Jangan Ada Kopi Renteng di Antara Kita

Meski bisnis receh, persaingan kedai kopi tidak hanya di dunia nyata, tapi juga dunia gaib.

oleh Musthofa Aldo diperbarui 05 Jul 2019, 06:00 WIB
Diterbitkan 05 Jul 2019, 06:00 WIB
kopi
Kedai Kandang Kopi di malam hari. (Liputan6.com/Musthofa Aldo)

Liputan6.com, Bangkalan Ide bisnis bisa datang dari mana saja. Bahkan dari nongkrong dan nyeruput kopi, aktivitas yang jamak dianggap mubazir dan buang-buang waktu, serta identik dengan pengangguran.

Seperti Saini Sukijan yang selama kuliah di Universitas Muhammadiyah Malang, justru memperbanyak nongkrong di warung kopi ketimbang belajar, sampai lulus Fakultas Psikologi tahun 2011.

Dia membuat kedai kopi karena dirinya kesulitan menemukan tempat nongkrong begitu pulang kampung ke Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, setelah empat tahun merantau ke Kota Kupang, NTT, pada 2015.

Bermodal pinjaman emas milik saudara dan keluarga, Saini membangun kedai sederhana dan menamainya Kandang Kopi karena seluruh bangunan berbahan bambu dan beratap rumbia--mirip kandang sapi.

Tentu selalu ada keberuntungan di balik cerita heroik. Pada 1980-an, ayah Saini yang sukses di perantauan membeli sekapling tanah di Kelurahan Mlajah, Bangkalan, yang sepi. Kini kawasan itu ramai dan menjadi Jalan RE Martadinata. Di lahan itulah Saini membangun kedai kopinya.

"Habis sekitar 75 juta. Mulai dari awal membangun sampai membeli isi kedai, lalu jualan kopi," kata Saini, soal modal awal yang ia habiskan.

Awal Usaha Sepi itu Biasa

Saini Sukijan
Saini Sukijan, owner kedai Kandang Kopi Bangkalan. (Liputan6.com/Musthofa Aldo)

Setahun pertama Kandang Kopi sepi. Pembeli yang datang sebatas teman komunitas, teman sekolah, dan para tetangga. Itu pun, mereka datang karena diundang.

Ketika pembeli mulai ramai, Saini menyerahkan pengelolaan kedai ke adiknya, sebab ia harus kembali ke Kupang karena anaknya meninggal dunia. Ketika pengelolaan kedai dialihkan ke adiknya, pelanggan kandang kopi terus ramai dan stabil hingga Saini kembali.

Dengan pendapatan kotor rata-rata Rp 1 juta perhari, Kandang Kopi tak hanya balik modal di tahun kedua, tetapi juga mencatat keuntungan yang fantastik.

Saini merasa munculnya film Filosofi Kopi di tahun itu punya pengaruh besar dalam mengedukasi kalangan muda. Film garapan Sutradara Angga Dwimas Sasongko dianggap mampu mengubah kesan bahwa ngopi bukan hanya aktivitas orang tua.

"Di Madura, hanya orang tua yang nongkrong di warung kopi. Kalau yang muda nongkrongnya di alun-alun, enggak ngapa-ngapain," ungkap dia.

Kini, di tahun keempatnya, Kandang Kopi telah stabil sebagai bisnis, branding pun sudah kuat. Maka, dia memutuskan membuka dua cabang baru pada 2017 dan 2018, masing-masing di Jalan HOS Cokroaminoto dan di sekitaran kampus Universitas Trunojoyo Madura.

Para pembeli langsung ramai. Adik dan sepupu Saini tak sulit lagi mengelola dua cabang itu. "Dulu, waktu buka Kandang kopi, hanya ada tiga kedai. Sekarang se-Bangkalan, ada lebih dari 30 kedai dan kafe. Alhamdulillah bisa bertahan," ungkap Saini.

 

Petualangan Ngopi di Kedai Legendaris

kopi
Suasana kedai Kandang Kopi Bangkalan. (Liputan6.com/Musthofa Aldo)

Saini memang seorang penikmat kopi tulen. Dia tak sembarangan menulis kopi dalam menu. Sebelum menentukan menu yang akan dijual, semua harus lolos seleksi rasa di lidahnya.

Untuk kopi misalnya, dia lebih dulu ngopi keliling Jawa Timur: dari Gresik Hingga Malang, dari Kediri sampai Tulungagung. Kopi Ijo misalnya ia temukan ketika ngopi di warung Cak Waris, salah satu tempat ngopi legendaris di Tulungagung.

Di Kediri ia jatuh cinta pada citarasa kopi Brotoseno. Namun, Kopi Unyil di Dinoyo Malang, paling cocok dengan lidahnya. Kopi Unyil ternyata kopi giras khas Gresik. Maka ia pun ngopi ke Gresik, mencari pembuatnya untuk diajak kerja sama.

"Kopi giras itu banyak jenisnya, tapi yang seperti kopi unyil, baru saya temukan setelah berpindah-pindah ngopi seharian," kenang dia.

Setelah petualangan panjang itu, dia memutuskan 35 menu yang dijual, termasuk semua jenis kopi Nusantara. Seiring waktu terjadi seleksi alam. Beberapa menu dicoret karena jarang dipesan.

Dan lidah Saini memang peka, kopi giras menjadi menu favorit pelanggan dan belakangan melekat dengan Kandang Kopi.

"Dulu ada satu jenis kopi renteng yang saya jual, tapi saya putuskan tidak menjual lagi. Istilahnya, jangan ada kopi renteng di antara kita," katanya sambil tertawa.

Kunci Bisnis Receh Harus Telaten

kopi
kopi giras Kandang Kopi Bangkalan (liputan6.com/Musthofa Aldo)

Menurut Saini, bisnis kopi termasuk bisnis recehan karena keuntungannya tak seberapa. Maka kuncinya adalah ketelatenan. Sepi atau ramai, jadwal buka harus Istiqomah sesuai jadwal.

Saini juga memanfaatkan media sosial untuk promosi dan menjangkau pembeli baru. Citarasa dan pelayanan juga harus dipertahankan agar pelanggan lama tidak lari.

"Pengopi di sini belum siap menikmati kopi murni tanpa gula ala kopi Nusantara, yang dihirup dulu sebelum diseruput itu. Mungkin karena harga mahal dan rasanya belum familiar,".

Saini juga punya pesan penting bagi yang mau memulai usaha baru. "Jangan kosongan," katanya.

Sebab, dia pernah mengalami, sejumlah pelanggan tiba-tiba menanyakan kenapa Kandang Kopi tutup. Padahal saat itu kedainya buka seperti biasa.

"Sedikit banyak, usaha itu harus dipagari, harus punya amalan, agar terhindar dari persaingan dunia gaib," tutur alumnus S2 Universitas Surabaya ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya