Legenda Monyet Keramat Penunggu Masjid Saka Tunggal Banyumas

Beberapa santri itu belakangan ada yang dikutuk menjadi monyet yang lantas menjadi penunggu masjid Saka Tunggal Banyumas.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 17 Mei 2019, 03:01 WIB
Diterbitkan 17 Mei 2019, 03:01 WIB
Ratusan ekor monyet keramat penunggu masjid tinggal di sekitar Masjid Saka Tunggal, Cikakak, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Ratusan ekor monyet keramat penunggu masjid tinggal di sekitar Masjid Saka Tunggal, Cikakak, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banyumas - Tersebutlah Masjid Saka Tunggal, Banyumas, masjid yang dipercaya sebagai yang tertua di Banyumas. Satu hal yang mungkin tak ditemui di tempat lain adalah monyet keramat penunggu masjid ini.

Perpaduan monyet dan masjid tak saja membuat masjid monyet keramat ini jadi tempat wisata. Balutan forklore bercampur mitologi menaungi tempat masjid keramat ini.

Monyet keramat penunggu masjid tak itu hanya berjumlah puluhan. Dipercaya, ratusan monyet yang terbagi menjadi lima kelompok tinggal di sekitar masjid yang didirikan di pinggiran hutan.

Mafhumnya, saka guru berjumlah empat. Tiang utama yang tunggal adalah simbol Tuhan yang Esa.

Masjid ini terletak di Desa Cikakak, Wangon, masuk ke jalan desa sekitar empat kilometer dari jalan Raya Wangon-Ajibarang, Banyumas. Kondisi jalan mulus, meski sempit.

Ratusan monyet keramat penunggu masjid pun menjadi daya tarik wisatawan. Mereka hidup berdampingan dengan masyarakat, meski terkadang begitu merepotkan.

Ternyata, ada legenda di balik keberadaan ratusan monyet keramat penunggu masjid ini. Cerita ini dituturkan secara lisan, turun-temurun di antara masyarakat Cikakak yang merupakan keluarga besar, bersaudara satu sama lain.

 

Santri Dikutuk Jadi Monyet

Ratusan ekor monyet keramat penunggu masjid tinggal di sekitar Masjid Saka Tunggal, Cikakak, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Ratusan ekor monyet keramat penunggu masjid tinggal di sekitar Masjid Saka Tunggal, Cikakak, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Alkisah, pada masa penyebaran agama Islam, Kyai Mustholih mendirikan masjid dan mendirikan padepokan mengaji. Puluhan santri pun berdatangan dari berbagai daerah. Belakangan, beberapa santri itu ada yang dikutuk menjadi monyet yang lantas menjadi penunggu masjid Saka Tunggal, Banyumas.

Suatu hari, tiba hari Jumat. Santri lelaki pun berkewajiban menunaikan salat Jumat. Namun, ada beberapa santri yang melanggar. Mereka justru asyik mencari ikan di sekitar masjid.

Ikan membutakan mata dan bikin tuli para santri sehingga mereka melupakan kewajibannya. Celakanya, mereka pun ribut sehingga mengganggu orang-orang yang tengah menjalankan salat Jumat.

Kiai Mustholih pun marah. Seusai salat Jumat, ia menghardik para santri yang telah kelewat batas. Saat itu, ia sempat mengatakan kelakuan santrinya tak beda dengan monyet yang nakal dan susah diatur.

Sebagaimana legenda kiai zaman kuno yang memiliki daya linuwih, ujaran itu menjadi kenyataan. Santri-santri nakal itu berubah menjadi monyet.

Soal benar tidaknya legenda ini, ada pesan mulia di balik legenda santri yang dikutuk menjadi monyet. Bahwa, yang membedakan manusia dengan hewan adalah perilakunya. Jika manusia tak memiliki kemanusiaan, akal dan hati, maka ia tak beda dengan monyet.

Perilaku ratusan monyet yang nakal, iseng, dan susah diatur pun kerap dirasakan peziarah atau wisatawan yang berkunjung ke kompleks Masjid Saka Tunggal. Seringkali, barang-barang mereka dijambret.

 

Repotnya Warga Akibat Ulah Monyet Keramat

Sulam, juru kunci sekaligus imam Masjid Saka Tunggal, Baitussalam, Cikakak, Wangon, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Sulam, juru kunci sekaligus imam Masjid Saka Tunggal, Baitussalam, Cikakak, Wangon, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Penduduk setempat pun kerap dibuat repot oleh ulah monyet yang menyerbu perumahan. Memorakporandakan genteng, mencuri makanan, dan menyerbu kebun penduduk. Biasanya, serbuan kawanan monyet menjadi-jadi pada musim kemarau.

Warga Cikakak, Karsini mengatakan kawanan monyet ini bahkan bisa membuka jendela tak terkunci dan masuk mengambil apa saja yang ada di rumah. Kawanan monyet juga masuk ke warung untuk mengambil makanan apa saja.

"Mengganggu, wong kalau ada orangnya saja melompat ambil sayuran dan apa saja. Ya ada juga kacang dan goreng-gorengan juga diambil," Karsini menuturkan.

Kawanan monyet juga menyerang lahan pertanian warga. Petani sekitar hutan Cikakak hampir tidak pernah bisa memanen pisang, kelapa, rambutan, dan sejumlah komoditas pertanian lain.

"Sekarang menanam buah sekitar sini sudah percuma. Tidak mungkin sampai berbuah. Baru kembang saja sudah diambil monyet," ucap warga lainnya, Ruswanto.

Monyet adalah analogi keserakahan hewan yang tak terkekang. Manusia, mestinya bisa mengekang hawa nafsu, dengan akal sehat dan hati nuraninya. Otak dan hati mesti seimbang agar manusia tak kehilangan kemanusiaannya.

"Monyet-monyet cerminan perilaku yang harus kita kekang," Sulam menerangkan.

 

Terdaftar sebagai Cagar Budaya

Masjid Saka Tunggal Baitussalam, Cikakak, Wangon, Banyumas terdaftar sebagai cagar budaya. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Masjid Saka Tunggal Baitussalam, Cikakak, Wangon, Banyumas terdaftar sebagai cagar budaya. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Sulam menyebut ada lima kelompok monyet yang hidup di hutan sekitar Masjid Saka Tunggal. Lima kelompok itu cenderung tetap, dengan populasi sekitar 200 ekor.

Meski nakal, keberadaan monyet-monyet ini sudah dimaklumi oleh warga sekitar. Mereka tak segan memberi makanan sisa.

Mereka pun tak pernah bertindak buruk kepada monyet. Monyet telah menjadi bagian hidup sehari-hari warga Cikakak.

Wilayah Banyumas raya, Jawa Tengah berada di antara dua kebudayaan besar, Mataram, dan Pasundan. Sebab itu perikehidupan masyarakatnya pun dependen pada dua kebudayaan besar tanah Jawa ini.

Masjid Saka Tunggal, saat ini statusnya baru terdaftar sebagai cagar budaya. Masjid yang diyakini sebagai yang tertua di Banyumas ini dibangun pada 1522-an Masehi oleh Kiai Musholih, tokoh penyebar agama Islam di Banyumas masa awal.

Tanda-tanda betapa tuanya Masjid Saka Tunggal bisa dilihat dari budaya yang tercipta di lingkungannya dan bisa disaksikan hingga saat ini.

Masyarakat Cikakak, terutama di sekitar Masjid menggunakan penanggalan Alif Rebo Wage (Aboge) yang memadukan kelander Masehi dan Hijriyah yang melandaskan penanggalan pada matahari (Syamsiyah) dan rembulan (Qomariyah).

Secara syariah, ritual ibadah yang dilakukan masyarakatnya tak berbeda dengan umat Muslim pada umumnya. Hanya saja, penanggalannya berbeda lantaran memakai kalender delapan tahunan (sewindu).

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya