Menuju Peradilan Aceh yang Berprinsip Kesetaraan Gender

Perempuan dan anak masih termaginalkan dalam hal perlindungan dan pemenuhan hak dalam peradilan.

oleh Rino Abonita diperbarui 01 Mei 2019, 01:00 WIB
Diterbitkan 01 Mei 2019, 01:00 WIB
Pelatihan bertajuk perlindungan perempuan berhadapan dengan hukum dan kepentingan terbaik bagi anak di Banda Aceh, Senin (29/4/2019). (Rino Abonita / Liputan6.com)
Pelatihan bertajuk perlindungan perempuan berhadapan dengan hukum dan kepentingan terbaik bagi anak di Banda Aceh, Senin (29/4/2019). (Rino Abonita / Liputan6.com)

Liputan6.com, Banda Aceh - Perempuan dan anak masih termaginalkan dalam hal perlindungan dan pemenuhan hak dalam peradilan. Di samping itu, perempuan dan anak sering menanggung beban psikologis sejak menjalani proses hukum hingga kembali ke tengah masyarakat. 

Kondisi ini akibat prinsip kesetaraan gender belum sepenuhnya diterapkan di dalam sistem peradilan. Seyogianya, prinsip kesetaraan gender dapat melindungi dan memenuhi hak perempuan dan anak.

"Akses bagi perempuan untuk mendapat layanan hukum termasuk keringanan biaya, menjadi faktor penting prinsip kesetaraan gender dalam peradilan," ujar Manajer Komunikasi AIPJ2, Mira Renata, kepada Liputan6.com, di sela pelatihan bertajuk perlindungan perempuan berhadapan dengan hukum dan kepentingan terbaik bagi anak di Banda Aceh, Senin (29/4/2019).

Pelatihan ini bertujuan agar para hakim, baik Mahkamah Syar’iyah maupun pengadilan umum mampu menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam menangani proses hukum bagi perempuan dan anak. Baik perkara keluarga maupun pidana, termasuk perkara jinayah (tindak pidana dalam hukum pidana Islam).

Hadir dalam pelatihan 35 orang hakim, perwakilan pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat sipil. Pelatihan ini digelar Mahkamah Syar'iyah dan Kementerian PPN/Bappenas, didukung Australia Indonesia Partnership for Justice 2.

"Pelatihan ini juga dimaksudkan untuk menarasikan adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat Aceh dengan Mahkamah Syar’iyah untuk dapat melakukan perlindungan bagi perempuan dan anak melalui pelaksanaan putusan yang dapat dilaksanakan," kata Renata.

Banyak kasus membuktikan perlindungan dan pemenuhan hak perempuan dan anak dalam peradilan masih minim. Dalam perkara perceraian, misalnya, kewajiban mantan suami menafkahi mantan istri dan anak seringkali tidak dilakukan kendati itu putusan hakim.

"Belum lagi, dalam penanganan perkara pidana dan jinayah yang seringkali dilaksanakan dengan belum memperhatikan apakah hak korban dapat terlindungi," jelas Renata.

Kondisi ini menyebabkan perempuan dan anak menanggung beban psikologis dan tekanan dari lingkungan. Hal ini sering dialami sejak awal proses hukum berlangsung hingga kembali ke tengah masyarakat.

"Dalam hal prinsip kesetaraan gender, para hakim juga diharapkan agar lebih peka terhadap kebutuhan dan perlindungan korban perempuan dan anak, dengan tentunya memperhatikan Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum," sebutnya.

Sinergi dengan Peradilan Adat

Pelatihan bertajuk perlindungan perempuan berhadapan dengan hukum dan kepentingan terbaik bagi anak di Banda Aceh, Senin (29/4/2019). (Rino Abonita / Liputan6.com)
Pelatihan bertajuk perlindungan perempuan berhadapan dengan hukum dan kepentingan terbaik bagi anak di Banda Aceh, Senin (29/4/2019). (Rino Abonita / Liputan6.com)

Penyelesaian melalui mekanisme hukum formal diharap memberi contoh baik dan bersinergi dengan proses penyelesaian masalah secara adat oleh tokoh masyarakat dan agama di Aceh. Ini diharap menjadi praktik terbaik dalam implementasi keadilan restoratif di Aceh.

"Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat (PKPM) Aceh bekerja sama dengan AIPJ menunjukkan bahwa mediasi di tingkat kampung dan mukim serta keberadaan institusi adat adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam penegakan keadilan di Aceh," kata dia, sembari mengatakan, implementasi peradilan adat di Aceh salah satunya ‘peumat jaroe'.

Sebagai informasi, peumat jaroe merupakan wujud penyelesaian konflik masyarakat Aceh dan berdamai dalam bingkai adat. Sebelumnya, ada, di’iet, sayam, dan suloh

Di’iet atau diyat dalam istilah syariat Islam bermakna pengganti jiwa atau anggota tubuh yang hilang atau rusak dengan harta, baik harta bergerak atau harta tidak bergerak. Sayam adalah bentuk kompensasi berupa harta yang diberikan oleh pelaku pidana terhadap korban atau ahli waris korban.

Suloh adalah upaya perdamaian antarpihak yang bersengketa atau konflik, yang lebih diarahkan kepada upaya perdamaian di luar kasus pidana. Dan, Peumat Jaroe adalah bentuk aktivitas adat dan budaya Aceh yang melekat dalam setiap prosesi di’iet, sayam, suloh, dan peumat jaroe atau saling berjabat tangan setelah peusijuek terlebih dulu.

Peradilan adat di Aceh senada dengan adagium 'hukom ngen adat lagee zat ngen sifeut'. Adapun arti hadih maja (pribahasa Aceh) ini adalah, hukum dengan adat seperti zat dan sifat.

Sementara itu, Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, Jamil Ibrahim mengakui perempuan dan anak kerap menjadi korban, salah satu penyebabnya adalah desakan ekonomi. Pihaknya, dalam hal ini mendukung setiap upaya memastikan hak perempuan dan anak terlindungi.

"Perempuan dan anak adalah aset suatu bangsa. Kondisi perempuan dan anak kerap menjadi korban-baik karena bencana maupun desakan kebutuhan ekonomi," kata Jamil, saat membuka pelatihan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya