Kota Banda Aceh Intoleran, Benarkah?

SETARA Institute baru saja merilis Indeks Kota Toleran (IKT) tahun 2018. Banda Aceh menjadi salah satu kota intoleran.

oleh Rino Abonita diperbarui 12 Des 2018, 11:00 WIB
Diterbitkan 12 Des 2018, 11:00 WIB
Masjid Raya Baiturrahman
Foto: Ahmad Ibo/ Liputan6.com.

Liputan6.com, Aceh - Baru-baru ini, SETARA Institute for Democracy and Peace mengeluarkan rilis Indeks Kota Toleran (IKT) tahun 2018. Rilis tersebut merupakan laporan hasil kajian dan indexing terhadap 94 dari total 98 kota di Indonesia,

Dalam rilis diterima Liputan6.com, Selasa (11/12/2018), Indeks Kota Toleran (IKT) dalam riset SETARA Institute, adalah kota yang memiliki beberapa atribut. Di antaranya, pemerintah kota tersebut memiliki regulasi yang kondusif bagi praktik dan promosi toleransi, baik dalam bentuk perencanaan maupun pelaksanaan.

Selanjutnya, pernyataan dan tindakan aparatur pemerintah kota tersebut kondusif bagi praktik dan promosi toleransi. Kemudian, di kota tersebut, tingkat peristiwa dan tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan rendah atau tidak ada sama sekali.

Dan yang terakhir, kota tersebut menunjukkan upaya yang cukup dalam tata kelola keberagaman identitas keagamaan warganya. Menariknya, Banda Aceh, masuk dalam daftar 10 kota paling intoleran (bottom ten).

Selain Banda Aceh, juga masuk dalam bottom ten, secara berurutan yakni Sabang, Medan, Makassar, Bogor, Depok, Padang, Cilegon, Jakarta, dan Tanjung Balai.

Sebaliknya, 10 kota dengan skor toleransi tertinggi yakni Singkawang, Salatiga, Pematang Siantar, Manado, Ambon, Bekasi, Kupang, Tomohon, Binjai, dan terakhir Surabaya.

 

Mereka yang Menyanggah

Menyikapi rilis SETARA Institute yang memasukkan Banda Aceh Aceh dalam list 10 kota dengan skor toleransi terendah, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk. Faisal Ali mengatakan sebaliknya.

"Apa yang lakukan SETARA Institute sangat tergantung pada penggiringan dalam hal mereka membuat polling. Saya kira, Kota Banda Aceh sangat toleran. Tidak ada kasus, apa yang menonjol selama ini, yang membuat Kota Banda Aceh tidak toleran," kata Faisal, kepada Liputan6.com, Selasa (11/12/2018) malam.

Menurutnya, selama ini hubungan antarumat beragama di Kota Banda Aceh tidak pernah didistorsi oleh hal-hal yang  menyebabkan kota yang menjadi sentral aktivitas di Aceh itu rendah nilai toleransinya. Padahal, imbuhnya, di Kota Banda Aceh terdapat umat dari berbagai agama.

Berdasarkan penelusuran Liputan6.com di situs bandaacehkota.go.id, pada tahun 2017, jumlah umat beragama di Kota Banda Aceh yakni, Islam 222.582 jiwa, Protestan 717 jiwa, Katolik 538 jiwa, Hindu 39 jiwa, serta Budha 2755  jiwa. Selanjutnya, rumah ibadah di Kota Banda Aceh, yakni, masjid 104 unit, meunasah 91 unit, mushalla 90 unit, Gereja, 4 unit, Kuil 1 unit, serta Klenteng 1 unit.

Faisal menambahkan, SETARA Intitute terlalu memaksakan instrumen sepihak yang menjadi patokan bagi lembaga non-pemerintah itu dalam menetapkan skor toleran suatu kota. Padahal, kata Faisal, instrumen tersebut belum tentu bisa digeneralisir.

"Jadi, kita berdebat dulu pada instrumen yang digunakan. Baru bisa kita lihat, maka dipublish dulu instrumen yang digunakan. Kadang instrumen yang digunakan adalah instrumen Eropa? Wajarlah, dikatakan toleransi rendah. Makanya saya tidak menganggap itu akurat dengan realita di lapangan," tepisnya.

Pernyataan Wakil Ketua MPU Aceh, Tgk. Faisal Ali soal instrumen yang digunakan SETARA Institute dalam mengukur Indeks Kota Toleran (IKT) didukung pula oleh Ketua Yayasan Hakka Aceh, Kho Khie Siong. Indikator yang digunakan oleh SETARA Institute dinilainya masih kabur.

"Kita belum bisa memberikan gambaran apapun. Dan kita tidak tahu data diambil darimana dan tahun berapa. Mereka hanya mengumumkan saja, tanpa melihat yang lain. Pematang Siantar yang notabene masuk dalam 10 kota toleran, ternyata masyarakatnya sendiri yang mengatakan pemerintahnya tidak toleran," katanya.

Saat ini, belum ditemukan adanya isu-isu yang membuat Kota Banda Aceh memilki nilai toleransi rendah di mata ketua perkumpulan kelompok Tionghoa itu.

"Walikota sekarang, kita kan belum mendapat isu-isu yang mungkin dianggap suatu regulasi yang intoleransi. Kalau dulu mungkin, ya, ada lah. Artinya mungkin, apakah ini dianggap intoleransi misalnya ada pelarangan mengucapkan selamat Natal, selamat Tahun Baru atau segala macam. Apakah itu menjadi indikator mereka juga?" ungkap Faisal Ali.

 

Hasil Terverifikasi

Menyikapi adanya pihak-pihak yang kurang berkenan dengan hasil riset yang dilakukan pihaknya, Direktur Riset SETARA Institute, Halili, mempersilahkan siapapun yang keberatan dengan scoring tersebut untuk melakukan penelitian tandingan.

"Kita wajar saja. Memang, riset itu tidak mungkin membuat semua pihak happy. Variabel kami jelas," ujar Halili saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (12/12/2018) pagi.

Halili menyebutkan, dalam mengukur Indeks Kota Toleran (IKT), pihaknya menggunakan empat variabel, yakni regulasi pemerintah kota, yang meliputi rencana pembangunan dalam bentuk RPJMD dan produk hukum pendukung lainnya, dan kebijakan diskriminatif.

Selanjutnya, tindakan pemerintah meliputi, pernyataan pejabat kunci tentang peristiwa intoleransi, dan tindakan nyata terkait peristiwa. Kemudian, regulasi sosial meliputi peristiwa intoleransi, dan dinamika masyarakat sipil terkait intoleransi. Terakhir, demografi agama, meliputi, heterogenitas keagamaan penduduk, dan inklusi sosial keagamaan.

Scoring dalam studi ini menggunakan skala dengan rentang nilai 1-7, yang menggambarkan rentang gradatif dari kualitas buruk ke baik.

Menurut Halili, berdasarkan penilaian yang diberi peneliti, Kota Banda Aceh memiliki tingkat toleran rendah terutama pada variabel regulasi pemerintah kota. Hal ini akibat adanya regulasi yang cenderung diskriminatif terhadap kaum perempuan.

"Komnas Perempuan menyebut, Aceh salah satu kota dengan perda diskriminatif yang tinggi, terutama di dua isu, pertama gender, dan kedua kebebasan beragama dan berkeyakinan. Fakta-fakta itu, menurut saya secara objektif sudah dipotret, termasuk oleh teman-teman media," sebut dia.

Penelitian yang dilakukan SETARA Institute bersifat agak semi composite. Artinya, terdapat beberapa data pendukung yang diambil dari lembaga lain dalam riset tersebut. Namun, Indeks Kota Toleran (IKT) di 94 kota yang dilakukan oleh SETARA Institute, kata Halili, sudah melalui verifikasi para ahli.

Perlu digarisbawahi, kata Halili lagi, hasil yang didapat pihaknya bukanlah labeling yang hendak mendiskreditkan Kota Banda Aceh. Skor kota dengan tingkat toleransi rendah terhadap Kota Banda Aceh, tidak kemudian dibaca bahwa kota tersebut adalah kota yang intoleran.

"Kita bicara skor. Artinya, seandainya variabel itu menggunakan variabel dan standar scoring yang berbeda bisa jadi berbeda. Jika ada peneliti lain yang menggunakan variabel dengan standar scoring yang berbeda, bisa jadi hasilnya berbeda, tapi, jika peneliti yang melakukan scoring dengan variabel yang kami gunakan, saya tidak ragu, hasilnya sama," kata dia.

 

Perlu Diletakkan Secara Adil

Sosiolog yang berdomisili di Kota Banda Aceh, Affan Ramli mengatakan, kritik terhadap hasil riset SETARA Institute yang memasukkan kota bersemboyan 'Saboeh Pakat Tabangun Banda' itu dalam bottom ten Indeks Kota Toleran (IKT), tidak boleh disampaikan dengan cara-cara yang sentimentil.

"Perlu diletakan secara adil. Penelitian SETARA Institute bukan untuk mengatakan Banda Aceh kota intoleran. Bagaimana pun, meski banyak tindakan toleransi, namun, Banda Aceh juga punya banyak praktik intoleran," kata Affan kepada Liputan6.com, Selasa (11/12/2018)  malam.

Dalam pandangan Affan, di tiap kota, selalu ada spektrum di mana terdapat berbagai tindakan dengan nilai toleransi, disatu sisi, dan intoleransi di sisi lain, yang bertingkat-tingkat. Namun, imbuhnya, menyebut Kota Banda Aceh sebagai kota intoleran juga tidak benar, karena itu menafikan pelbagai praktik toleransi yang ada di kota itu.

"Kita justru kaget, jika lembaga peneliti seperti SETARA Institute tidak menemukan banyak praktik intoleran di Kota Banda Aceh, di tengah banyaknya ribut-ribut dan berantem di masjid-masjid belakangan, antara Wahabi dan Ahlussunnah. Belum lagi kebijakan pemerintah dalam bentuk qanun dan aturan lainnya yang membatasi pandangan keyakinan dan ekspresi identitas," ungkap Petua Chik Perkumpulan Prodeelat itu.

Dia melanjutkan, tidak boleh dipungkiri, di Kota Banda Aceh masih sering terdengar tuduhan-tuduhan pendangkalan akidah dan stigma sesat terhadap kelompok tertentu. Dan itu, bukan saja terjadi antaragama, namun juga sesama penganut agama itu sendiri.

"Respon adil kita terhadap hasil penilitian SETARA Institute, mestinya berusaha bersama-sama memperbaiki kondisi saat ini, agar lebih toleran di tahun depan dan tahun-tahun ke depan," harap dia.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya