Liputan6.com, Aceh - Anisa (26) berasal dari Dusun Krueng Tuan, Desa Alue Dua, Kecamatan Nisam Antara, Kabupaten Aceh Utara. Pada November 2017 lalu dara ini merantau sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan menjadi pembantu rumah tangga di negeri jiran.
Niatnya untuk membiayai hidup adik-adiknya di kampung setelah sang ayah berpulang. Tiga bulan kemudian, ia sempat mengirimi uang Rp1,5 juta, setelah itu, keluarga tak pernah lagi mendengar kabarnya.
Pada Jumat malam, 19 Juli lalu, sebuah nomor berkode negara Malaysia tersambung ke telepon genggam salah seorang keluarga di Aceh. Kabar tak sedap pun terbetik dari seberang telepon.
Advertisement
"Sebenarnya ditelepon setelah Jumat, namun tidak saya angkat. Malam baru saya lihat ada nomor seberang menelepon. Yang jawab orang yang tolong dia pertama kali," tutur kakak ipar Anisa, Jefri (35), kepada Liputan6.com, Rabu malam (24/7/2019).
Anisa terisak, suaranya terdengar sengau. Dari seberang sana ia bertutur tentang penyiksaan yang tengah menimpanya sembari megap-megap.
Dalam sebuah video yang diperlihatkan ke tim Liputan6.com, tampak sekujur punggung Anisa berparut. Terdapat luka lepuh pada lengan dan kakinya, sementara di kepala penuh bercak dan lebam, serta beberapa gigi bagian atas tanggal.
Ia disiram dengan air panas, ditonjok, dan dipukul dengan kayu di bagian kepala. Semua dilakukan apabila majikannya itu tak berkenan atau kesal hati dengan hasil kerjaan Anisa.
Perlakuan tak manusiawi didapatnya hampir setiap hari. Ia juga mengaku kerap menjadi objek pelampiasan amarah kala kedua majikannya sedang bertengkar.
Komunikasinya dengan dunia luar pun terputus sama sekali. Sementara upahnya selama bekerja cuma diberi sekali saja.
"Tak bisa dihubungi karena teleponnya dirampas majikan. Makanya dia tak bisa beri kabar," ujar Jefri.
Â
Sempat Dibawa ke Kantor Polisi
Suatu hari Anisa kabur. Ia bersembunyi dan tidur di atas pohon pada malam hari, lalu melanjutkan pelarian pada siang hari.
Malam itu dengan kondisi gelayaran dia meminta tolong kepada seseorang berkebangsaan India. Ia terpaksa turun dari persembunyian karena lapar dan kehausan.
Orang yang menolongnya berinisiatif membawa Anisa ke kantor polisi. Apa lacur, kedatangan mereka ke kantor polisi malah membawanya kembali ke tangan sang majikan.
"Di bawa ke situ, kembali lagi lah ke majikannya," ucap Jefri.
Anisa bekerja pada Puan Salmi Binti Ar-Rahman Puan Nizam di Kota Rawang, negara bagian Selangor Darul Ehsan, di utara Kuala Lumpur. Infonya, kedua majikan Anisa merupakan oknum anggota dan petinggi kepolisian setempat.
"Majikannya kepala polisi. Pas diantar lagi ke majikannya, lebih parah lagi lah ia disiksa," kata Jefri.
Lama berselang setelah itu, tiba-tiba majikannya menjanjikan akan memulangkan Anisa ke kampung halaman. Anisa diinapkan ke salah satu hotel kawasan Kajang melalui jasa seseorang yang dikenal sebagai 'datok' pada Kamis, 18 Juli 2019.
Anisa dibohongi. Dalih diinapkan di hotel kiranya hanya modus majikan 'durjana' untuk membuangnya, karena ia tak kunjung dijemput hingga waktu yang telah dijanjikan.
"Waktu itu memang dibawa ke hotel. Dijanjikan dibawa pulang ke Aceh. Dibilang jam 5 dijemput. Dibayar sewa hotel cuma satu malam. Siang tidak dijemput sampai sore. Pihak hotel kan harus bayar, tidak mau tahu," katanya.
Di tengah kelinglungannya, Anisa bertemu dan tertolong oleh sesama buruh migran berkewarganegaraan Indonesia asal Pulau Jawa. Dari situlah penyiksaan yang dialami Anisa terbeberkan ke publik.
Beberapa warga Aceh yang berdomisili di Malaysia terlibat dalam mendorong kasus ini hingga terdengar ke telinga KBRI Kuala Lumpur (KL). Anisa kini menginap di rumah perlindungan di bawah otoritas kedutaan.
Menurut salah seorang warga Aceh yang ikut mendampingi, Mukhtar Abdullah, kasus ini mulai ditangani oleh KBRI KL sejak Senin, 22 Juli lalu. Anisa sebelumnya sempat menginap di rumah sepupunya di Ampang, Selangor.
"Anisa sewaktu berada di hotel diambil oleh perempuan Jawa dibawa balik ke rumah dia, kemudian di upload ke Facebook di situlah saya tahu akhirnya saya pergi ke rumah kakak Jawa itu," kata Mukhtar, kepada Liputan6.com, Rabu malam (24/7/2019).
Â
Advertisement
Meminta Keadilan
Kepala Dinas Sosial Provinsi Aceh, Alhudri mengatakan, pemerintah Aceh terus melakukan komunikasi dengan KBRI KL. Termasuk mengurus hal-hal yang dibutuhkan Anisa dalam penanganan kasus ini.
"Kita sudah intens dengan orang KBRI. Berkomunikasi terus. Kemarin juga sudah kita w.a-kan paspornya ke sana. Diminta dari sini," kata Alhudri, kepada Liputan6.com, Rabu malam (24/7/2019).
Alhudri berharap keadilan ditegakkan. Pemberlakuan hukuman terhadap pelaku serta pemenuhan hak terhadap penyintas akan didorong pemerintah Aceh via KBRI KL.
"Kita dorong melalui ke KBRI. Karena enggak benar itu. Kita mana terima itu. Perkara umpamanya soal beliau (Anisa) itu masuknya ke sana, itu urusan lain," tegas Alhudri.
Perkara pemberlakuan hukuman ini juga digarisbawahi oleh Jefri. Ia ingin adik iparnya itu mendapat keadilan, seadil-adilnya.
"Bagaimana cara harus lepas dan segera pulang. Bagaimana ia pergi, sehat, pulang juga mesti sehat. Jangan sampai cacat seumur hidup, nanti sama orang saja jadi takut nanti ketemu. Apalagi dia perempuan," pintanya.
Â
Problem Buruh Migran di Negeri Jiran
Berdasarkan rekaman Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), pada 2014-2015, terdapat 321 kasus buruh migran, dan Malaysia menempati urutan pertama sebagai negara paling sarat.
Pada 2016-2017 terdapat lonjakan 1.501 kasus dengan urutan kasus terbanyak Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Arab Saudi. Pada Januari-Maret 2018, serikat ini menangani sekitar 800 kasus, di mana Malaysia masih menempati urutan tertinggi.
Sebagian besar kasus yang dialami seperti gaji tidak di bayar, PHK sepihak, perdagangan orang, overcharging, kekerasan fisik/cacat permanen, pelecehan seksual dan masih banyak kasus-kasus lainnya.
Perempuan buruh migran sampai saat ini masih berada pada posisi paling rentan. Di balik itu, yang paling mendapat imbas adalah para tenaga kerja khususnya wanita yang masuk ke Malaysia via jalur nonprosedural.
Data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) 2018 menyebut bahwa terdapat 2,7 juta warga Indonesia dan hampir separuhnya merupakan buruh migran nonprosedural atau tanpa dokumen di Malaysia.
Kondisi ini kian sengkarut ketika yang bersangkutan terjerat masalah. Saat itulah pemerintah diuji sejauh mana responbilitas terhadap warga negaranya.
"Jalur yang dipakai Anisa itu mungkin ilegal. Tapi dia itu ke sana mau kerja. Ini soal hak asasi. Hak hidup, ekonomi, dan hak bebas dari perbudakan. Negara ini meratifikasi dua kovenan, dan mengakui poin DUHAM. Tegakkan hukum. Tolong korban, dan jebloskan pelaku," kata warga Aceh Barat, Nursabelah.
Â
Simak juga video pilihan berikut ini:
Advertisement