Semarang - Tradisi Kupat atau 'ngaku lepat' terus didengungkan di Keraton Kawitan Amarta Bumi setiap memperingati Hari Raya Idul Fitri.
Peringatan tahun 2019 ini Keraton juga memperingati dengan menggelar grebek kupat yang berjumlah 1000 yang tersaji dalam bentuk gunungan yang digelar Minggu (9/6).
Tradisi tahunan ini diawali dengan mengarak dua gunungan yang berisi kupat dan lepet serta aneka hasil bumi.
Advertisement
Baca Juga
Arak-arakan gunungan diikuti seluruh keluarga dan kerabat keraton, termasuk prajurit dan abdi dalem, serta para tamu undangan.
Raja Kraton Kawitan Amarta Bumi Sri Anglung Prabu Konto Joyonegara Cakra Buana Giri Natha menjelaskan peringatan grebeg kupat merupakan pengakuan atas kesalahan atau kelepatan.
"Ini merupakan bentuk tradisi jawa yang kami munculkan kembali, lepat bermakna ngaku lepat yang merupakan sebuah pernyataan kejujuran yang kini mulai pudar," kata Sri Anglung.
Kupat tersaji dalam 10 jenis yang merupakan sifat dari manusia. Gunungan sebelum diperebutkan di kirab keliling keraton dengan sebelumnya dilakukan ritual dan doa.
Setelah sampai di lokasi rebutan gunungan, sang prabu memberikan sambutan dan makna dari pelaksanaan grebeg kupat tersebut.
Warisan Leluhur
Belum usai Raja Keraton Kawitan Amarta Bumi selesai memberikan sambutan warga sudah langsung menyerbu dua gunungan dan ludes dalam hitungan detik.
"Grebeg kupat ini salah satu bentuk berkepribadian dalam kebudayaan. Tradisi warisan leluhur ini akan terus dilaksanakan dan dilestarikan karena nguri-nguri kebudayaan daerah, ini juga merupakan ajaran-ajaran luhur," katanya.
Tri Wahyudi warga Semarang mengaku belum pernah datang ke kampung jawa Sekatul atau Kraton kawitan Amarta Bumi tempat digelarnya acara Grebeg Kupat.
"Saya belum pernah kesini dan baru kali ini malah ada acara grebek kupat dan tadi ikutan berebut gunungan," kata Tri Wahyudi. Dia akan memakan apa yang diperoleh dari berebut gunungan tersebut.
Simak video pilihan berikut:
Advertisement