Liputan6.com, Batam - "Kutulis surat ini ketika gelombang menggila di musim utara / Tidak berarti aku ingin bercerita tentang laut // Sebab kau tahu / laut kita adalah bahasa lara / dalam bilangan hari-hari berpeluh duka" (Surat Rumahitam Musim Utara - Tarmizi).
Bait puisi tentang Kota Batam ini ditulis Tarmizi, seorang penyair lokal. Ia ingin menyampaikan bahwa "hidup ini singkat, seni itu panjang usia".
Dalam seni ada berbagai warna kehidupan, membawa penikmatnya menjalani realita dengan cara yang berbeda. Puisi sendiri menurut dia lahir dari kegelisahan dan kebijakan manusia, dari perspektif yang berbeda.
Advertisement
Baca Juga
Tarmizi adalah seorang penyair dan pendiri komunitas seni Rumahitam yang masih aktif. Mereka bergerilya dalam hidup dengan puisi-puisinya. Disampaikan bahwa puisi adalah dialog personal, menyampaikan sesuatu yang personal menjadi universal.
"Menyampaikan realitas dalam puisi, tentang yang kita rasakan tentang kota ini," katanya, Rabu (20/03/2019).
Tarmizi mengaku mengkultuskan kredo-kredo puisi rumahitam yang ditulisnya sejak tahun 2000. Dengan modal itu komunitas seni yang Ia kembangkan menjadi warna khusus di Sekupang, Batam.
"RumaHitam adalah dunia. Proses pendalaman dan awal pemahaman bahwa dunia ini terdiri dari kontestasi kegelapan. Itu alasan nama itu yang saya pilih," katanya.
Simak video pilihan berikut:
Â
Melayu Hilang Roman
Pilihan itu dilakukan dengan kesadaran ingin menjadi lentera dalam kegelapan itu melalui puisi. Puisi berjudul "Surat Rumahitam Angin Musim Utara" tercipta dari kegelisahan tersendiri.
"Musim yang sangat tidak disenangi oleh nelayan. Sekarang musim itu menjadi kenyataan yang utama di Batam. Orang hanya mengenal kota Batam itu menjadi kota lendir. Orang orang datang untuk membuang hajat syahwatnya," kata Tarmizi.
Menurut Tarmizi, Melayu sudah kehilangan roman. Raja Ali Haji telah memberikan pedoman dalam Gurindam 12, 'Jika hendak melihat orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasanya.' Dan lihatlah wajah Batam hari ini, gedung ditinggikan, namun ada yang hilang dari kita, tutur kata dan kelembutan Melayu Raya.
Bagi Tarmizi setiap puisi sangat sufistik, mengingatkan manusia pada moral, menyampaikan kejernihan hati, pesan-pesan kebaikan.
"Menulis puisi adalah menulis nasib kehidupan, memvisualisasikan realitas, dan masa depan seperti apa yang akan kita hadapi. Kota ini jangan sampai hilang arah," katanya.
Advertisement