Legenda Pulau Kemaro, Tempat yang Dianggap 'Sangat Keramat Sekali'

Legenda yang berkembang ihwal Pulau Kemaro lebih populer dibanding sejarah peran penting delta di Sungai Musi itu. Pulau Kemaro dianggap 'sangat keramat sekali'.

oleh Nefri Inge diperbarui 11 Okt 2018, 03:00 WIB
Diterbitkan 11 Okt 2018, 03:00 WIB
Pulau Kemaro
Kelenteng di Pulau Kemaro (Foto: Liputa6.com / HMB)

Liputan6.com, Palembang - Alkisah sepasang kekasih terjun ke Sungai Musi secara bergantian. Tak lagi naik ke permukaan, yang muncul justru tanah sekawasan. Daratan di tengah sungai ini yang sekarang dikenal sebagai Pulau Kemaro atau Pulau Kemarau. Dari informasi resmi yang terpahat pada sebuah batu di sana, Pulau Kemaro disebut sebagai tempat yang 'sangat keramat sekali'.

Saya membaca sekilas kisah asal usul Pulau Kemaro itu pada Minggu yang lengas, 7 Oktober 2018, di dalam perahu ketek yang menyusuri Sungai Musi menuju pulau. Tak hanya kami yang hendak ke pulau, tetapi juga para pelancong lain. Panas terik rupanya tak menggoyahkan niat orang-orang berkunjung ke Pulau Kemaro.

Pulau Kemaro menjadi salah satu destinasi wajib di Palembang, Sumatera Selatan. Dengan bangunan kelenteng dan pagoda tinggi, daerah ini juga jadi tempat peribadatan etnis Tionghoa.

Kunjungan paling ramai saat perayaan Cap Go Meh. Tak hanya etnis Tionghoa dari Indonesia yang berdatangan, tetapi juga dari Tiongkok, Malaysia, dan Singapura.

Pulau Kemaro adalah sebuah delta atau daratan yang membentuk pulau di tengah Sungai Musi. Nama Kemaro berarti pulau yang tak pernah tergenang air. Luasnya sekitar 32 hektare, lokasinya sekitar 6 kilometer dari Jembatan Ampera dan sekitar 40 kilometer dari Kota Palembang.

Ada pagoda berlantai 9 yang menjulang di tengah-tengah pulau. Bangunan ini dibangun pada 2006. Selain pagoda, ada kelenteng yang sudah dulu ada. Klenteng Hok Tjing Rio atau lebih dikenal Klenteng Kuan Im dibangun pada 1962.

Di depan kelenteng terdapat makam Tan Bun An dan Siti Fatimah yang berdampingan. Dua sosok itu yang jadi tokoh utama legenda Pulau Kemaro.

Legenda setempat itu tertulis di sebuah batu di samping Klenteng Hok Tjing Rio. Syahdan, pada zaman dahulu datang seorang pangeran dari Negeri Tiongkok bernama Tan Bun An, hendak berdagang di Palembang.

Ketika meminta izin ke Raja Palembang, ia bertemu dengan putri raja yang bernama Siti Fatimah. Ia langsung jatuh hati, begitu juga dengan Siti Fatimah. Mereka menjalin kasih dan berniat untuk ke pelaminan. Tan Bun An mengajak Siti Fatimah ke daratan Tiongkok untuk bertemu orangtua Tan Bun Han.

Setelah beberapa waktu, mereka kembali ke Palembang. Bersama mereka disertakan pula tujuh guci yang berisi emas. Sampai di muara Sungai Musi, Tan Bun An ingin melihat hadiah emas di dalam guci-guci tersebut. Namun, alangkah kagetnya karena yang dilihat adalah sayuran sawi-sawi asin.

Tanpa berpikir panjang ia membuang guci-guci tersebut ke laut, tetapi guci terakhir terjatuh di atas dek dan pecah. Ternyata di dalamnya terdapat emas. Rupanya sayuran sawi-sawi asin itu untuk menutupi emas guna mengecoh para perompak.

Tan Bun An terjun ke sungai untuk mengambil guci yang sudah dibuangnya. Seorang pengawalnya juga ikut terjun untuk membantu. Tak kunjung muncul, Siti Fatimah menyusul dan terjun juga ke Sungai Musi, sambil berucap jika ada tanah tumbuh di tepi sungai itu maka di situlah kuburannya. Di Pulau Kemaro mereka bersemayam. 

 

 

Sejarah Penting Pulau Kemaro

Legenda Pulau Kemaro
Legenda terpahat di batu Pulau Kemaro (liputann6.com / HMB)

Legenda Siti Fatimah tersebut seakan menenggelamkan sejarah penting yang terjadi di Pulau Kemaro. Bahkan, banyak warga Palembang yang tidak mengetahui tentang cerita sejarah yang terjadi di kawasan tersebut.

"Cerita Siti Fatimah itu hanya legenda, tidak ada bukti autentiknya. Bahkan, kita tidak tahu, siapa nama raja yang menjadi orangtua Siti Fatimah tersebut. Hanya disebutkan saja bahwa dia anak raja. Padahal, ada sejarah yang lebih penting yang dilupakan oleh warga Palembang," ucap sejarawan Sumatera Selatan, Ali Hanafiah, kepada Liputan6.com, beberapa waktu lalu.

Ia menuturkan, sejarah Pulau Kemaro terjadi saat masa pemerintahan Keraton Palembang Darussalam. Kemaro menjadi lokasi benteng pertahanan lapisan pertama yang dinamakan Tambak Bayo.

Ali menjelaskan benteng pertahanan Pulau Kemaro menjadi kunci penting masuknya kolonial Belanda ke Palembang. Para penjajah sangat sulit masuk ke Palembang karena kuatnya pertahanan di Benteng Tambak Bayo.

Dari tahun 1811, Belanda mengincar Benteng Tambak Bayo untuk ditaklukkan. Barulah pada 1821, Benteng Tambak Bayo dapat dihancurkan dengan tipu muslihat Belanda.

Saat itulah, Ali menambahkan, Belanda baru bisa masuk dan menyerbu pertahanan Palembang Darussalam. Saat Belanda berhasil menjebol Benteng Tambak Bayo dan menguasai Palembang, seluruh prajuritnya diberikan kenaikan pangkat dua kali lipat sebagai bentuk penghargaan atas jerih payah mereka.

Benteng Tak Tersisa

Bangunan Benteng Tambak Bayo tidak tersisa sedikit pun. Lantaran itulah, tak mengherankan bila kemudian sejarah perjuangan Keraton Palembang Darussalam terlupakan, bahkan dari warga Palembang sendiri.

"Tidak banyak yang tahu tentang sejarah Benteng Tambak Bayo tersebut. Padahal, sejarah itu sangat penting untuk mengetahui bagaimana kekuatan dari Keraton Palembang Darussalam berupaya menghalau penjajahan Belanda di Palembang," ujar Ali.

Pulau Kemaro sendiri dipilih sebagai lokasi pertahanan lapis pertama karena kawasannya tidak pernah terendam saat permukaan Sungai Musi sedang tinggi. Sedangkan kawasan lain selalu terendam air Sungai Musi, karena sebagian besar kawasan Palembang merupakan rawa air.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya