Tapak Tilas Duet Maut 'Si Gomar' dan 'Si Kuik' di Garut

Mengenang perjalanan kedua kereta api itu, tidak terlalu cepat bahkan terbilang lambat, terutama saat menaiki perbukitan. Banyaknya dataran tinggi yang dilewati selama perjalanan, tak jarang menyebabkan mesin kereta mengalami masalah.

oleh Jayadi Supriadin diperbarui 05 Jan 2019, 17:02 WIB
Diterbitkan 05 Jan 2019, 17:02 WIB
Salah satu sudut Stasiun Cikajang, Garut yang masih tersisa hingga kini
Salah satu sudut Stasiun Cikajang, Garut yang masih tersisa hingga kini (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Garut - Reaktivasi kereta api jalur Cibatu-Garut Kota-Cikajang, di kabupaten Garut, Jawa Barat, kembali membuka lembaran kenangan kegagahan legenda 'Si Gomar' dan 'Si Kuik', dua kereta api warisan jaman Belanda.

Atang Supriyanto, (59), salah satu saksi bisu kegagahan dua kereta api lawas itu mengatakan, sejak beroperasi sekitar tahun 1930, kedua kereta api merupakan moda transportasi unggulan masyarakat Garut tempo dulu.

"Banyak cerita kenangan buat masyarakat Garut, karena memang belum ada kendaraan," ujar dia membuka pembicaraan dengan Liputan6.com, Sabtu (5/1/2019).

Warga kampung Padasono, (dulu disebut area Kebun 10), Desa Padasuka, Kecamatan Cikajang, Garut itu mengatakan, dua kereta legendaris itu pertama kali beroperasi tahun 1930. Sejak pertama kali jalur kereta api Cikajang-Cibatu dibangun Belanda pada tahun 1918 silam.

Saat itu kedua kereta itu hanya melayani dua perjalanan, yakni dari stasiun Cikajang-Cibatu dan sebaliknya via stasiun Garut Kota yang memang tujuan paling banyak dicari masyaraat Garut saat itu.

"Pokonya kalau Gomar dari Cikajang nanti Kuik yang berangkat dari Cibatu atau sebaliknya," ujar dia sambil mengingat kembali perjalanan yang pernah ia tempuh dengan kedua kereta api legendaris itu.

Keberadaan kedua kereta itu jugs kerap digunakan warga untuk mengangkut hasil bumi terutama sayuran yang menjadi komoditas utama masyarakat Garut saat itu.

"Biasanya dari Cikajang membawa sayuran nah dari kota atau Cibatu kita dikirim pupuk putih (urea)," kata dia.

Atang mengenang perjalanan kedua kereta api itu, tidak terlalu cepat bahkan terbilang lambat, terutama saat menaiki perbukitan. Banyaknya dataran tinggi yang dilewati selama perjalanan, tak jarang menyebabkan mesin kereta mengalami masalah.

"Kalau mogok seluruh penumpang turun dulu, bahkan tak jarang mereka mendorong," ujarnya.

Hingga kini, stasiun kereta api Cikajang, Garut, masih tercatat sebagai salah satu stasiun kereta api tertinggi di Indonesia.

Saat itu bahan bakar dari residu, termasuk kayu bakar yang diambil dari hasil bumi warga sekitar. Mesin kereta pun terbilang tua, sehingga proses pembakaran mesin kereta belum secanggih kereta saat ini.

Polusi asap kereta pun terlihat cukup hitam pekat saat kereta tengah melakukan perjalanan. "Kalau terlambat masih bisa dikejar, kalau sekarang mana bisa," ujar dia berkelekar.

Atang menambahkan, penamaan kedua kereta api merupakan sebutan warga Garut saat itu, Gomar merupakan sebutan bagi kereta dengan gerbong dan rangkaian yang lebih besar. "Dari suara klaksonnya keras, sudah mulai kedengaran, nah masyarakat memanggilnya gomar," ujar dia.

Sedangkan untuk 'Si Kuik', merupakan sebutan masyarakat Garut saat itu, bagi gerbong kereta dengan kapasitas yang lebih kecil. "Suaranya itu kan kuik, kuik, kuik, makanya dinamakan di kuik," ujar mantan petugas kuli pelat atau kuli pikul stasiun Cikajang saat itu, sambil tersenyum lebar.

Tersisih Masuknya Oplet

Salah satu sudut Stasiun Cikajang, Garut yang masih tersisa hingga kini
Salah satu sudut Stasiun Cikajang, Garut yang masih tersisa hingga kini (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Atang mengakui, keberadaan kedua kereta legendaris si Gomar dan si Kuik pada masa itu, sangat dibutuhkan warga, namun seiring masuknya moda transportasi baru seperti oplet dan angkutan colt diesel mulai tahun 1978-an, maka banyak masyarakat mulai mengalihkan perjalannya. "Memang kita akui lambat lah," ujar dia.

Selama beroperasi, kedua kereta legendaris itu melayani tiga jadwal keberangkatan yakni, keberangkatan pertama dari stasiun (baik Cikajang ataupun Cibatu) dimulai sejak 04.30 dini hari, kemudian pukul 12.00 siang, serta terakhir pukul 16.00 sore hari.

"Seingat saya jika berangkat dari sini (Stasiun Cikajang) pukul 04.30 dini hari, maka sampai di Cibatu sekitar pukul 09.00 malam, praktis nyaris seharian," papar dia. 

Namun lambatnya perjalanan serta mulai masuknya kendaraan mobil saat itu, membuat masyarakat mulai berpaling. Ia mencontohkan untuk satu kali perjalan dari Cikajang ke Garut Kota hanya ditempuh sekitar dua jam kendaraan mobil, sementara dengan kereta bisa hingga enam jam perjalanan.

"Mungkin kalau sekarang beda ceritanya, sebab justru kereta lebih cepat," ujar Atang mengakui kemajuan kereta.

Atang mengakui, sebenarnya keberadaan kereta sangat dibutuhkan, selain bisa mengangkut barang dalam jumlah yang banyak, ongkos yang dikeluarkan untuk sekali perjalan kereta terbilang murah dibanding menggunakan mobil.

"Saat itu tahun 1978, naik kereta hanya Rp 15 rupiah, kalau naik mobil bisa Rp 75, bahkan kalau pelajar pakai abodemen seharga Rp 25 sebulan," ujar dia.

Namun belum adanya modernisasi kereta, menyebabkan perjalanan yang ditempuh kedua kereta itu terbilang lambat, sehingga banyak masyarakat mulai mengalihkan perjalannya melalui angkutan umum. "Padahal untuk oplet keluaran Chevrolet itu, masih terhitung  jari, tetapi lebih cepat," kenang dia.

Akhirnya dengan semakin sepinya penumpang, perlahan tapi pasti mulai 1980-an, jadwal keberangkatan kereta pun akhirnya terus dipangkas, yang awalnya tiga kali menjadi sekali perjalan. "Ya PT KAI juga kan rugi," kata dia.

Puncaknya ujar Atang sekitar bulan September tahun 1982, perjalanan kedua kereta api legendaris tersebut akhirnya benar-benar dihentikan.

"Tetapi sampai tahun 1985 masih ada petugas PT KAI menggunakan lori mengecek aset mulai stasiun, bantaran kereta dan lainnya," kata dia.

Dalam catatan perkeretapian tanah air, jalur kereta api Cikajang - Garut Kota - Cibatu sepanjang 47 kilometer, termasuk lawas di Indonesia. Adapun jalur Cikajang - Garut Kota berhenti lebih cepat satu tahun, yakni pada September 1982, bahkan Stasiun Cikajang, hingga kini masih tercatat sebagai salah satu jalur kereta api tertinggi di Indonesia.

Kedua jalur itu, awalnya digunakan untuk mengangkut hasil bumi Parahyangan selama periode tanam paksa (cultur steel) yang diterapkan Belanda, termasuk menjadi alat transportasi massal warga sejak lama. Namun, munculnya alat transportasi angkutan umum awal 1980-an saat itu, lambat laun mulai menyingkirkan jalur kereta api dari angkutan warga.

Ribuan meter bantalan rel kereta api warisan jamam Belanda itu, hingga kini masih teronggok dan menjadi bangkai besi tua tak terawat. Adanya peningkatan jumlah penduduk juga membuat lahan di sepanjang jalur bantalan kereta, berubah menjadi lahan hunian.

Mendukung Reaktivasi Kereta

Atang, salah satu saksi hidup kedigdayaan si Gomar dan si Kuik menunjukan bekas rel kereta di Stasiun Cikajang
Atang, salah satu saksi hidup kedigdayaan si Gomar dan si Kuik menunjukan bekas rel kereta di Stasiun Cikajang (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Sejak pertama kali dikampanyekan pasangan Gubernur Ridwan Kamil saat masa kampanye pilkada lalu, reaktivasi kereta api jalur Cibatu-Garut Kota-Cikajang, menjadi salah satu janji yang langsung diteapi.

Saat ini proses pendataan dan pembayaran uang kerohiman yang dilakukan PT KAI terus dilakukan.

Atang mengatakan, rencana reaktivasi kereta sebenarnya banyak membantu warga, terlebih dengan semakin tingginya kendaraan pribadi, maka pengaktivan kereta, menjadi solusi jitu warga untuk menempuh perjalanan yang aman dan cepat.

"Kendalanya tidak berkembang saat itu karena lambat saja, coba kalau kereta lebih cepat mobil kurang begitu disukai," ujar dia bercanda.

Selain ongkos yang terbilang murah meriah, keunggulan lain adanya kereta ujar Atang, mampu memberikan dampak perekonomian yang cukup besar bagi masyarakat sekitar. "Sekali perjalan kereta itu kan banyak mengangkut penumpang plus barang, coba bayangkan," kata dia.

Ia pun tak sungkan mendukung rencana reaktivasi itu, meskipun ia merupakan salah satu korban bakal gusuran yang dilakukan oleh PT KAI.

"Gak masalah saya juga berterima kasih kepada pemerintah telah menggunakan aset tanahnya sekian puluh tahun," ujar dia.

Namun meskipun demikian, ia pun mememinta agar proses pendataan dan pemberian uang kerohiman yang diberikan pemerintah, sesuai dengan harapan masyarakat. "Saya sejak sekarang sudah mulai cari tanah untuk pindah, kalau kerohiman cair, saya mau lansgung pindah," ujar dia berkelekar.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya