Liputan6.com, Banyumas - Rumah bercat putih berlapis keramik biru tua di Patikraja, Banyumas itu tampak sepi. Dedaunan di pelataran rumah menandakan rumah ini tak terurus untuk beberapa lama.
Jika pintu pagar tak terbuka siapa pun akan mengira ini rumah kosong. Satu sepeda motor terparkir, sedikit tersembunyi di balik tembok rumah samping.
Siapa mengira, rumah yang sudah berdesain sedikit modern ini, dulunya adalah rumah tempat pertemuan bersejarah Ibrahim Datuk Sutan Malaka atau Tan Malaka dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Advertisement
Baca Juga
Tentu saja, rumah ini sudah kehilangan bentuk aslinya. Pemugaran sudah mengikuti arsitektur semi-modern, yang begitu populer pada era 1990-an. Rumah Limas Jawa, dengan pilar beton cetakan pabrik.
Seorang anak muda, menyambut kedatangan kami. Namanya, Cahyo. Lengkapnya Cahyo Muhammad Gusti, cucu lelaki Slamet Gandha Wijaya, kawan Tan Malaka, yang juga seorang pejuang kemerdekaan dan aktivis terpelajar asli Banyumas.
Ia tinggal di rumah ini dengan ibunya, Sri Astuti, yang hari itu mesti beristirahat di tempat tidur. Gula darah menyebabkan anak menantu Gandha Wijaya ini opname di rumah sakit selama enam hari.
"Baru pulang kemarin. Saya tidak masuk sekolah. Menunggui ibu di rumah sakit sama di rumah," Cahyo menjelaskan, Senin, 9 September 2019.
Dari penuturan ibu dan paman-pamannya, ia tahu rumah ini menyimpan sejarah dua pahlawan nasional, Tan Malaka dan Jenderal Soedirman. Eyang kakungnya, Gandha Wijaya, adalah orang ketiga dalam pertemuan itu.
Penuturan Pemilik Meja dan Peti Bersejarah
Namun, ia tak mengetahui perihal apa pertemuan yang dilakukan ketika jabang bayi Republik Indonesia baru lahir. Baginya, meja, kursi, dan peti yang tersimpan di rumahnya sudah cukup memberi kebanggaan, bahwa eyangnya berkawan dengan orang-orang besar.
Meja itu ditutup dengan semacam sprei pelindung. Keluarga ini memang sangat menjaga peninggalan moyangnya. Terlebih, meja dan kursi ini masih asli dan tak pernah diubah atau diperbaiki.
Terlihat meja tinggi, luas dan berkaki ramping. Warnanya yang cokelat tua menunjukkan pilihan kayu yang begitu berkualitas tinggi. Maklum, semasa hidup Gandha Wijaya, selain seorang aktivias kemerdekaan juga merupakan pengusaha furnitur yang sukses.
Tentu saja Gandha Wijaya paham kayu berkualitas yang di kemudian hari, menyimpan cerita bersejarah. Pertemuan dua pahlawan nasional Indonesia dilakukan di sini, untuk mempersiapkan sebuah pertemuan, semacam resolusi yang dilakukan di Purwokerto.
"Masih asli. Tidak pernah dicat ulang,” dia menjelaskan.
Sri Astuti tampak antusias menyambut kedatangan kami. Namun, ia tak bisa menyembunyikan bahwa kondisi tubuhnya masih lemah. Ia menerima kami di kamarnya, yang konon juga menjadi kamar penginapan Tan Malaka selama dua hari.
Sri Astuti membenarkan rumahnya sempat dipakai untuk pertemuan antara Tan Malaka, Jenderal Soedirman, dan ayah mertuanya, Slamet Gandha Wijaya. Di rumahnya juga tersimpam peti tua yang sempat digunakan Tan Malaka dan Jenderal Soedirman untuk menyimpan pakaian dan bekal lainnya, misalnya buku.
Advertisement
Meja dan Peti Bersejarah Ditawar Kolektor
"Peti ini juga sempat dibawa bapak saat dibuang ke Digoel," kata Sri Astuti.
Informasi yang diperolehnya, mereka bertiga bertemu selama dua hari dua malam, nyaris tanpa berhenti. Namun, dia mengatakan tidak tahu pasti kapan ketiga orang ini bertemu. Yang jelas pertemuan itu dalam rangka mempertahankan kemerdekaan RI.
"Ya, betul. Antara Jenderal Soedirman dan Tan Malaka. Ya, dua hari. Dua hari menginap di sini. Ya, sempat itu, ngobrol itu katanya. Nggak selesai-selesai itu ngobrolnya," dia menerangkan.
Dia mengungkapkan, sebelumnya juga ada sejumlah orang yang datang ke rumahnya untuk mendata meja, kursi, hingga petinya. Bahkan, sudah ada beberapa orang yang hendak membeli meja, kursi, dan peti bersejarah ini.
Sri menolaknya. Ia menegaskan akan menjaga benda-benda bersejarah itu, terkecuali jika negara membutuhkan. Itu pun harus dimusyawarahkan dengan adik iparnya, yang juga anak kandung Slamet Gandha Wijaya.
"Ada orang yang pernah mengecek ke saya. Itu katanya, 'Bu ini (meja, kursi dan peti) saya beli', saya jawab mau dibeli berapa juta enggak akan saya jual," dia menegaskan.
Penjelasan Direktur Tan Malaka Institute
Sementara, Direktur Tan Malaka Institute, Khotibal Umam Wiranu mengatakan, pertemuan antara Tan Malaka, Jenderal Soedirman, dan Slamet Gandha Wijaya dilakukan dalam rangka persiapan pertemuan Persatoean Perjoeangan di Purwokerto, 1946.
Slamet Gandha, kata dia, adalah Ketua Pengurus Partai Murba Cabang Purwokerto, Banyumas. Tan Malaka adalah karib Gandha Wijaya. Keduanya bertemu di Harlem, Belanda. Keduanya menuntut ilmu di negeri tulip itu.
"Pertemuan ini yang pasti terlacak waktunya 1-2 Januari, data lainnya, 2-3 Januari 1946," kata Umam.
Saat itu, ketiga tokoh ini tengah mempersiapkan pertemuan yang dihadiri oleh 141 laskar, dalam rangka mencegah kembalinya kolonialisme Belanda. Dan ini adalah pertemuan penting di mana Tan Malaka dan Jenderal Soedirman menegaskan merdeka 100 persen, dan menolak negosiasi yang merugikan bangsa Indonesia.
"Tan Malaka berpidato paling panjang dalam sejarah pergerakan melawan kolonial, selama tiga hingga 3,5 jam di pertemuan 141 laskar di Gedug Serbaguna Depan Stasiun Purwokerto," dia menjelaskan.
Menurut dia, Slamet Gandha Wijaya sendiri adalah seorang tokoh politik. Sepulang menempuh pendidikan, Tan Malaka dan Gandha Wijaya sama-sama aktif dalam pergerakan kemerdekaan serta aktif di Partai Murba.
"Pak Gandha juga dikenal sebagai seorang pengusaha yang sukses juga. Beliau lah yang membangun masjid di pinggir jalan Patikraja," ujarnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement