Mbah Kiman dan Mbah Sutinah Mendadak Muda Terbakar Api Asmara

Cinta bisa berawal dari kebiasaan, namun itu adalah bentuk dukungan semesta sehingga asmara tak pandang usia.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 05 Jul 2019, 04:00 WIB
Diterbitkan 05 Jul 2019, 04:00 WIB
mbah kiman
Mbah Kiman dan Mbah Sutinah, menikah di usia senja tak menghalangi kebahagiaan mereka. (foto: Liputan6.com / istimewa / edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Semarang - "Witing tressna jalaran saka kulina", sebuah pepatah Jawa yang berarti tumbuhnya cinta berawal dari kebiasaan. Pepatah itu menjadi relevan untuk menggambarkan kisah cinta Mbah Kiman Mitro Wiyono yang berusia 88 tahun, yang jatuh cinta dengan Nenek Sutinah yang sudah berusia 75 tahun.

Mbah Kiman adalah warga Desa Bendung, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul. Sepeninggal istrinya, ia hidup seorang diri. Hingga suatu ketika datang seorang perempuan, menyapa dan meminta kayu bakar. Perempuan itu bukanlah sosok muda yang seksi, namun juga sudah berusia renta. Mbah Sutinah namanya.

Sejak saat itu, seperti anak muda yang jatuh cinta, Mbah Kiman lebih rajin bekerja. Rajin menyiapkan kayu-kayu bakar, juga berdandan dengan pakaian terbaik yang dimilikinya.

"Piyambake asring mriki. Menawi wonten mriki, raosipun manah kok ayem (Dia sering kesini, kalau sedang bersamanya, hati terasa lebih adem)," kata Mbah Kiman bercerita awal kisah cintanya.

Seringnya bertemu, akhirnya menumbuhkan perasaan cinta pada Mbah Kiman. Tak ada kalimat gombal yang disampaikan, namun melihat bahasa tubuh, Mbah Kiman meyakini bahwa mbah Sutinah juga jatuh cinta padanya. Anak-anak milenial menyebutnya bahwa cinta itu tak butuh alasan, tetapi butuh balasan.

"Enggak tahu kok merasa senang. Saya jatuh cinta sejak dua tahun lalu. Alhamdulillah mendapat balasan," kata Mbah Kiman.

Sebelumnya, Mbah Kiman Mitro sudah tiga kali menikah tetapi tidak satu pun mantan istri itu memberinya anak.

Sementara itu, Mbah Sutinah yang tinggal di Dusun Pencil, Bendung, Semin, Gunungkidul sendiri juga bernasib sama. Ia menjanda setelah sang suami meninggal dunia. Hidupnya juga tak dianugerahi anak.

"Setelah kami saling tahu kalau cinta berbalas, saya sering datang berkunjung ke rumahnya," kata Mbah Kiman Mitro.

Keintiman kakek-nenek ini awalnya dianggap biasa oleh warga. Apalagi jarak rumah mereka hanya beberapa ratus meter, sebuah jarak yang sangat dekat untuk ukuran warga dusun. Apalagi jika dibandingkan dengan sistem zonasi penerimaan peserta didik baru.

Namun, seperti anak-anak muda yang jatuh cinta, kebersamaan mereka kadang tak mengenal waktu. Meskipun tak sampai tengah malam, namun kedatangan mbah Kiman apel membuat gerah.

"Saya kalau ke rumahnya ya ngobrol. Kami sama-sama butuh teman," kata mbah Kiman.

Bahkan pernah Mbah Kiman menyampaikan niatnya untuk mengajak mbah Sutinah menikah. Namun mereka berdua berkaca diri dengan usianya yang tak lagi muda. Kekuatan cinta membutakan segalanya, mereka tetap merencanakan perkawinan, meski motivasi hidup bersama adalah untuk saling menemani, saling mengisi kekosongan belahan jiwa.

Tuhan rupanya tahu dua makhluknya yang dilanda api asmara. Suatu sore, Mbah Kiman disuruh ke rumah Mbah Sutinah. Dengan bersemangat, Mbah Kiman berangkat. Ternyata, di rumah Mbah Sutinah sudah ditunggu banyak warga, termasuk kepala dusun maupun RT/RW.

"Alhamdulillah kami disarankan menikah," kata Mbah Kiman.

Persiapan pernikahan dilakukan keluarga dan masyarakat. Ijab kabul dilangsungkan di KUA Semin, disaksikan tetangga dan keluarga masing-masing pihak. Dengan mas kawin uang tunai Rp150.000 di hadapan banyak orang, keduanya dinyatakan sah menjadi pasangan resmi.

Meski demikian, surat-surat atau dokumen pernikahan masih dalam proses. Usai menikah, Mbah Kiman bertutur bahwa tujuan pernikahannya adalah agar memudahkan saling tolong-menolong dalam menjalani sisa hidup.

Sementara itu, Kasi Pelayanan Desa Bendung Sukirno membenarkan pernikahan kakek nenek ini. Namun karena tak ada keluarga inti yang bisa menjadi wali, maka secara keseluruhan dipasrahkan pada wali hakim yang ada.

"Warga juga mendukung sepenuhnya pernikahan ini. Daripada kisah cinta kakek nenek ini tak sah secara agama," kata Sukirno.

 

 

 

Cinta Adalah Dukungan Semesta

dukutan
Hangno Hartono, pelaku dan peneliti budaya Jawa dari Yayasan Cahaya Nusantara (foto: Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Peneliti budaya Jawa dari Yayasan Cahaya Nusantara (YANTRA) Yogyakarta, Hangno Hartono menyebutkan bahwa peristiwa cinta kakek nenek dari Gunungkidul itu memperkuat adanya pengaruh semesta dalam budaya Jawa. Menurutnya, masyarakat Jawa sangat menghormati semesta sehingga lembaga pernikahan harus dilandasi cinta.

"Meskipun cinta itu datang karena terbiasa, namun itu tetap menjadi dasar. Pernikahan bukan urusan seksual semata. Ada makna transenden, sebagai bentuk syukur atas anugerah cinta itu," kata Hangno.

Perlakuan warga kepada pasangan kakek nenek itu juga mencerminkan pelaksanaan ajaran Jawa. Hangno menyitir ajaran RM Sosrokartono, kakak kandung RA Kartini, yang mengajarkan "menang tanpa ngasorake" atau menang tanpa harus mengalahkan.

"Sikap warga adalah sebuah kemenangan karena mbah Kiman yang jatuh cinta tak dipermalukan, namun malah dibantu mewujudkan keinginannya untuk menikah. Dalam hal ini, baik warga maupun pasangan itu sama-sama tak merasa menang atau kalah," kata Hangno.

Prinsip dasar ajaran Jawa adalah harmoni, selaras. Pun dalam bermasyarakat.

Psikolog dari Rumah Sakit Elisabeth Semarang, Probowatie Tjondronegoro juga menyebutkan bahwa cinta asmara tak memandang usia. Namun lebih dari itu, asmara yang sehat akan bermuara pada kasih.

"Mungkin saja awal ketertarikan sebatas rasa nyaman, namun lama-lama akan bertumbuh saling berbagi kasih, saling menolong, dan saling mengisi kekosongan hidup," kata Probowatie.Probowatie Tjondronegoro : Naluri untuk mengeksplore diri ABG itu mendapat katalisator yang salah.(foto : Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)Tak ada suatu yang menyimpang pada cinta. Semua manusia memiliki hak dan anugerah untuk mencintai dan dicintai.

"Mungkin saja mereka sudah tak menginginkan seks sebagai motivasi berumahtangga. Tapi lebih kepada saling membutuhkan sebagai manusia," kata Probowatie.

 

Karakter Manusia Gunung

eko tunas
Sastrawan, budaywan, monologer Eko Tunas. (foto: Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

Eko Tunas, budayawan Semarang pernah menyebutkan bahwa secara antropologis, masyarakat Jawa bisa dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama adalah masyarakat yang tinggal di pegunungan atau gunung.

"Karena medan di lokasi ini sulit, masyarakatnya menjadi terbiasa saling membantu. Gotong royong," kata Eko Tunas.

Kedua adalah masyarakat tengahan, atau yang tinggal di daerah landai dan jauh dari laut. Lahan pertanian subur, infrastruktur mudah. Masyarakat jenis ini pola hidupnya suka berpesta. Pesta itu kemudian diwujudkan dalam bentuk slametan, syukuran, dan sejenisnya.

Yang ketiga adalah masyarakat yang tinggal di pesisir. Karena untuk mempertahankan hidup harus bertaruh nyawa menerjang ombak di laut, maka kecenderungan masyarakat ini menjadi mudah tersinggung.

Dari paparan Eko Tunas itu, jelaslah bahwa mbah Kiman dan mbah Sutinah saling mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan karena ada kebutuhan bergotongroyong.

Kisah asmara mbah Kiman-mbah Sutinah menjadi penegas bahwa "seindah apapun kalimat cinta, akan berakhir sia-sia jika tak berbuat apa-apa."

Simak video pilihan berikut:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya