Pak Guru Rasino, Berjuang dalam 'Kegelapan' Melestarikan Gamelan

Rasino merupakan guru penyandang difabel tunanetra yang setiap harinya mengajar di jurusan perdalangan SMKN 8 Surakarta. Meskipun memiliki keterbatasan, tetapi ia merupakan sarjana ISI Surakarta dan menguasai permainan semua gamelan.

oleh Fajar Abrori diperbarui 22 Nov 2019, 12:00 WIB
Diterbitkan 22 Nov 2019, 12:00 WIB
Guru Gamelan Tuna Netra
Rasino penyandang tuna netra yang menjadi guru gamelan di SMKN 8 Surakarta sedang memainkan instrumen gender.(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Liputan6.com, Solo - Kedua tangannya yang masing-masing memegang tabuh begitu lihai memainkan salah satu instrumen gamelan, gender. Walau tak bisa melihat, pria ini begitu hafal dengan nada dan ketukan nada pentatonis.

Pria ini adalah Rasino. Saat itu, Rasino sedang mengiringi siswa kelas 1 Jurusan Perdalangan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 8 Surakarta melaksanakan ujian pentas wayang kulit.

Rasino, saban harinya menjadi pendidik untuk kelas Jurusan Perdalangan SMKN 8 Surakarta. Meski statusnya masih Guru Tidak tetap (GTT), ia begitu gembira menjalani hari-harinya sebagai pendidik. Keterbatasannya sebagai penyandang difabel tunanetra tidak menyurutkan semangatnya menjalani peran sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

Perjuangan Rasino menjadi guru tak kenal lelah. Sebelum dia menjadi guru SMKN 8 Surakarta, ia pernah menjadi guru di Sasana Rehabilitasi Penyandang Cacat Netra (SCPRN) Purworejo selama delapan tahun sejak 2003 hingga 2011. Ia melakoni tugas itu karena dilandasi rasa keikhlasan hati yang begitu mulia. Padahal, jarak yang harus ditempuh Rasino lumayan jauh dari rumahnya di Ngringo, Palur, Karanganyar.

"Saya berangkat dari rumah di Palur (Karanganyar) jalan kaki ke terminal (sekitar 2 km). Lalu dari terminal ke Stasiun Balapan naik angkutan umum. Kemudian dari Balapan ke Purworejo naik kereta Prameks, " kata dia mengenang perjuangannya untuk tetap melestarikan gamelan tradisional.

Tak Keluhkan Gaji Kecil

Guru Gamelan Tuna Netra
Rasino sedang mengajar gamelan kepada para siswanya di Jurusan Perdalangan SMKN 8 Surakarta.(Liputan.com/Fajar Abrori)

Rasino tak mengajar di Purworejo setiap hari, tetapi dua kali dalam sebulan harus bolak-balik Solo-Purworejo yang berjarak sekitar 110 kilometer. Sekali mengajar di Purworejo bisa tiga hari.

Ia sengaja mengambil pekerjaan itu untuk membiayai kuliahnya di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.  Walaupun awalnya hanya digaji Rp 150 ribu per bulan, tetapi Rasino tetap bersyukur dan tidak mengeluh dengan gaji kecil itu.

"Besar kecil honor yang kita terima itu relatif. Mensyukuri semua yang diberikan Allah. Yang terpenting niatnya ikhlas," ujar Rasino.

Selama mengajar di Purworejo, Rasino harus berjibaku untuk lulus dari kuliahnya di Jurusan Karawitan ISI Surakarta. Belum lagi masalah keuangan yang menderanya. Ia menyelesaikan kuliahnya dalam waktu 11 tahun. Maklum menuntaskan kuliah adalah salah satu cita-citanya.

"Sekolah tinggi, membantu saya menempa emosi. Difabel yang bersekolah tinggi bisa memiliki kepercayaan diri. Jadi difabel itu bukan menjadi beban orang lain," kata dia.

Perjuangan Meraih Mimpi

Guru Gamelan Tuna Netra
Rasino, guru penyandang tuna netra sedang dituntun muridnya menuju ruang praktik jurusan perdalangan di SMKN 8 Surakarta.(Liputan6com/Fajar Abrori)

Rasino lahir dalam keluarga dengan kondisi ekonomi yang terbatas. Ia tunanetra sejak lahir. Oleh keluarga, ia dimasukkan di SD-LB Purworejo. Tahun 1990-1992, ia menimba ilmu di SRPCN Purworejo. Mulai dari sini lah ia mulai menggemari musik.

"Awalnya suka musik barat, ngeband gitu. Saya bisa main gitar, keyboard, bass, hingga piano. Lama senang musik modern, hati kecil berbisik, kok kalau saya senang musik ini, nanti lama-lama musik tradisional bisa hilang," kata Rasino yang lihai memainkan 15 instrumen gamelan ini.

Selepas dari SCRPN, ia melanjutkan sekolah di SMA Kretek 1 Bantul. Namun, karena kurang cocok, Rasino memilih pindah ke SMA Muhammadiyah 5 Karanganyar. Setelah lulus, Rasino pun memutuskan untuk mlenajutkan ke jenjang perguran tinggi dengan memilih kuliah di Jurusan Karawitan ISI Surakarta.

Ia pun tidak ingin pilihan jalan hidupnya itu membebankan orangtua sehingga untuk mencukupi biaya kuliahnya, dia kerja serabutan seperti menjadi tukang pijat dan lainnya.

"Saya ingin menunjukkan bahwa keterbatasan tak menghalangi saya untuk bisa mandiri," ujar lelaki kelahiran 17 Juli 1975. 

Usai lulus dari ISI, ia harus berjibaku mengajar dari satu sekolah ke sekolah lain. Ia menjadi guru honorer di SD Jagalan dan SLB A YKAB.

Sebelumnya, dia juga pernah menjadi pengajar di SD Kentingan dan SD Tugu Solo. Ia menjalani dengan keikhlasan. Bahkan, ia tetap jalan kaki dan naik bus untuk melaksanaka tugasnya menjadi guru.

"Gaji honorer waktu itu, Rp150 ribu per bulan untuk masing-masing sekolah. Biasanya saya mengajar sekali dalam sepekan," jelasnya.

Diangkat Menjadi Guru Tidak Tetap

Guru Gamelan Tuna Netra
Rasino dan siswanya sedang memainkan gamelan untuk mengiri ujian perdalangan di SMKN 8 Surakarta.(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Rasino mulai menemukan titik terang ketika istri pengelola sanggar dalang cilik Sarotama menawarinya untuk masuk menjadi pengiring gamelan di SMKN 8 Surakarta. Setelah itu, status karier pun naik menjadi Guru Tidak Tetap (GTT) di sekolah yang dulunya bernama Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Surakarta.

"Alhamdulilah kemudian status saya meningkat menjadi GTT pada November 2015," ujar dia.

Dengan status pekerjaan sebagai pengajar tidak tetap di sekolah tersebut, kini Rasino lebih bersyukur, pasalnya gaji yang diterimanya juga tidak sekecil pada waktu masih mengajar di sekolah-sekolah sebelumnya. Bahkan, berkat honor sebagai guru gamelan itu di SMKN 8 Surakarta, kini Rasino sudah berhasil membeli rumah meskipun dengan cara kredit.

"Alhamdulillah dengan pekerjaan sebagai guru ini sekarang saya sudah punya rumah yang belum lunas alias perumnas. Lumayan lah gaji guru yang setara dengan UMR Provinsi ini sudah bisa untuk mencukupi kebutuhan dan membayar kredit rumah," ucapnya bangga.

Meskipun sudah mengajar di SMKN 8 Surakarta, tetapi Rasino ternyata juga masih mengajar gamelan di SLB YKAB Surakarta yang terletak di Jagalan, Jebres, Solo. Ia sebenarnya ingin melepas pekerjaan di sekolah tersebut, tetapi pihak pengurus SLB YKAB sangat berharap dia masih bergabung dengan tim pengajar di sekolah itu.

"Sebenarnya saya mau lepas tapi mereka tidak mau karena ya belum ada tenaga penggantinya. Selain itu, kebijakan dari sekolah sini juga memintanya untuk tidak melepas dulu karena kan belum tentu mendapatkan orang yang bersedia untuk mengabdi seperti panjenengan," kata dia.

Menjadi Inspirasi Siswa

Guru Gamelan Tuna Netra
Rasino penyandang tuna netra yang menjadi guru gamelan di SMKN 8 Surakarta sedang memainkan instrumen gender.(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Walaupun memiliki keterbatasan tidak bisa melihat, tetapi Rasino mengaku selama menjadi guru di jurusan perdalangan ini belum pernah mengalami pelecehan dari para muridnya. Malahan mereka memberikan rasa hormat yang tinggi kepadanya. Alhasil, hubungan yang tercipta antara guru dan murid seperti halnya cinta kasih dan kasih sayang antara orangtua dengan anak.

"Sama sekali tidak (dilecehkan). Justru saya mendapatkan penghargaan yang luar biasa dari para siswa SMK ini. Mereka itu benar-benar tidak menganggap remeh kepada saya. Justru menurut pengakuan mereka maupun civitas malah menganggap saya itu sebagai sumber inspirasi," ujar dia.

Baginya, dengan memiliki kemampuan menguasai permainan instrumen gamelan memang menjadi nilai tambah. Dengan kelebihan yang dimilikinya itu, Rasino tidak menjadi sombong tetapi malah kian menunduk dengan penuh kerendahan hati. Ia pun berharap dengan kemampuan menguasai gamelan diharapkan akan memberikan manfaat kepada orang lain.

"Saya cuma ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain begitu saja. Jadi saya kepengin setiap orang yang kenal dengan saya itu ada manfaat yang bisa diambil dari diri saya," harapnya.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya