Drama Horor Nenek Misterius Lereng Sumbing

Di sebuah tikungan, tiba-tiba nenek misterius yang dikejar itu muncul mendadak.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 18 Jan 2019, 05:00 WIB
Diterbitkan 18 Jan 2019, 05:00 WIB
sumbing
Kelompok Telat Gembira justru meminta foto bersama dengan seorang nenek di jalur pendakian gunung Sumbing sebagai bentuk hormat dan kekaguman mereka. (foto:Liputan6.com / edhi prayitno ige)

Liputan6.com, Semarang - Kisah pendakian Gunung Sumbing juga diwarnai peristiwa misterius. Diawali ketika Kelik, warga Magelang, bersama-sama beberapa temannya berniat mendaki Gunung Sumbing di awal tahun 1990.

Saat itu Kelik dan teman-temannya mengaku sedang bersemangat untuk menjelajahi gunung-gunung di Jawa Tengah. Mereka bukan pendaki. Namun, karena lahir dikelilingi gunung-gunung besar, maka mereka mencoba mengakrabi.

"Kami berangkat sore, rencana mulai naik sekitar jam 21.00 sehingga sampai puncak pas matahari terbit," kata Kelik kepada Liputan6.com, Kamis (17/1/2019).

Perjalanan lancar hingga pendakian dimulai. Saat itu jumlah yang naik ada 12 orang. Kemudian kelompok dibagi menjadi tiga, tapi tetap satu barisan. Ini berguna untuk mengantisipasi jika ada yang kelelahan, sehingga tak mengganggu yang lain dan tetap ada kawan yang menemani.

Menjelang subuh, mereka sudah berada di puncak gunung Sumbing. Tak ada satupun yang kelelahan maupun kecapaian.

Sekitar pukul 08.00 pagi, rombongan itu memutuskan untuk turun. Sebenarnya itu sudah termasuk terlambat, karena kabut dikhawatirkan turun.

"Saya lupa bulan apa, tapi saat itu puncak mulai gerimis. Kami turun setengah berlari," kata Kelik.

Turun gunung dengan setengah berlari merupakan sebuah teknik untuk menghemat tenaga. Memanfaatkan gaya grafitasi dan luncuran di lereng sehingga tak perlu banyak menahan berat badan.

"Trik ini butuh kemampuan menjaga keseimbangan badan dan mata yang awas mengenali jalan yang hendak diinjak. Apalagi jalur Gunung Sumbing ini berbeda dengan gunung lainnya," kata Kelik.

 


Tersesat

sumbing
Jalur pendakian gunung Merbabu yang cukup terjal. (foto : Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Dalam perjalanan turun, menjelang pos pendakian di Desa Cepit, Kelik merasa tersesat. Ternyata teman-temannya sudah terpisah tanpa terasa. Gerimis dan kabut mulai datang. Kelik panik.

Ia berhenti sejenak. memandang sekeliling, ternyata jauh di bawah ia melihat jalan beraspal yang ia lewati saat berangkat. Namun, itu ada di seberang jurang.

"Saya berpikir bahwa saya tersesat. Sempat panik tapi kemudian saya tenangkan karena saya yakin teman-teman akan menunggu di pos Cepit dan tak akan meninggalkan saya," katanya.

Upaya menenangkan diri itu berhasil. Matanya menangkap sesosok tubuh nenek-nenek membawa kayu bakar. Semangatnya bangkit. Meski masih jauh, ia berupaya mengejar nenek-nenek itu untuk bertanya jalan pulang.

Gerimis mulai reda. Namun, kabut yang sudah turun membuatnya dingin. Kelik tetap merasa beruntung karena ia berlari mengejar nenek-nenek itu, sehingga tubuhnya menjadi hangat meski nafasnya tersengal.

"Sampai di titik saya lihat nenek-nenek tadi, ternyata semacam jalan buntu. Nenek itu juga sudah tidak ada. Saya hanya membatin, disesatkan lelembut," kata Kelik.

Hujan sudah reda. Tapi Kelik sadar kalau ia tersesat. Celakanya, ia tersesat justru makin ke atas.

"Sepertinya makin menjauh dari basecamp. Tapi saya jalan terus biar enggak dingin," katanya.

 

Simak video menarik berikut:

 


Siapa Nenek Itu?

merbabu
Kelompok Telat Gembira berpose di puncak triangulasi gunung Merbabu. (foto: Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Beberapa ratus meter ia berjalan, medannya menurun dan membelok. kelik kaget dan hampir terjatuh. Di depannya tiba-tiba muncul nenek-nenek yang tadi ia kejar.

"Saya benar-benar takut dan rasanya mata berkunang-kunang," kata Kelik.

Nenek itu berjalan cepat sekali. Makin dekat dengannya.

"Kok piyambakan mas? (kok sendirian mas)?" tanya si nenek.

"Injih mbah, kula kesasar. (Iya nek, saya kesasar)," jawab Kelik.

Matanya langsung menatap keriput di wajahnya, seluruh tubuhnya yang agak membungkuk menggendong kayu bakar, hingga ekor matanya menatap ujung kakinya. Ajaib, kaki itu masih menginjak tanah. Ia benar-benar manusia.

"Akhirnya saya ngaku kalau sempat mengira bahwa nenek-nenek itu lelembut. Nenek itu tertawa dan menunjukkan jalan pulang. Ia memang manusia. Kalau ia cepat hilang karena memang sudah biasa dan hapal medan," kata Kelik sambil tertawa.


Kekaguman Kelompok Telat Gembira

sumbing
Fransiska Suharmi Pertiwi menyempatkan berpose di sebuah spot lereng gunung Sumbing. (foto : Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Di sepanjang jalur pendakian gunung Sumbing memang masih banyak manusia-manusia lanjut usia yang kuat naik turun gunung. Fransiska Suharmi Pertiwi yang mulai gemar mendaki gunung ketika usianya sudah menginjak kepala empat bahkan mengaku kagum dengan nenek-nenek di sana.

Saat itu bersama kelompoknya "Kelompok Telat Gembira" mendaki Gunung Sumbing. Di perjalanan mereka bertemu dengan nenek-nenek yang usianya sudah berkepala delapan. Masih mampu menggendong kayu bakar dan naik turun gunung.

"Luar biasa stamina dan semangat mbah-mbah itu. Beban yang lebih berat seakan enggak terasa dibanding kami yang bebannya lebih sedikit," kata Siska.

Kekaguman Siska memang beralasan, apalagi jika menggunakan standar kebugaran masyarakat kota. Tak hanya Siska yang kagum, nyaris seluruh anggota "Kelompok Telat Gembira" juga merasakan hal yang sama.

"Kami menyebut diri sebagai kelompok telat gembira karena memang saat usia sudah mulai menua baru senang bertualang," kata Siska.

Gunung memang menyimpan misteri. Orang Jawa menyebutnya Sri Gunung, dari jauh kelihatan indah dan sangat menarik serta cantik. Namun, ketika didekati baru terasa keseramannya. Baik karena medan yang penuh jurang maupun karena cerita-cerita mistis seputar lelembut.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya