Cerita Suku Laut Tiangkwangkang yang Perlahan Berhenti Hidup di Laut

Hingga pada suatu waktu, sekitar tahun 1960-an, sebuah kapal cina bernama Tiangkwangkang berlabuh di pesisir yang kini berada di kawasan Jembatan I Bareng tersebut.

oleh Ajang NurdinFauzan diperbarui 03 Mar 2019, 05:05 WIB
Diterbitkan 03 Mar 2019, 05:05 WIB
Suku Laut Tiangkwangkang (Ajang Nurdin/Liputan6.com)
Suku Laut Tiangkwangkang (Ajang Nurdin/Liputan6.com)

Liputan6.com, Batam - Suku Sampan atau yang lebih dikenal dengan panggilan Suku Laut kini tak lagi kolot. Jika dulu mereka nyaris menghabiskan hidup di tengah lautan, kini mereka betah tinggal di daratan. 

Dahulu Suku Laut lebih banyak menghabiskan hidupnya di lautan dan tinggal berpindah dari satu pulau ke pulau lainnya. Bahkan konon kapal mereka bersandar di daratan hanya jika terjadi badai besar di lautan.

Hingga pada suatu waktu, sekitar tahun 1960-an, sebuah kapal cina bernama Tiangkwangkang berlabuh di pesisir yang kini berada di kawasan Jembatan I Bareng tersebut. Maka sejak saat itu pulalah kawasan tersebut menjadi kawasan kampung tua Tiangkwangkang.

Kampung Tua Tiangkawangkang pun menjadi tempat suku Sampang untuk beranak-pinak. Dalam sejarahnya, Kampung Tiamgkawangkang dulunya hanya dihuni oleh tujuh kepala keluarga (KK). 

"Sekarang Kampung Tua Tiangkwangkang sudah berpenghuni 65 KK, sekitar 185 jiwa," Kata Amos, salah seorang yang dituakan si Kampung Tiangkwangkang kepada Liputan6.com beberapa waktu lalu. 

Amos menceritakan, jika dahulukala ketika buyut Suku Laut baru pertama kali menginjakkan kaki di Batam, banyak yang menolak untuk tinggal di daratan. Alasannya menurut Amos adalah karena para buyut Suku Laut merasa tidak bisa melakukan apa-apa di daratan.

Sementara Suku Laut yang memutuskan untuk tinggal di daratan Tiangkwangkang pun membuat arang dari kayu bakau sebagai mata pencaharian.

Mereka juga perlahan berbaur dengan warga Tionghoa yang lebih dulu menduduki wilayah tersebut. "Mata pencarian orang tua kami dulu membakar kayu bakau untuk dijadikan arang," jelas Amos.

Menjaga Kebudayaan dan Tinggalkan Animisme

Kampung Tua Tiangkwangkang (Ajang Nurdin/Liputan6.com)
Kampung Tua Tiangkwangkang (Ajang Nurdin/Liputan6.com)

Meski sejak saat itu tak lagi melaut, Amos memastikan bahwa budaya dan bahasa mereka sebagai suku laut tetap mereka jaga. "Kami suku Laut memiliki tiga Bahasa, Bahasa suku laut, Melayu, dan Indonesia," imbuhnya.

Meski begitu, Amos gusar, ia khawatir jika nanti bahasa Suku Laut punah. Apalagi selama bahas suku laut hanya diajarkan turun temurun melalui lisan, dan tidak pernah dibukukan sama sekali.

Ia pun berharap agar anak muda Suku Laut dizaman sekarang dapat bersekolah lebih tinggi dan belajar bahasa Inggris maupun Mandarin agar bisa memperkenalkan bahasa suku laut ke manca negara.

Seiring perkembangan zaman, budaya animisme Suku Laut yang tinggal di Tiangkwangkang pun memudar. Jika dulunya mereka menyembah tanjung, pohon maupun batu, kini Suku Laut sudah menyembah Tuhan. 

"Disini kami telah memiliki Agama, ada kristen ada juga yang muslim," ungkapnya.

Sebelum memiliki agama, ucap Amos, dulu Suku Laut bahkan dianjurkan mengunjungi tempat keramat dan memberikan persembahan. Tempat-tempat keramat itu oleh leluhur Suku Laut diberi tanda bendera kecil berwarna kuning. 

"Tapi budaya itu sudah kami tinggalkan. Yang kami pertahankan adalah budaya menangkap ikan, dan Babi di darat dengan tombak,"tuturnya.

Sebuah Dapur Arang tempat pembakaran kayu bakau dan kapal tua yang tenggelam peninggalan leluhur mereka pun menjadi bukti bisu sejarah Suku Laut di Tiangkwangkang. Amos pun berharap jika nantinya kampung tua Tiangkwangkang akan menjadi destinasi wisata favorit di Batam.

Saksikan video menarik pilihan berikut:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya