Bagaimana Status Jakarta Setelah Ada Ibu Kota Baru?

Status Jakarta setelah ada ibu kota baru tergantung dari para pembentuk Undang-Undang.

oleh Liputan Enam diperbarui 04 Sep 2019, 00:31 WIB
Diterbitkan 04 Sep 2019, 00:31 WIB
Desain Ibu Kota Baru
Desain Ibu Kota Baru di Kalimantan. (Liputan6.com/ Istimewa)

 

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah sudah memastikan rencana pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta ke wilayah  yang bersinggungan dengan Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Bagaimana status Jakarta setelah ada ibu kota baru?

Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid mengatakan bahwa dari sisi ilmu hukum tata negara, perubahan iu kota ke kota lain tak otomatis mengubah kekhususan Jakarta. Status nantinya, tergantung pilihan politik hukum dari para pembentuk Undang-Undang.

“Artinya bisa saja tetap itu diberikan status khusus dalam bentuk lain, misalnya terkait alasan-alasan historis sebagai bekas ibu kota,” jelasnya dalam keterangan tertulis.

Bisa juga alasan-alasan khusus lainnya yang secara faktual dapat diterima sebagai ‘legal reasoning’ bahwa Jakarta diberikan status khusus oleh undang-undang, dan secara hukum tata negara dapat diterima.

“Jadi itu tergantung politik hukum pembentuk undang,” katanya.

Argumen hukum itu, dia menjelaskan, dapat merujuk pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.

Sehingga selama memiliki status khusus atau istimewa berdasarkan Undang-Undang, secara konstitusional Jakarta bisa jadi tidak akan mengalami banyak perubahan dalam pengelolaan Pemerintahan Daerah.

Fachri menjelaskan, hal tersebut dapat dibandingkan dengan keistimewaan Yogyakarta dan Aceh karena pertimbangan sejarahnya. Sehingga secara teoritik, kata dia, Jakarta layak tetap menyandang status khusus atau istimewa sebagai bekas ibu kota RI.

Dalam konstitusi, setidaknya ada dua pasal yang menyinggung tentang ibu kota. Hal tersebut terdapat pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, “MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara”.

Kemudian, ketentuan Pasal 23G ayat (1) yang menegaskan bahwa, “BPK berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi”. Ketentuan senada ditemukan dalam beberapa Undang-Undang, yang mengharuskan lembaga tertentu berkedudukan di ibu kota negara.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya