Liputan6.com, Jayapura Namanya Kathinka Soumilena, gadis manis asli dari Depapre, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Kathi, begitu ia kerap disapa. Lajang berusia 24 tahun ini, bukan seorang barista profesional. Kathi mengaku hanya sebagai peracik kopi biasa.
Hebatnya, racikan kopi yang dibuat dari tangan Kathi mengungguli 11 barista prefesional dari Jayapura, Timika, dan kota lainnya di Papua pada sebuah kejuaraan kompetisi brewing kopi yang diadakan oleh sebuah kedai kopi di Kota Timika. Ia pun tak pernah menyangka akan memenangkan kompetisi brewing ini.
“Memperlakukan kopi itu harus dari hati. Aroma dan cita rasa kopi selalu menghipnotis saya,” kata Kathi yang mengaku dulunya tak pernah menyukai kopi.
Advertisement
Kathi yang bertemu dengan Liputan6.com pada kegiatan Bankers Brewing di Kantor Bank Indonesia perwakilan Papua di Jayapura pada pertengahan Februari lalu mengaku mulai menyukai kopi saat bekerja pada sebuah kedai kopi di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura.
Baca Juga
Kathi pun mulai belajar meracik kopi setiap harinya. Delapan bulan lebih ia mendalami urusan meracik kopi di kafe itu. “Bisa karena terbiasa ya. Saya autodidak belajar meracik kopi. Setiap hari belajar dengan berbagai macam kopi Nusantara,” katanya.
Racikan kopi dari tangan Kathi lebih dominan dari kopi Papua, walaupun Kathi juga mahir meracik kopi dari penjuru Nusantara lainnya. “Mungkin karena sa (saya) anak Papua dan ingin memberitahukan kepada semua orang bahwa hanya kopi Papua yang mantap lah,” ujarnya.
Kini, Kathi masih terus mengejar cita-citanya memiliki kedai kopi sendiri. Walaupun banyak tawaran pekerjaan yang menghampirinya, Kathi mengaku masih ingin memantapkan dirinya untuk terus belajar meracik kopi dan menunggu bantuan dana dari pemerintah atau perbankan yang ingin membantunya dalam usaha yang akan dirintisnya.
“Saya masih tetap ingin punya tempat usaha kopi sendiri dan sekolah barista. Harapannya dengan memiliki tempat usaha sendiri, bisa membagi waktu untuk keluarga dan tetap bisa sekolah barista, untuk mewujudkan mimpi saya,” ujarnya.
Komunitas Kopi Papua
Komunitas Kopi Papua terdiri atas 64 orang. Komunitas ini beranggotakan peracik kopi, barista, atau si pemilik kedai kopi yang berada di Kota Jayapura. Walaupun komunitas ini sudah ada sejak setahun lalu, keberadaannya belum banyak dikenal warga.
Komunitas ini dibentuk bersamaan dengan Festival Kopi Papua 2018. Harapannya pada festival kopi tahun ini, keanggotaan komunitas kopi semakin meluas, misalnya dengan mengajak bergabung komunitas kopi di Timika, Biak dan Merauke.
Keberadaan komunitas kopi Papua dimaksudnya untuk terus mengembangkan kopi Papua yang berasal dari petani lokal. Harapannya kedai kopi yang menjamur di Papua saat ini bisa menggunakan produk kopi Papua.
“Kami juga mengedukasi warga dan barista atau penikmat kopi lainnya bahwa ini ada loh kopi enak dari Papua. Bisa dibeli di Papua dan jangan beli di luar,” kata Roger, Ketua Komunitas Kopi Papua.
Jan J. D Vriese, pemilik Cafe Humboldt di Entrop, Kota Jayapura, mengaku bersyukur dengan masih adanya sosok seperti Rio yang mau menjadi pendamping petani kopi di Papua.
Ia berharap semakin banyak orang mengenal kopi Papua. “Semakin mengenali taste-nya, maka semakin mencintai kopi Papua dan menolong petani kopi lokal,” jelas Jan.
Jan yakin dengan banyak kedai kopi saat ini di Papua tak lepas dari diadakannya Festival Kopi Papua 2018. “Kedai kopi makin banyak tumbuh di Jayapura, makin banyak orang gemar untuk duduk ngopi dan ngopi menjadi tren di Jayapura. Apalagi Papua akan jadi tuan rumah PON 2020 dan saya yakin kopi Papua akan banyak dicari,” jelasnya.
Advertisement
Harapan Petani Kopi Papua
Glorio Ledang, pemuda berdarah Nusa Tenggara Timur ini, tanpa lelah bolak-balik Jayapura-Lanny Jaya. Bukan tanpa alasan, kerja keras Rio hanya dilakukan untuk kesejahteraan petani kopi di Lanny Jaya.
Rio mengaku petani kopi di Papua belum memiliki lahan yang luas. Walaupun ada kebun milik perorangan, ada juga kebun milik keluarga yang rata-rata luasnya hanya 1-2 hektar. Hingga kini, petani kopi Papua belum dapat memenuhi pasaran. Terlebih landscape kopi Papua bukan hamparan, tetapi berada per lereng atau wilayah desa.
“Jika ingin dikembangkan, harus ada program per kepala keluarga wajib menanam kopi,” kata Rio yang saat ini membina Komunitas Petani Bio Kopi Arabica Lanny Jaya yang sudah terdaftar di Kementerian Pertanian.
Rio mengakui sampai saat ini belum ada keseriusan dari pemerintah untuk pendampingan bagi petani kopi. Akhirnya banyak petani yang loyo, padahal banyak permintaan dari luar Papua.
Harapannya dengan diadakannya kegiatan rutin Festival Kopi Papua dapat meningkatkan semangat dan keseriusan petani untuk menanam kopi dan memperbanyak produksinya. Artinya ada peningkatan dalam kualitas dan kuantitas.
“Festival Kopi Papua penting diadakan 2-3 kali dalam satu tahun. Ini juga mempengaruhi market untuk kopi Papua. Misalnya saja dampaknya semakin dikenal kopi Tiom Lanny Jaya yang sebelumnya belum familiar,” ujarnya.
Menurut dia, harga pasaran kopi Papua mengikuti harga kopi di Indonesia, sebab harga kopi dibagi dua masa yakni masa panen dan masa tidak panen. Jika panen kopi, maka harga kopi dapat stabil, berbeda dengan jika kopi sedang tidak panen, otomatis harganya akan mahal.
“Saat ini, harga kopi natural lagi mahal dan itu bagus untuk kopi Papua yang masih diproses secara natural,” ujarnya.
Dukungan Perbankan
Bank Indonesia perwakilan Provinsi Papua sebagai pengagas Festival Kopi Papua akan terus mendukung terselenggaranya festival ini. Hanya saja tahun ini festival kopi akan digelar pada Juli atau Agustus yang akan dirangkai dengan festival lainnya seperti Teluk Humboldt, Festival Sagu dan Festival Danau Sentani.
Kepala Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Papua, Joko Supratikto berharap pimpinan perbankan dapat memberi perhatian khusus di sektor usaha kopi dalam hal pembiayaan yang tentunya memberi manfaat bagi kedua pihak. Terkait pembinaan bagi petani kopi, Joko mengatakan, hal itu tergantung dari bank apakah punya pengalaman membina petani, lantaran tidak ada kewajiban dari perbankan untuk melakukan hal itu.
“Tetapi kalau dalam hal mengembangkan usaha kedai kopi, disinilah perbankan masuk, sebab tidak semua bank memiliki pengalaman untuk pengembangan petani. Untuk sektor hulu (petani), Bank Indonesia dan Pemerintah daerah yang masuk kesitu, kalau hilirnya (usaha kopi), perbankan bisa melakukan itu, “jelasnya.
Direktur Utama Bank Papua, F.Zendrato menyebutkan komoditas kopi menjadi perhatian bank yang dipimpinnya, termasuk dalam memperhatikan dari sektor hulu dan hilir, misalnya dengan menggelontorkan program Corporate Social Responsibility (CSR), sedangkan dari hilir lebih pada pembiayaan.
“Banyak petani kopi yang masih ragu, apakah hasil panen kopinya ada yang membeli atau tidak,” katanya.
Bank Papua, kata Zendrato juga memudahkan petani kopi dalam pekerjaannya, salah satunya menyerahkan bantuan berupa alat pengupas kopi bagi petani, agar lebih efisien dan menghasilkan biji kopi berkualitas ketika berproduksi.
Advertisement