Meraba Penyebab Celeng Agresif dan Serang 4 Warga Lereng Gunung Slamet

Nenek Warsinah (70), salah satu dari empat korban serangan celeng, meninggal dunia saat dirawat di Rumah Sakit Islam, Purwokerto.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 04 Jul 2019, 06:47 WIB
Diterbitkan 04 Jul 2019, 06:47 WIB
Nenek Warsinah (70 th) warga Windujaya, Kedungbanteng, Banyumas, meninggal dunia akibat luka berat diserang celeng. (Foto: Liputan6.com/Tagana Banyumas/Muhamad Ridlo)
Nenek Warsinah (70 th) warga Windujaya, Kedungbanteng, Banyumas, meninggal dunia akibat luka berat diserang celeng. (Foto: Liputan6.com/Tagana Banyumas/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banyumas - Warga Windujaya, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah berduka. Nenek Warsinah (70), salah satu dari empat korban serangan celeng, meninggal dunia saat dirawat di Rumah Sakit Islam, Purwokerto, Selasa malam, 2 Juli 2019.

Kabar duka itu meruap dan tersebar luas di desa-desa lereng Gunung Slamet. Warga pun geram, sekaligus resah oleh serangan celeng ini.

Mereka pun langsung memburu celeng ini. Mereka khawatir celeng kembali menyerang warga lainnya jika dibiarkan berkeliaran.

Ratusan warga bergabung dalam perburuan. Selain itu, relawan lintas organisasi hingga Perbakin Banyumas pun terlibat dalam perburuan celeng yang agresif ini.

Menilik ukurannya, celeng itu sangat besar. Penuturan warga, celeng setinggi sekitar satu meter, dengan bobot diperkirakan lebih dari satu kuintal. Diduga, celeng berjenis kelamin jantan.

Warsinah adalah satu di antara empat korban serangan celeng yang tiba-tiba masuk ke kebun dan perkampungan di Desa Windujaya dan Desa Melung, Kecamatan Kedungbanteng, Selasa siang, sekitar pukul 11.00 WIB.

"Beliau diserang babi hutan ketika sedang mencari kayu bakar, akibat serangan babi hutan tersebut, Ibu Warsinah mengalami luka tercabik pada bagian belakang tubuh mulai dari punggung, pantat, hingga kaki," kata Heriana Ady Chandra, Komandan Tagana Banyumas.

 

Konflik Manusia dengan Satwa Liar

Warga dan relawan memburu celeng yang meresahkan warga di lereng Gunung Slamet. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Warga dan relawan memburu celeng yang meresahkan warga di lereng Gunung Slamet. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Korban serangan celeng lainnya, Rahmat Suwaryo, warga Windujaya, kini masih dirawat intensif di ruang ICU RS Islam Purwokerto. Adapun dua korban lain yang menderita luka ringan, yakni Karsikin, warga Melung dan Maksum, warga Windujaya sudah diperbolehkan kembali ke rumah menjalani rawat jalan.

Lazimnya, satwa liar yang bukan jenis predator, seperti celeng, akan lari begitu berjumpa dengan manusia. Namun, dalam beberapa kasus, perjumpaan manusia dan hewan liar justru memicu konflik karena hewan bersifat agresif.

Contohnya, celeng yang menyerang empat orang di Desa Windujaya dan Melung tersebut. Celeng secara berurutan menyerang empat korban yang berada di lokasi terpisah.

Soal celeng yang agresif ini, Koordinator Polisi Hutan BKSDA Wilayah Resor Cilacap, Endi Suryo Heksianto menduga celeng tersebut adalah individu jantan yang tersingkir dari koloninya. Dia bilang, tiap koloni atau kawanan celeng hanya memiliki satu pejantan alfa atau pejantan utama.

Pejantan yang kalah berkompetisi memperebutkan kelompok akan menyingkir. Namun, secara naluriah, pejantan yang tersingkir ini juga akan tetap mencari wilayah baru. Karenanya, ia masih agresif.

"Mungkin ini yang menyebabkan celeng tersebut sangat agresif," kata Endi.

Kemungkinan lain, celeng tersebut sempat terluka, atau setidaknya terdesak oleh perburuan. Hewan yang terluka, di beberapa kasus, justru akan lebih agresif.

 

Kemarau, Waspada Satwa Turun Gunung

Lereng selatan Gunung Slamet, Baturraden, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Lereng selatan Gunung Slamet, Baturraden, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Untuk mengantisipasi konflik langsung dengan satwa, Endi menyarankan agar petani yang berdekatan dengan kawasan hutan menyiapkan alat-alat yang menciptakan bunyi. Ada baiknya pula, di sebuah kawasan perkebunan, petani memelihara anjing penjaga.

"Itu akan mengusir satwa dan lebih aman," dia menambahkan.

Endi juga mengimbau agar warga tak lantas memburu hewan-hewan yang turun gunung. Terlebih, hutan lindung Gunung Slamet merupakan habitat sejumlah hewan dilindungi. Misalnya, owa jawa, lutung, kijang, trenggiling, dan beberapa hewan lainnya.

"Kalau ada satwa turun gunung lebih baik melaporkan kepada BKSDA atau yang berwenang. Itu kan kawasan Perhutani. Bisa melaporkan ke sana juga," ujarnya.

Ia juga meminta agar masyarakat mewaspadai kemungkinan satwa liar turun gunung pada kemarau ini. Satwa yang masuk ke permukiman berpotensi memunculkan risiko konflik dengan manusia.

Potensi satwa turun gunung pada kemarau memang tinggi. Penyebabnya adalah menipisnya bahan makanan dan air minum di dalam hutan.

Dia mengatakan, salah satu penyebab minimnya sumber makanan adalah ketiadaan predator alami. Akibatnya, populasi herbivora, seperti celeng atau babi hutan sangat besar. Kompetisi makanan memaksa sebagian satwa masuk ke kawasan warga.

"Predator alaminya itu kan macan tutul, macan kumbang, kalau ini jumlahnya tidak mencukupi maka populasinya akan sangat banyak. Akhirnya, banyak yang turun gunung," dia mengungkapkan.

Satwa liar itu kemudian menyerang tanaman warga. Lazim terjadi, tanaman pangan warga yang berdekatan dengan kawasan hutan rusak akibat serangan celeng.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya