Liputan6.com, Cilacap - Sebanyak 16 siswa penghayat kepercayaan di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah mengikuti Ujian Nasional dan Ujian Sekolah Berbasis Nasional (UN/USBN) tahun 2019 ini.
Ini adalah tahun kedua siswa penghayat kepercayaan di Cilacap ujian nasional sesuai dengan kepercayaannya. Jumlah ini meningkat dibanding tahun 2018 lalu yang hanya diikuti oleh lima siswa.
Sekretaris Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Kabupaten Cilacap, Muslam Hadiwiguna Putra mengatakan 16 siswa yang mengikuti USBN tahun ini terdiri dari 11 siswa SMP dan lima siswa SMA/SMK. Mereka tersebar mulai dari Cilacap timur hingga barat.
Advertisement
Baca Juga
Di tingkat SMA/SMK lima siswa itu berada di SMK Yos Sudarso Sidareja, SMK N 2 Cilacap, SMK N 1 Kawunganten, SMA N 1 Bantarsari. Di tingkat SLTP, mereka bersekolah di SMP N 3 Gandrungmangu, SMP N 1 Cipari, SMP N 1 Adipala dan SMPN 2 Adipala.
“11 Anak untuk SMP dan 5 anak untuk SMA dan SMK. Jadi 11 dan 5, keseluruhan ada 16 anak,” kata Muslam, yang juga guru penghayat kepercayaan, beberapa waktu lalu.
Tahun ini tak ada siswa sekolah dasar (SD) yang mengikuti USBN. Namun, tahun depan akan ada satu siswa yang akan mengikuti USBN. Siswa tersebut kini baru kelas lima dan akan naik ke kelas enam.
Bagi penghayat kepercayaan, tentu ini adalah kabar baik. Selama puluhan tahun, siswa penghayat kepercayaan selalu menggarap soal ujian agama lain agar rapot dan nilai akhir ujiannya tak kosong.
Ada siswa, pasti ada guru penghayat kepercayaan. Ada enam pengampu yang disiapkan oleh MLKI Cilacap untuk mengajar siswa penghayat kepercayaan di seluruh sekolah. Menilik jumlah siswa siswanya yang sedikit, enam guru penghayat kepercayaan itu seolah cukup.
Guru Penghayat Kepercayaan Mengajar Tanpa Honor Memadai
Tetapi, jangan lupa pula, sekolah para siswa penghayat kepercayaan ini terpencar, mulai dari Cilacap timur hingga ujung barat. Jaraknya, seratusan kilometer lebih.
“Kita memang masih kekurangan. Kalau yang sudah mengikuti diklat, kursus yang diadakan kementerian itu ada empat orang. Tahun ini ada tambah dua lagi,” Muslam menjelaskan.
Selain jumlahnya yang terbatas, ternyata hingga saat ini guru penghayat kepercayaan pun belum mendapatkan gaji atau honor yang memadai. Pemerintah belum menyiapkan skema gaji bagi para guru penghayat kepercayaan.
Muslam menyebut, diklat dan kursus itu mungkin saja adalah cara pemerintah untuk mempersiapkan guru penghayat kepercayaan agar memiliki kemampuan yang mumpuni, sebelum menerima honor dari pemerintah. Setelah itu, mungkin saja, guru akan menjadi aparatur sipil negara (ASN).
“Memang belum ada pembicaraan ke arah sana. Tapi kita sudah mulai berkomunikasi dengan Dinas Pendidikan Cilacap. Arahannya ke sana (honorer daerah),” ucap Muslam yang juga mengajar di area Cilacap kota dan timur.
Beberapa guru penghayat kepercayaan beruntung. Sekolah menyediakan anggaran transportasi untuk mereka. Tetapi sebagian lainnya mesti membiayai sendiri transportasi ke sekolahnya mengajar.
Padahal, jarak sekolah dengan rumah guru penghayat kepercayaan ada yang mencapai 10 kilometer lebih. Beberapa di antaranya bahkan lebih dari 20 kilometer.
Advertisement
Harapan Guru Pengajar Kepercayaan
Salah satu guru penghayat kepercayaan itu adalah Kuswanto Heriyanto. Ia tinggal di Desa Karanggedang Kecamatan Sidareja, Cilacap.
Karanggedang adalah desa pelosok. Dari jalan utama, rumah Kuswanto masuk sekitar empat kilometer, dengan kondisi jalan yang rusak parah.
Kuswanto mengajar di area Kecamatan Gandrungmangu, Kecamatan Sidareja dan Cipari. Terjauh adalah kecamatan Cipari. Jaraknya kurang lebih 15 kilometer.
Ia memang tak menyebut honor atau biaya transportasi yang diberikan oleh sekolah. Tetapi, alih-alih menunjang kinerjanya, Kuswanto menyebut jumlahnya tak cukup. Tak jarang ia mesti merogoh kantongnya dalam-dalam untuk membiayai operasionalnya.
“Untungnya anak saya cuma satu. Coba kalau dua, atau tiga, mungkin saya sudah berhenti mengajar,” ucap Kuswanto.
Makanya, ia pun tak menyalahkan ada guru penghayat kepercayaan yang mengundurkan diri. Sebab, menjadi guru penghayat kepercayaan, berarti mesti siap berkorban.
“Ya itu yang saya sebut. Sudah berkurang. Ya, kalau saya sih maklum saja,” ujarnya.
Kuswanto juga bukan berasal dari kalangan keluarga kaya. Ia hanya petani yang mengandalkan panenan musiman. Dengan pendapatannya yang serba terbatas itu, ia merelakan diri berjuang demi keyakinannya.
Namun, ia pun berharap agar pemerintah segera memperjelas status guru penghayat kepercayaan. Sebab, sebagaimana guru mata pelajaran lainnya, guru penghayat kepercayaan juga berjuang untuk mencerdaskan anak bangsa.
Saksikan video pilihan berikut ini: