Leon Gilberto Medelin Lopez, penari lengger dari Jepang Jurry Suzuki, dan Sendratari Ujungan dan Barongsay pada malam harinya.

Pada Sabtu (29/9/2018) pukul 10.00 WIB, digelar ruwat bumi yang dipercaya sebagai media untuk menetralisir energi negatif dari alam. Acara itu berlanjut dengan pentas wayang kulit semalam suntuk oleh dalang Ki Pepeng dengan cerita lahirnya Gatotkaca.

Pengunjung juga bisa menyaksikan agenda hiburan lainnya, atau bahkan turut serta dalam kegiatan menarik lain, Misalnya, atraksi Gropyok Iwak, sepeda santai dan lomba mancing. Rangkaian Festival Ujungan ditutup dengan pesta kembang api pada Minggu malam (30/9/2018).

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya