Liputan6.com, Aceh - Lampu di ruang tengah dimatikan dan suasana pun hening. Cahaya memancar dari layar memantul ke wajah orang yang duduk paling depan. Muka mereka mengkilap oleh kilasan gambar perjuangan dari film dokumenter yang baru saja diputar.
Hingga separuh film terputar, seluruh orang yang ada di ruangan itu geming. Hanya bunyi pengeras suara ditemani kepulan asap tembakau yang terlihat menyemai di langit-langit. Bersama itu, terdengar batuk serta bisik-bisik kecil dari seseorang yang menonton.
Menjelang menit ke 40, film dokumenter hasil olahan tangan Dandhy Laksono itu selesai. Setelah berdiskusi sebentar, warga bubar. Jam saat itu menunjukkan angka 24.00 WIB. Sejuk mulai menusuk tulang.
Advertisement
Kecuali itu, Rusli dan beberapa sejawatnya, masih melanjutkan diskusi bersama anggota Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR), yang jauh-jauh datang dari Kabupaten Aceh Barat ke tempat itu. Turut serta pula tim dari Liputan6.com.
Baca Juga
Malam itu, Jumat 9 November 2018, warga diinisiasi Gerakan Beutong Ateuh Banggalang (GBAB), SMUR, Kanot Bu, dan Perkumpulan Prodeelat, baru saja menggelar nobar film dokumenter tentang perlawanan warga Kecamatan Gunem di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah terhadap pendirian pabrik semen, yakni Samin versus Semen.
Film itu diputar di sebuah desa berkabut di kaki gunung Singgah Mata, Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya. Nobar rencananya tak digelar sekali, karenanya, SMUR live in di tempat itu beberapa hari.
Sebagai catatan, Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang berada di pedalaman Gunung Singgah Mata, diapit Gunung Abong-Abong dan Gunung Tangga, yang masih segugusan dengan Bukit Barisan.
Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang cukup terisolasi. Jaraknya sekitar 74 kilometer dari pusat Kabupaten Nagan Raya. Untuk mencapainya, harus melewati tanjakan serta kelokan tajam di kawasan puncak Gunung Singgah Mata yang curam dan berkabut. Gunung ini berada di ketinggian sekitar 2.800 meter dari permukaan laut.
Luas Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang sekitar 585,88 kilometer persegi, dengan empat desa, yakni, Blang Puuk, Blang Meurandeh, Kuta Teungoh, dan Babah Suak ditambah satu desa persiapan. Film dokumenter itu rencana akan digelar di semua desa yang ada di kecamatan tersebut.
Pemutaran Samin vs Semen, diharap menjadi syarahan bagaimana para pengikut Sedulur Sikep berjuang secara kolektif menolak penambangan karst karena sebagian besar karstpegunungan Kendeng menjadi sumber pengairan bagi pertanian produktif.
"Pemutaran film ini semoga menambah pemahaman kita semua, menjadi bahan ajar bagi kita. Banyak yang bisa kita petik bagaimana saudara-saudara kita di Jawa yang menolak pabrik semen," kata Ketua SMUR Aceh Barat, Masykur Nyak Di Jurong, kepada Liputan6.com, Jum'at (10/11/2018).
Sebagai catatan, film dokumenter Samin VS Semen digarap Dandhy Laksono bersama seorang fotografer asal Aceh, bernama Suparta Arz. Kemudian diproduksi dalam waktu kurang lebih satu bulan, sepanjang Januari hingga Februari 2015 dan mulai dipublikasikan di youtube tanggal 3 Maret 2015.
Samin vs Semen menunjukkan bagaimana kaum Samin melawan untuk menolak pabrik semen. Perlawanan adalah benteng pertahanan terakhir kaum Samin, karena bertani adalah satu-satunya sumber penghasilan mereka.
Perjuangan Kaum Samin
Perjuangan kaum Samin juga merupakan perjuangan status quo dan identitas. Dalam adat Samin, yang merupakan pengikut Sedulur Sikep, berdagang adalah pantangan. Kepercayaan yang merupakan warisan para leluhur itu mau tidak mau harus diperjuangkan.
Sementara itu, eksploitasi sebuah perusahaan tambang emas di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang kiranya telah menjadi badai prahara di negeri berkabut itu.
Penolakan proyek tambang yang area konsesinya mencapai 10.000 hektare menggelinding sejak beberapa bulan terakhir. Dari ormas, hingga legislator ikut mencabar kesahihan izin operasi perusahaan itu.
Eksploitasi sumber daya alam di kawasan itu ditakutkan berakibat rusaknya ekosistem hutan sekitar. Hal ini ditengarai akan menghilangkan fungsi hutan lindung di kawasan itu yang juga bagian Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), selaku paru-paru dunia.
Di sisi lain, kehadiran perusahaan diantara penduduk yang masih kental komunalisme-nya itu, ditakutkan berdampak hilangnya nilai-nilai dan norma serta adat masyarakat setempat. Di kawasan itu banyak terdapat situs bersejarah yang masih belum tersentuh oleh tangan manusia.
"Ya. Ada semangat yang membara melihat semangat warga Samin menolak semen, sementara kita disini, menolak tambang. Banyak hal yang bisa saya ambil di filem tadi. Rasanya merinding," ujar warga Beutong Ateuh Banggalang, Rusli.
Kegundahan itu kiranya membuat seorang warga Beutong Ateuh Banggalang lainnya batal tidur dan kembali bergabung, melanjutkan pembahasan soal Samin vs Semen, serta relevansinya dengan kirab pergerakan mereka.
"Kalau Samin itu sama juga kayak kita nanti kalau jadi tambang masuk kesini. Wilayah ini, nanti sawah dan hutan sebagai mata pencaharian kita saat ini," sambung Rusli.
Sebagai catatan, warga Beutong Ateuh Banggalang didampingi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh sempat menggugat izin operasi perusahaan tambang tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta. Sidang gugatan perdana digelar pada 24 Oktober lalu.
Kendati demikian, belum ada titik cerah mengenai dicabut atau tidaknya izin perusahaan. Terlebih lagi, pemerintah setempat dinilai belum memberi reaksi yang berarti mengenai masalah ini.
Advertisement
Persamaan Samin dan Beutong Ateuh Banggalang
Meski warga Samin dan Beutong Ateuh Banggalang tidak memiliki kesamaan apapun, terlebih kedua wilayah ini dipisah oleh dua budaya yang sama sekali tidak sama, namun, mereka punya karakter yang sama dari segi kekhususan identitas.
Perbedaan kedua kelompok ini tentu sangat jauh berbeda dalam beberapa hal, misalnya kaum Samin punya beberapa ciri seperti tidak memakai peci, tapi memakai iket (penutup kepala dari kain). Tidak memakai celana panjang, hanya selutut. Tidak berdagang, karena mereka menolak kapitalisme. Dan yang terakhir, mereka tidak melakukan poligami.
Sebaliknya warga Beutong Ateuh Banggalang banyak diantaranya memakai peci, sebagian beany (kupluk), tidak memakai celana pendek, dan banyak yang berdagang. Dan kadang berpoligami. Kedua kelompok ini memiliki keunikan masing-masing.
Keunikan kelompok masyarakat yang dipisah puluhan ribu kilometer jarak ini, nyatanya menandai kalau mereka sama-sama punya identitas kultural yang cukup unik. Samin dan Beutong Ateuh Banggalang adalah sub tersendiri yang melawan arus utama di wilayah masing-masing.
Jika kaum Samin adalah pengikut Kyai Samin Soerosantiko, maka warga Beutong Ateuh Banggalang mayoritas pengikut Tengku Bantaqiah. Kedua sosok ikonis ini dikenal sebagai panutan di tempatnya masing-masing, khususnya dari segi isme.
Samin yang bernama asli Raden Kohar ini merupakan penyebar ajaran Saminisme. Salah satu yang dikenal pada kaum Samin adalah perkimpoian. Sebuah perkimpoian adalah ibarat pondasi bagi mereka. Perkimpoian adalah sebuah jalan untuk menuju suatu keluhuran budi dan menciptakan sebuah Atmaja Utama atau anak yang mulia.
Selain itu, salah satu ciri utama gerakan Samin adalah perlawanan tanpa kekerasan. Secara politik, perlawanan model itu sebelumnya tak dikenal di dunia. Sementara itu, Tengku Bantaqiah dengan konsep mujahadah-nya menekankan kepada ribuan pengikutnya membentuk sifat dan sikap bersungguh-sungguh memerangi dan menundukkan hawa nafsu.
Selain itu, menurut salah satu keturunan Tengku Bantaqiah, bernama Abu Malikul Aziz, yang saat ini meneruskan pesantren ayahnya, juga pernah mengemukakan soal ide perlawanan tanpa kekerasan yang dicetuskan sang ayah Tengku Bantaqiah, sama seperti kaum Samin oleh Kyai Samin Soerosantiko.
Hal itu, kiranya tampak dari cara para pengikut Tengku Bantaqiah mengubur jauh-jauh kusumat kala sang Tengku bersama puluhan pengikutnya di bredel sepasukan tentara pada 1999 silam.
"Dalam ini, kita sama seperti Samin," Rusli menutup pembahasan karena dingin kian merasuk ke tulang sum-sum sementara mata mereka mulai kelihatan berat.
Saksikan video pilihan berikut ini: