Misteri Situ Sarkanjut dan Mitos Kejantanan Bagi Pria

Bagi sebagian warga Dungusiku, situ Sarkanjut adalah simbol mitos kejantanan bagi kaum adam.

oleh Jayadi Supriadin diperbarui 08 Jul 2019, 07:01 WIB
Diterbitkan 08 Jul 2019, 07:01 WIB
Sebuah plang penunjuk masuk ke area kawasan wisata alam Situ Sarkanjut, Lewigoong, Garut, Jawa Barat
Sebuah plang penunjuk masuk ke area kawasan wisata alam Situ Sarkanjut, Lewigoong, Garut, Jawa Barat (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Garut Dibanding dengan nama kawasan wisata alam lainnya yang dikenal indah, nama area wisata ini terbilang nyeleneh. Situ Sarkanjut. Demikian warga, Desa Dungusiku, Kecamatan Leuwigoong, Garut, Jawa Barat, biasa menyebut tempat yang satu ini.

Kanjut dalam dialektika bahasa sunda, berarti penis atau alat kelamin pria yang identik dengan kejantanan. Pun demikian nama situ atau danau yang satu ini, konon erat hubungannya dengan keberuntungan yang disebabkan salah satu barang milik bangsa Adam itu.

Aki Ohon (100), keturunan ke delapan pemuka adat yang masih hidup di kampung Dungusiku mengatakan, sejak dulu keberadaan kampung dungusiku identik dengan kemalasan.

“Dungu itu tidak mendengar, siku itu merupakan sikutan tangan, jadi kalau mau didengar harus disikut dulu,” ujar dia, dalam obrolannya dengan Liputan6.com, Minggu (7/7/2019).

Untuk mengingatkan masyarakat di kawasan itu ujar dia, mesti menggunakan cara yang keras dengan menggunakan sikut tangan mengenai kepala atau anggota tubuh lainnya, hingga akhirnya sadar, melaksanakan kewajiban.

“Hare-hare wae (atuh tak acuh) jika tidak ada yang mengingatkan, apapun himbauan dan peringatan yang diberikan pemerintah,” kata dia.

Namun seiring bergulirnya waktu, dan meningkatnya kesadaran warga, anggapan itu kini sudah sirna. Warga nampak lebih bersemangat dalam bekerja. “Mereka juga ingin berubah (nasib), salah satunya dengan berusaha,” kata dia.

Menurutnya keberadaan wisata alam situ Sarkanjut sudah berlangsung lama. Konon terbentuknya situ itu merupakan salah satu permintaan Nabi Adam untuk menjaga pasokan air saat itu.

Nabi adam bambu hawa, cai budahan, batu masih bareye (Nabi adam pendamping buat Siti Hawa, ada air yang berbuih saat tanah masih lembek),” kata dia mengingat cerita dari leluhurnya tempo dulu. 

Tak ayal meskipun debit airnya cukup besar, tidak ditemukan adanya saluran irigasi yang mengalir ke sana. “Sebagian besar masih menggantungkan sumber air dari pasokan hujan,” kata dia.

Bahkan saat penjajahan Belanda berlangsung, kawasan wisata alam situ Sarkanjut kerap digunakan para utusan meneer, sebagai salah satu depot pasokan air dalam mengairi pertanian warga sekitar.

“Walaupun tentu diambil dengan alat seadanya, bukan menggunakan jetpam seperti saat ini,” kata pria kelahiran tahu 1919 tersebut.

 

 

Area Wisata dan Mancing Mania

Dua warga sekitar, nampak asik melakukan mancing di area Situ Sarkanjut, Leuwigoong, Garut, Jawa Barat
Dua warga sekitar, nampak asik melakukan mancing di area Situ Sarkanjut, Leuwigoong, Garut, Jawa Barat (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Namun apapun cerita itu, keberadaan wisata alam situ seluas lima hektar memang berkah tersendiri bagi warga sekitar. “Paling banyak digunakan memancing warga, sebab jika dipakai wisata belum ada fasilitasnya,” ujar Rudi Sutisna, (49), salah satu pemancing asal kampung sekitar.

Dalam kesehariannya, situ dengan kedalaman hingga enam meter tersebut, kerap dijadikan mata pencaharian warga sekitar, seiring melimpahnya ikan di sana.

“Bahkan ada yang sengaja datang dari Bandung hanya untuk mancing di sini,” kata dia.

Mereka sengaja menepi di sana untuk menghasilkan ikan sebanyak mungkin, tanpa ada hitungan yang ditetapkan pengelola. “Kecuali warga luar, biasanya bayar Rp 30 ribu sepuasnya seharian,” kata dia.

Selama di sana, mereka bisa berekspresi sesuka hati menggunakan umpan ikan yang bisa menarik ikan sebanyak mungkin.

“Saya kadang cukup pakai cacing atau lumut, kalau yang punya modal ya pakai umpan mahal,” ujar Karyaman, (38), pemancing lainnya asal Babakan Citimun.

Besarnya air di sana, membuat ikan tumbuh subur berkembang biak, sebut saja ikan mas, nila, gabus, lele hingga mujair, paling banyak berhasil dipancing mereka.

“Memang setiap tahun pemerintah juga selalu menabur ratusan ribu ekor ikan di sini buat warga,” kata dia.

Namun meskipun demikian, ada pula masyarakat sekitar yang menggunakan fasilitas situ untuk kebutuhan bersiwasata. “Paling banyak ya buat botram (makan bersama-sama), kalau yang lainnya jarang,” ujar Rudi.

Minimnya fasilitas membuat warga enggan berlama-lama beriwisata di sana. “Rencannya mulai tahun ini akan dicoba beberapa rakit untuk wisata air,” kata dia.

Untuk menjaga kelestarian lingkungan, masyarakat sekitar selalu menjaga kebersihan situ Sarkanjut, salah satunya dengan tidak membuang sampah sembarangan.

“Jangan pula menggunakan pukat, nanti ikannya habis, kalau dipancing silahkan,” kata dia.

Bahkan saat musim kemarau datang, tak jarang keberadaan air wisata alam situ, kerap menjadi acuan warga untuk mengairi lahan pertanian mereka.

“Paling banyak di sini untuk area tanaman padi, sayuran seperti tomat dan jagung,” ujar Rudi.

 

 

Sejarah Sarkanjut

Nampak sebuah bangunan di samping Situ Sarkanjut sebagai tempat peristirahatan para pemancing yang mencari ikan di kawasan situ
Nampak sebuah bangunan di samping Situ Sarkanjut sebagai tempat peristirahatan para pemancing yang mencari ikan di kawasan situ (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Awal mula penamaan wisata alam sarkanjut ujar dia, berasal dari kepercayaan masyarakat sekitar, terhadap kekuatan magis, barang berharga kaum adam itu.

“Abah sendiri asal muasalanya tidak tahu, tetapi warga di sini percaya hal itu hingga kini,” kata dia.

Saat itu, salah satu tokoh warga yang tengah menghadapi hebatnya pertempuran dengan penjajah Belanda, mendapatkan bisikan gaib untuk memegang kemaluan hingga tiga kali agar selamat, termasuk seluruh warga kampung.

“Sasar atau urut kanjut (memegang dan mengurut penis), dan benar yang melakukan satu orang, seluruh kampung ini selamat tanpa ada yang tertangkap bahkan terbunuh penjajah,” kata dia.

Bahkan dalam beberapa kegiatan keseharian warga, seperti memanjat pohon, naik gunung, bepergian jauh ke luar kota atau menghadapi situasi sulit, sebagian masyarakat masih percaya dengan ritual itu.

“Nah yang naik pohon tinggi biasanya sudah tahu itu (memegang dulu kemaluan tiga kali),” kata dia sambil tertawa memberikan ilustrasinya.

Bahkan anak tertua dari mediang Abah Manta yang berusia 130 tahun (meninggal 1982), mengaku pernah mengalami sendiri peristiwa nahas, saat mendapatkan razia ketat gabungan aparat TNI, ketika gerakan pemberontakan G/30/S/PKI berkecambuk.

Saat itu dirinya yang ditugaskan membawa tiga truk rombongan pegawai tukang bangunan untuk bekerja di Jakarta, mendapatkan hadangan razia aparat tanpa satu orang pun yang membawa identitas kartu tanda penduduk (KTP).

“Saya inget petuah ayah, saya pegang itu (kemaluan) tiga kali, sambil baca doa, akhirnya selamat semua, bahkan kami diberi uang jajan oleh petugas,” ujar dia mengenang salah satu kejadian unik yang pernah dialaminya.

Sejak peristiwa itu, serta rentetan peristiwa lainnya, warga kampung Dungsiku pun tak jarang masih memegang kepercayaan itu hingga kini.

“Tapi bagi generasi muda tentu gak, mereka mau malu lah,” ujar dia sambil tersenyum.

Tidak hanya itu, seiring terkenalnya kebiasaan warga Desa Dungusiku terhadap ritual nyeleneh itu, beberapa kampung di sekitarnya bahkan ikut menamai daerahnya, dengan sebutan lain yang hampir menyerupai.

“Kalau di sini ada sarkanyut, di kampung samping itu ada sarbaok termasuk sarkacang,” kata dia sambil tertawa lebar.

Namun dengan pertimbangan norma dan etika kesopanan, akhirnya kedua kampung di sekitar Sarkanjut, kembali mengubah nama daerah.

“Yang Sarbaok sekarang diganti dengan Desa Kalangsari, masuknya kecamatan Leles, kalau Sarkacang berganti nama dengan Sindang Sari, Desa Batugede, masuknya Kecamatan Kadungora,” papar dia.

Menurut Ohon, kepercayaan memegang alat kelamin saat menghadapi situasi genting, memang bukan keharusan bahkan menjadi keyakinan pribadi. Namun hal itu, semata-mata melangsungkan kebudayaan masyarakat terdahulu.

“Patokan utama tentu Alloh SWT sebagai Tuhan, jangan sampai disalah-gunakan apalagi menjadi olok-olokan,” pinta dia.

Ia berharap, keyakinan beribadah kepada sang Khalik, harus menjadi sandaran utama dalam segala kegiatan. “Namanya juga kebudayaan, percaya silahkan tidak juga tidak masalah, tapi memang faktanya sejak dulu warga di sini begitu,” kata dia.

 

 

Misteri Eyang Sura dan Gaong

Dua makam eyang Sura dan Gaong yang bersemayam di samping Situ Sarkanjut, Leuwigoong, Garut, Jawa Barat
Dua makam eyang Sura dan Gaong yang bersemayam di samping Situ Sarkanjut, Leuwigoong, Garut, Jawa Barat (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Bagi sebagian masyarakat Desa Dungsiku, penamaan kawasan wisata alam Sarkanjut tidaklah aneh, terlebih kebiasaan masyarakat sekitar, yang sejak lama dikenal malas dan kerap melakukan aduan sabung ayam.

Bahkan kebiasaan pamer kesaktian melalui kegiatan adu ayam tersebut, menyebabkan ritual pegang penis kerap digunakan.

“Mereka percaya dengan cara seperti itu ayamnya kuat dan sakti,” kata dia.

Banyaknya warga yang memiliki ilmu kesaktian, membuat sebagian masyarakat khawatir, sebab dalam prakteknya kerap digunakan dalam hal tidak baik.

“Aneh-aneh lah, tidak perlu saya sebutkan,” kata dia menutup rapat kejadian aneh yang disebabkan adu kesaktian.

Ditengah kegundahan warga, akhirnya datang eyang Sura dan Gaong, yang merupakan utusan syeh Syarif Hidayatulloh, dari Cirebon, untuk memberikan ketenangan.

“Seluruh jawara (jagoan) di sini takluk hingga akhirnya masuk islam,” kata dia.

Dalam pesannya, kedua orang utusan dari pesisir pantai utara Jawa tersebut, meminta warga sekitar untuk hidup akur bermasyarakat, dan selalu mengingat dan bersyukur atas kebesaran Tuhan yang maha kuasa.

“Pokonya jika masih ada yang bandel, bakal ada cobaan musibah yang datang,” kata dia mengingatkan.

Untuk mengenang jasa kedua tokoh itu, jasadnya kemudian disemayangkan dekat situ Sarkanjut, persis dibeberapa pohon besar yang memayunginya. “Kedua makam itu termasuk keramat dan dihormati,” kata dia.

 

 

Pantangan Bagi Warga

Beberapa bangunan terlihat menghadap ke arah timur di sekitar situ Sarkanjut, Leuwigoong, Garut, Jawa Barat
Beberapa bangunan terlihat menghadap ke arah timur di sekitar situ Sarkanjut, Leuwigoong, Garut, Jawa Barat (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Peristiwa kekalahan seluruh jagoan ilmu kesaktian di Desa Dungsiku, membuat warga kawasan wisata alam sekitar, lebih tertib dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat.

“Geus disapih ulah gelut wae jeung babaturan (sudah disumpahi agar jangan bertengkar dengan sesama teman,” kata dia. 

Bahkan sebagian bentuk peringatan bagi warga sekitar untuk tidak mengulangi adu tarung, dilarang mendirikan bangunan menghadap ke arah Utara dan Barat.

“Di bumi bagean kaler sareng kulon, loba lolongkrang jeung larangan (di bumi bagian utara dan barat, banyak pantangan dan musibah),” kata dia mengenang petuah dari leluhurnya.

Tak mengherankan, saat ini sebagian rumah di desa Dungusiku mayoritas menghadap ke arah timur dan selata, menghindari adanya pantangan tersebut.

“Pernah ada yang sengaja melanggar menghadap ke arah barat, banyak sekali cobaannya,” kata dia.

Namun meskipun demikian, bagi sebagian masyarakat yang belum mengetahui sejarah Desa Dungusiku, banyak yang mendirikan bangunan menghadap ke arah Barat dan Utara.

“Intinya mereka tidak percaya, kalau yang masih percaya mereka tidak mau (mendirikan bangunan kea rah barat dan utara),” kata dia.

Selain itu, khusus bagi warga sekitar yang berencana mencari ikan atau berwisata, diminta untuk tidak melakukan aktifitas di sekitar wisata alam Situ Sarkanjut, pada hari Rabu. "Tapi sekarang banyak dilanggar, jadi sudah biasa saja setiap hari," kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya