Liputan6.com, Cilacap - Tragedi 1965 tak hanya tentang peristiwa upaya kudeta yang berakhir dengan hilangnya ribuan nyawa. Berpuluh tahun kemudian, dampaknya masih dirasakan oleh sebagian masyarakat.
Ribuan masyarakat kehilangan harta, benda, dan hak atas tanah tumpah darahnya. Guratan kelam sejarah 1965 tentang manusia yang tercerabut dari tanahnya salah satunya terjadi di Cilacap, Jawa Tengah.
Syahdan, usai tragedi 1965, warga Desa Grugu, Cilacap, diminta untuk bedol desa. Alasannya, demi keamanan. Maklum, pedesaan terpencil kerap dijadikan persembunyian bekas anggota PKI yang melarikan diri.
Advertisement
Baca Juga
Warga setuju bedol desa lantaran dijanjikan tukar guling. Warga desa yang kemudian secara administratif masuk Kecamatan Kawunganten ini pun setuju meninggalkan desanya.
Singkat kata, mereka pun pindah. Namun, tak pernah terbayangkan sedikit pun, janji-janji tukar guling itu hanya omong kosong belaka. Hingga puluhan tahun kemudian, mereka tak mendapatkan haknya.
"Dikenal ada Grugu baru dan Grugu lama. Grugu lama itu adalah kawasan hutan yang asal usulnya adalah desa Grugu yang warganya dipaksa bedol desa dengan alasan keamanan," Petrus Sugeng, Direktur LSM Serikat Tani Mandiri (Setam) Cilacap, mengungkapkan.
Perjuangan untuk memperoleh hak atas tanah yang hilang usai tragedi 1965 kembali mulai dilakukan sejak akhir 1990-an dan awal milenium, seturut bergulirnya reformasi. Akan tetapi, hingga 2019 ini, pemilik tanah di Grugu lama atau keturunannya tak kunjung memperoleh kejelasan.
Pengajuan TORA
Angin harapan lantas berembus pada 2017 dan 2018 lalu, dengan pembaruan skema redistribusi lahan. Pemerintah meluncurkan berbagai program redistribusi tanah. Salah satunya reforma agraria dengan skema Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial alias IPHPS.
Warga kembali terpantik untuk mengajukan IPHPS sebagai alternatif penguasaan lahan penuh melalui skema kepemilikan hak. Bersama dengan empat desa lain di Cilacap, Warga Grugu kembali memperjuangkan tanahnya.
Selain Grugu, empat desa lainnya itu yakni Bringkeng, Babakan, dan Panikel Kecamatan Kawunganten. Bersama Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) mereka tengah bersiap mengajukan lahan sengketa sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
Petrus menjelaskan, di keempat desa itu terdapat ratusan hektare lahan yang disengketakan antara warga dengan Perhutani. Serupa dengan Grugu, Bringkeng, Babakan, dan Panikel adalah desa-desa lama yang warganya bedol desa usai peristiwa 1965.
Saat ini, warga tengah mengumpulkan bukti-bukti sejarah bahwa lahan perhutani di tiga desa itu merupakan bekas desa. Di antaranya bekas pemakaman, pondasi rumah atau tempat ibadah, bekas sumur, dan tanda-tanda perkampungan yang kini masih tersisa.
"Kita sedang persiapan pemetaan lagi. Beberapa desa yang kemarin tertunda, karena Pemilu, yakni Bringkeng, Grugu, Babakan, dan Penikel. Ada empat desa yang kita rencanakan," dia menerangkan.
Advertisement
IPHPS di 3 Desa Kabupaten Cilacap
Dan salah satu bukti yang paling kuat adalah penyebutan tiga desa tersebut. Di wilayah sekitar, ada penyebutan Grugu lama dan Grugu baru, Bringkeng lama dan Bringkeng baru, serta Babakan lama dan Babakan baru.
"Nama-nama ini merujuk pada kawasan yang pernah telah ditinggalkan dan yang kini didiami oleh warga," ujar Petrus.
Berbeda dari kasus tiga desa yang tukar gulingnya tidak terealisasi, desa keempat yang sebagian lahannya akan diajukan sebagai TORA, Panikel adalah lahan timbul. Lahan ini sebelumnya adalah kawasan Laguna Segara Anakan.
Sedimentasi telah menyebabkan ratusan hektare laguna berubah menjadi daratan. Setelah digarap oleh warga selama puluhan tahun, mendadak lahan timbul itu diklaim sebagai kawasan hutan oleh Perhutani.
Empat desa ini akan menyusul tiga desa lain di Kabupaten Cilacap yang juga telah mengajukan IPHPS. Tiga desa tersebut meliputi Mentasan dan Sarwadadi Kecamatan Kawunganten, serta Desa Gintungreja Kecamatan Gandrungmangu.
Bahkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah memverifikasi lahan dan penggarapnya pada pertengahan April lalu.
Desa Gintungreja mengajukan IPHPS seluas 176 hektare. Desa Sarwadadi mengajukan seluas 486,5 hektare, adapun Desa Mentasan seluas 500 hektare lebih.
Saksikan video pilihan berikut ini: