Liputan6.com, Cimahi - Niken Apriani seakan tak pernah jemu membekali siswanya dengan pengetahuan membuat kriya. Gebrakannya dalam teknik pewarnaan batik menggunakan gutha tamarin atau serbuk biji asam, bikin proses membatik jadi lebih mudah dilakukan siswa.
Niken sehari-hari bertugas sebagai guru SMP di Cimahi. Dia telah 23 tahun mengajar mata pelajaran seni rupa di SMPN 3 Cimahi. Setelah bertugas di sana, Niken saat ini menjadi pelaksana harian (Plh) di SMPN 13 Cimahi.
Selama puluhan tahun mengajar, Niken melihat pelajaran seni rupa di sekolah kerap dipahami sebagai seni rupa murni, yang menghasilkan karya pada keindahan atau ekspresi seperti lukisan.
Advertisement
Niken lalu mencari tahu kegiatan seni rupa di luar seni murni yang bisa diterapkan ke siswanya. Ia pun mencoba memberikan pengetahuan tentang kriya. Saat itu ia ingin mengajarkan teknik batik pada siswa-siswinya.
Pada 2009, Niken mulai berkenalan dengan kriya yang diasuh Doddie K. Permana, seorang desainer tekstil dan konsultan tekstil asal Bandung. Ia mendapatkan pelatihan membatik dengan menggunakan malam dingin yang merupakan salah satu terobosan dalam industri tekstil.
Baca Juga
"Saya belajar dari Pak Doddie, yang mengembangkan gutha dari pupuk urea. Tapi ketika beliau tak punya pupuk urea, saya mencari alternatif," kata Niken saat berbincang kepada Liputan6.com, Sabtu (23/11/2019).
Niken pun tak langsung mempraktekkan pelajaran membatik yang diserapnya. Karena proses membatik sendiri menuntut banyak peralatan seperti kompor, api, lilin, canting, dan lain-lain. Pihak sekolah juga melarang penggunaan kompor atau segala jenis proses dengan menggunakan api.
"Sementara bahan guthanya yang dari urea itu sulit dicari," ujar Niken.
Niken memutar otak. Dia mencari alternatif bahan perintang pengganti malam atau lilin pada teknik membatik.
Bahan yang dicari Niken adalah pengental warna atau manotex. Ketika berbelanja bahan ini ke Tasikmalaya, Niken justru diberi tahu sang pedagang untuk menggunakan bubuk biji asam atau tamarin sebagai pengganti manotex. Dari sinilah muncul ide menggunakan tamarin sebagai pengganti lilin.
"Sebelum ke tamarin itu saya pakai manotex, bahan untuk perintang yang berfungsi sebagai pengental," ujarnya.
Niken lalu menjajal bisi asam jawa yang telah ditumbuk menjadi bubuk itu sebagai pengental warna. Tidak ada ukuran pasti untuk campurannya, namun diusahakan agar tak terlalu kental atau encer. Tamarin serbuk tersebut ditambah margarin untuk memberikan kandungan minyak. Sehingga pada proses pencucian, gutha bisa dibersihkan dengan cepat.
Bahan yang telah teraduk kemudian dimasukkan ke dalam pembungkus berbentuk kerucut. Bentuknya mirip alat penghias kue yang bagian ujungnya bolong agar bahan perintang bisa digoreskan ke kain batik.
Tertarik Membatik Sejak Kuliah
Setelah bereksperimen di rumahnya, Niken menularkan metoda membatik dengan gutha tamarin kepada siswa-siswinya di kelas. Ia sudah mempraktekkan teknik batik tamarin di SMPN 3 Cimahi sekitar delapan tahun.
"Teknik ini saya ajarkan ke anak-anak kelas 9. Biasanya sampai tiga kali pertemuan. Awalnya mendesain, merintang, mewarnai dan finishing," kata Niken.
Perempuan 54 tahun ini mengaku dengan cara ini, siswa-siswinya menjadi lebih tertarik membatik. Risiko seperti tumpah lilin panas tidak ada lagi karena karena sifat gutha tamarin yang dingin.
Selain itu, proses membatik dengan teknik ini jadi lebih sederhana, karena tidak melewati proses melorod. Begitu pula dalam pewarnaan yang hanya membutuhkan proses pengukusan selama satu jam, agar warna menyerap pada kain.
"Saya cenderung mengajarkan kriya karena terasa lebih membekali anak. Kalau seni murni mungkin hanya beberapa anak yang punya bakat, tapi kalau kriya bisa dilatih," ujarnya.
Hal yang membuat Niken senang adalah teknik membatik tamarin ini diminati muridnya yang kini sudah berkuliah. Salah satunya Fasya Meilani yang kini mengenyam pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) Jurusan Program Studi Sarjana Kriya.
"Ada, salah satu siswa saya sampai sekarang memakai teknik ini. Bahkan kalau saya ada kerjaan, dipanggil saja dia mau bekerja sama," ujarnya.
Niken juga semakin bersemangat untuk manakala beberapa mahasiswa yang bukan muridnya mau mempelajari teknik batik tamarin.
"Beberapa anak ITB ada yang ikut workshop. Teknik ini juga pernah diteliti anak UNJ dan mahasiswa Maranatha," katanya.
Niken menjadi guru sejak 1988. Lulus dari jurusan Seni Rupa dan Kerajinan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung pada 1987, ia sempat menjadi guru seni di SMAN 4 Cimahi.
Akan tetapi pada 1995 ada pemerataan guru sehingga ia dipindahkan mengajar di SMPN 3 Cimahi.
"Sejak di kuliah memang sudah belajar membatik," ucapnya.
Di waktu senggang, Niken masih gemar melukis. Lukisannya pun punya ciri khas yaitu melapis atau layer 2-3 helai kain. Sehingga lukisannya tampak depan dan samping berbeda.
Setelah 25 tahun mengajar seni dan bergelut dengan dunia pendidikan, pada 2013 ia dikenalkan dan masuk komunitas 22 Ibu. Di komunitas itu Niken berkesempatan untuk mengikuti berbagai pameran karya seni di beberapa kota seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.
Advertisement
Ramah Lingkungan
Salah satu keistimewaan gutha tamarin adalah bahan dasar yang tidak berbahaya. Selaras sangat dengan konsep go green masa kini.
"Biji asam bisa dijadikan bahan untuk cake, kosmetik, kesehatan hingga pupuk tanaman," kata Niken.
Pohon asam sendiri merupakan tanaman yang dapat tumbuh subur di wilayah tropis, sehingga berkembang baik di seluruh kepulauan Indonesia.
Ia menjelaskan, gutha tamarin yang ia buat jauh lebih murah ketimbang perintang yang menggunakan lilin malam.
"Biaya produksinya jauh lebih murah. Gutha tamarin kalau beli sekilo Rp100 ribu. Cara mengolahnya juga sangat mudah," katanya.
Simak video pilihan di bawah ini: