Museum Sonobudoyo, dari Pendukung Kekuasaan Kolonial menjadi Penjaga Keistimewaan Yogyakarta

Museum Sonobudoyo ternyata sudah bertransformasi. Ini kisahnya.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 10 Des 2018, 21:01 WIB
Diterbitkan 10 Des 2018, 21:01 WIB
Museum Sonobudoyo
Museum Sonobudoyo Yogyakarta bertansformasi dari pendukung pemerintahan kolonial Belanda menjadi penjaga keistimewaan DIY (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Yogyakarta - Museum Sonobudoyo milik Pemerintah Daerah (Pemda) DIY memang sudah berdiri sebelum NKRI terbentuk. Perjalanan waktu membuat fungsi museum bertransformasi.

Semula, Sonobudoyo didirikan untuk misi besar kolonialisme yang ingin membangun kekuasaan Belanda Raya atas negeri induk dan koloni-koloninya di Asia, Afrika, dan Amerika. Ketika itu pemerintah Belanda mendirikan lembaga bernama Java Instituut di Yogyakarta pada 1918.

Budaya menjadi kunci penting masuk ke sebuah masyarakat, sehingga lembaga itu bergerak untuk mengkaji bahasa dan Kebudayaan Jawa, Bali, Sunda, dan Madura. Java Instituut secara rutin menyelenggarakan kongres kebudayaan dan pada 1924 tercetus gagasan membangun museum Sonobudoyo.

Dalam kongres itu digelar pameran artefak dan benda-benda budaya lainnya. Hal ini mendorong untuk membuat sebuah tempat eksibisi tetap. Melalui sebuah museum, khalayak dapat melihat dan mempelajari benda-benda budaya untuk tujuan ilmiah maupun rekreatif.

Pada 1935, Museum Sonobudoyo resmi didirikan. Pengurus tetap ya meliputi, ketua PA Hadinegara, wakil JL Moens, dan sekretaris S Koperberg.

Museum ini didirikan di sebelah utara Alun-Alun Keraton Yogyakarta. Bangunan museum dirancang oleh Karsten dengan mengambil model rumah limasan, dilengkapi sebuah perpustakaan yang letaknya terpisah dari gedung tempat memamerkan benda-benda museum.

Koleksi-koleksi yang dipamerkan dalam museum dikumpulkan dari berbagai orang. Ada yang berupa hibah dan pinjaman.

Tokoh-tokoh yang berkontribusi menambah koleksi untuk museum, antara lain PA Jayakusuma yang menyumbangkan sejumlah keris milik Sultan HB VII, Mangkunegara VII menyumbangkan enam topeng, PA VII menyumbangkan kain cinde yang dipakai penari Srimpi, Anak Agoeng I Dewa Ketut Ngurah menyumbang kursi tanda bangsawan Bali, JL Moens menyumbangkan alas kaki dan kelambu dari Madura, Van der Beek menyumbangkan batik khas Jawa Timur, dan Koperberg menyumbangkan cinde pelangi empat warna khas Cirebon.

 

63 Ribu Koleksi

Museum Sonobudoyo
Museum Sonobudoyo Yogyakarta bertansformasi dari pendukung pemerintahan kolonial Belanda menjadi penjaga keistimewaan DIY (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Museum Sonobudoyo memiliki 63.000-an koleksi benda budaya dan sejarah, meliputi, arsip, koleksi logam, koleksi stupika, koleksi patung, miniatur, dan batik. Selain hasil sumbangan perorangan, sebagian besar koleksi Sonobudoyo adalah hibah dari empat kerajaan, yakni Keraton Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Puro Pakualaman, dan Mangkunegaran.

Setiap tahun, Sonobudoyo rutin menggelar pameran untuk mempublikasikan koleksi dan mengedukasi masyarakat. Seperti pameran yang digelar akhir tahun ini, Sonobudoyo mengangkat tema Sejarah dan Identitas Keistimewaan.

Ada dua benda yang cukup menarik untuk diulas dari 192 benda yang dipamerkan.

Pertama, Lontar Bhima Swarga. Keunikannya, ternyata lontar sampai detik ini masih hidup sekalipun jarang dan sulit ditemui. Bali menjadi salah satu daerah yang melestarikan tradisi menulis di daun lontar.

Sonobudoyo merekam tradisi ini karena sejak awal didirikan juga meneliti budaya Bali, Madura, dan Lombok.

Lontar Bhima Swarga merupakan koleksi dari Java Instituut dan diperkirakan berasal dari awal abad 18 yang ditulis menggunakan aksara Bali. Lontar ini bergambar atau prasi, semacam komik di zaman sekarang.

Lontar bercerita tentang perjalanan Bhima ke surga dan neraka untuk menyelamatkan Pandu. Dalam perjalanannya, Bhima menempuh banyak cobaan walaupun akhirnya berhasil membuat Pandu kembali ke surga.

Benda kedua yang ikut dipamerkan adalah Pusaka Meriam Naga. Benda ini sejenis meriam kecil dengan bentuk naga yang dibuat dari bahan baja danmemiliki kemiripan bentuk dengan meriam Majapahit yang disebut Cetbang.

Merian berbadan naga dan berkepala gajah ini bukan senjata, melainkan meriam pusaka yang dianggap sakral dan memiliki kekuatan magis. Konon katanya, meriam ini dipergunakan sebagai mas kawin putri di Kasepuhan Cirebon dan selebihnya, asal usulnya tidak terlacak.

 

Butuh Perawatan Khusus

Museum Sonobudoyo
Museum Sonobudoyo Yogyakarta bertansformasi dari pendukung pemerintahan kolonial Belanda menjadi penjaga keistimewaan DIY (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Kepala Museum Sonobudoyo Diah Tutuko Suryandaru mengungkapkan dalam pameran kali ini juga ada sebuah ruangan yang khusus menampilkan cara perawatan dan pemeliharaan benda-benda koleksi.

"Setiap barang memiliki ketahanan yang berbeda-beda jadi perawatannya juga menyesuaikan," ujarnya baru-baru ini.

Koleksi berupa arsip, misalnya, dilestarikan dalam bentuk digital supaya bertahan dan orang yang menggunakan naskah tidak langsung bersentuhan. Format digital jpeg dan gif dipilih untuk merawat naskah kuno. Jumlah arsip yang sudah digitalisasi sebanyak 1.378 buah.

Ia mengungkapkan kebanyakan pengunjung museum Sonobudoyo adalah pelajar. Tingkat kunjungan tinggi ketika pertengahan tahun atau seusai penerimaan mahasiswa baru.

Masuk museum Sonobudoyo dikenakan tiket masuk. Harganya cukup terjangkau, hanya Rp 3.000 per orang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya