Liputan6.com, Magelang - Ini tentang nasionalisme dan penyikapan pada perubahan zaman. Ketika sawah tak dianggap tempat produksi pangan dan hanya menjelma sebagai tempat eksotis di foto-foto media sosial. Peringatan HUT Kemerdekaan akhirnya menjadi ekspresi pengingat diri.
Adalah para petani di dusun Sudimoro, Desa Gondang, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Mereka adalah warga yang melek media sosial berbagai platform. Namun, tak ingin lepas pergaulan dengan lumpur sawah. Jadilah sebuah upacara bendera memperingati HUT Kemerdekaan di tengah sawah.
Wahyu, Kepala Desa Gondang bercerita bahwa upacara bendera HUT Kemerdekaan ini digelar bukan untuk sensasi. Namun memiliki tujuan agar warga desa tetap memiliki kebanggaan sebagai petani. Wahyu mengaku prihatin karena secara umum kaum muda, sudah jarang mau terjun ke sawah.
Advertisement
Baca Juga
"Ada fenomena bahwa sawah yang menghijau dan padi yang menguning akan berhenti menjadi sebuah spot potret diri saja. Saat sedang diolah atau habis panen, dianggap tidak Instagramable," kata Wahyu.
Upacara bendera di tengah sawah, menawarkan interaksi fisik kulit tubuh dengan tekstur lumpur. Jalannya upacara bendera sebenarnya biasa saja. Disampaikan dalam bahasa nasional, kecuali saat amanat pembina upacara. Wahyu sebagai pembina upacara menggunakan bahasa campuran agar mudah dipahami.
"Nasionalisme dengan kearifan lokal. Lebih praktikal," kata Wahyu.
Ketika hendak mengibarkan bendera, tiga petugas terlihat tak canggung berbaris di dalam lumpur. Meski tak seluruhnya berprofesi sebagai petani, tetapi keseharian mereka sudah akrab dengan sawah dan lumpur.
"Kesulitannya ya baris berbaris tidak bisa sempurna seperti di daratan. Tapi niat kami tulus, termasuk menjaga agar bendera tidak terciprat lumpur. Nasionalisme kami tak tanggung-tanggung. Hanya ini yang bisa kami lakukan untuk HUT Kemerdekaan," kata Wahyu.
Â
FoMO, Apa Itu?
Para peserta upacara seluruhnya berada dalam lumpur. Mereka adalah warga dan seluruh ketua RT di desa Gondang. Keseharian mereka tak seluruhnya berprofesi sebagai petani. Namun, lingkungan tempat tinggal mereka memang berada di persawahan. Secara tak langsung kondisi ini mengakrabkan warga dengan tradisi petani.
"Ini hanya sebuah pesan bahwa jadi petani juga harus menjaga nasionalisme. Nasionalisme petani adalah meningkatkan produktivitas sehingga Indonesia tak perlu impor bahan pangan," kata Wahyu.
Wahyu berharap pada masa mendatang anak-anak muda kembali tertarik pada dunia pertanian. Mereka tetap menjadi petani meskipun petani modern dengan manajemen yang lebih modern.
Sawah memang identik dengan petani dan secara fotografis sangat menarik sebagai spot foto. Namun fungsi sawah harus dikembalikan sebagai tempat produksi pangan, bukan sebagai tempat sekadar berfoto-foto. Warga Indonesia kekinian ibaratnya sudah terkena sindrom FoMO.
Sindrom FoMO (Fear of Missing Out). FoMO adalah sebuah gejala psikologis takut ketinggalan berita terbaru. Istilah zaman now "takut enggak update".
FoMO dianggap salah satu penyakit bagi para pengila medsos. Hal ini disimpulkan dari hasil studi yang dilakukan pada Februari-Mei 2017 oleh RSPH (Royal Society of Public Health), yaitu sebuah lembaga independen untuk kesehatan masyarakat di Britania Raya, Inggris.
Simak video pilihan berikut:
Â
Â
Advertisement