Akhir Tragis Buaya Raksasa di Desa Tamiang

Buaya raksasa sepanjang 4,2 meter kerap muncul ke permukaan dan membuat warga bertindak sendiri.

oleh M Syukur diperbarui 30 Nov 2018, 05:04 WIB
Diterbitkan 30 Nov 2018, 05:04 WIB
Konflik manusia dengan buaya
Konflik manusia dengan buaya (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Pekanbaru - Sejumlah sungai di Provinsi Riau masih dihuni buaya ganas yang kapan saja bisa menerkam hingga menewaskan warga. Selama tahun 2018, konflik buaya dengan manusia kerap terjadi hingga jatuh korban jiwa.

Paling banyak serangan buaya terjadi di Kabupaten Kepulauan Meranti. Pekerja tual sagu kerap diserang dan hilang beberapa hari hingga ditemukan tak bernyawa. Selanjutnya Kabupaten Rokan Hilir karena sebagian daerahnya masih rawa-rawa hingga buaya kerap naik ke permukaan jika air sungai pasang.

Yang terbaru tentu saja seorang bocah 7 tahun di Kabupaten Rokan Hulu. Dia diseret ketika mandi di depan teras rumah ketika air sungai naik. Bocah ini diseret persis di depan ibunya yang mengawasi korban sedang mandi.

Beberapa kejadian itu membuat warga Riau di bantaran sungai khawatir. Beberapa buaya yang muncul memang selamat setelah ditangkap tapi ada juga yang akhirnya meregang nyawa seperti kejadian di Desa Tamiang, Kecamatan Bandar Laksamana, Kabupaten Bengkalis.

Buaya raksasa sepanjang 4,2 meter kerap muncul ke permukaan dan membuat warga bertindak sendiri. Berbekal pancing umpan ayam, buaya jenis muara itu tak bernyawa lagi ketika dijemput petugas Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau.

Menurut Humas BBKSDA Riau Dian Indriati, buaya itu ditangkap pada 2 September 2018, lalu dijemput petugas pada 3 September 2018. Buaya itu sudah dikubur di belakang kantor BBKSDA Riau.

"Panjangnya 4,2 meter lebih dengan bobot hingga 400 kilogram, jenis kelamin jantan," kata Dian kepada wartawan.

Pemeriksaan petugas, pada fisik buaya ditemukan sejumlah luka menganga, terutama di bagian kepala serta moncongnya. "Luka itu mengeluarkan cairan yang berasal dari lobang di bagian atas otaknya," ucap Dian.

Setelah buaya dievakuasi ke Pekanbaru, Dian menyebut pihaknya segera menguburkan karena bangkainya sudah mengeluarkan bau menyengat.

Terpisah, Kepala Desa Temiang, Sukadi menerangkan, buaya malang itu kerap muncul di permukaan sungai. Kehadirannya membuat warga tak berani beraktivitas di sungai karena ukurannya sangat besar.

Sukadi menyebut warga tak ingin ada korban sehingga berinisiatif memancingnya beramai-ramai. Pemancingan juga dibantu pawang buaya dari desa tersebut.

"Dibantu pawang, sorenya warga berhasil menangkap setelah umpan di pancingan dimakan buaya," kata Sukadi.

Sukadi mengaku tak tahu siapa saja warga yang membuat buaya itu tewas. Pada saat ditinggalkan dan diikat di tepi sungai, buaya itu masih hidup serta menjadi tontonan warga.

"Penangkapan ini sudah diberitahu ke BBKSDA, begitu petugas sampai, buaya itu dinyatakan sudah mati," katanya.

Konflik Manusia dan Satwa

Konflik manusia dengan buaya
Konflik manusia dengan buaya (Liputan6.com/M Syukur)

Terpisah, Kepala BBKSDA Riau Suharyono kala itu menyatakan kematian satwa bernama latin Crocodylus Porosus itu akan diselidiki. Sejumlah pihak dimintai keterangannya untuk membuktikan apakah buaya ini memang sengaja dibunuh atau warga hanya melindungi diri ketika menangkapnya.

Suharyono menambahkan, kemungkinan buaya dibunuh karena terdapat luka menganga di bagian kepalanya. Luka itu mengeluarkan cairan dan sampai tembus ke bagian otak.

Di sisi lain, Suharyono menyatakan, ada kemungkinan buaya itu tak sengaja dibunuh. Pasalnya, warga menghubungi pihaknya di Resor Bengkalis setelah warga dibantu pawang menangkap hewan sepanjang 4 meter lebih itu.

"Mungkin maksudnya tidak dibunuh (dengan sengaja). Niatnya ditangkap karena buayanya sangat besar dan membahayakan," katanya.

Dia menjelaskan, buaya muara adalah salah satu satwa dilindungi di Indonesia. Hal itu termaktub pada Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Ada ancaman pidana bagi setiap orang yang membunuh satwa dilindungi. Itu tercantum dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a berbunyi, setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.

"Makanya akan didalami segala kemungkinannya," ucap Suharyono.

Sementara Kepala Balai Gakkum KLHK Wilayah Sumatera II Eduard Hutapea kepada wartawan menyebut dalam tahun ini pihaknya hanya menangani dua konflik manusia dengan satwa.

"Yang pertama kematian beruang dan kedua kematian Harimau Sumatera di Kuantan Singingi, selain itu tidak ada," tegasnya, Rabu siang, 28 November 2018.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya