Jurus BKSDA Sumbar Jaga Kelestarian Harimau Sumatra

BKSDA Sumbar memaksimalkan pengawasan di lapangan untuk mencegah perburuan harimau sumatra.

oleh Novia Harlina diperbarui 28 Nov 2019, 22:00 WIB
Diterbitkan 28 Nov 2019, 22:00 WIB
BKSDA Sumatera Barat
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat, Erly Sukrimanto (Liputan6.com/ Novia Harlina)

Liputan6.com, Padang - Harimau Sumatra, satwa liar ini cukup mengerikan di mata manusia. Namun tidak bagi pemburunya, oleh mereka harimau bak intan permata yang selalu dicari hingga jauh ke dalam hutan.

Bagaimana tidak, satu lembar kulit harimau bisa dijual Rp30-80 juta. Maraknya perburuan hewan yang bernama latin panthera tigris sumatrae ini berbanding lurus dengan populasinya yang terus menurun.

Di Sumatera Barat yang merupakan salah satu daerah populasi harimau sumatra, tidak ada data terbaru dari pihak terkait yang menyatakan berapa jumlah hewan liar itu saat ini.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat, Erly Sukrimanto ditemui Liputan6.com, Rabu (27/11/2019) menyebutkan hingga saat ini belum ada data terbaru untuk populasi harimau sumatera. Data terakhir yang dimilikinya tahun 2014.

"Kami masih mengiventarisasi jumlah harimau yang ada di Sumatera Barat saat ini," katanya.

Meski demikian pihaknya terus memaksimalkan pengawasan di lapangan untuk mencegah perburuan harimau sumatra terutama di daerah Rimbo Panti Kabupaten Pasaman Barat dan Alahan Panjang Kabupaten Solok.

BKSDA Sumatera Barat juga telah memasang kamera pengintai untuk memantau jumlah harimau sumatra. "Kami sudah memasang 10 kamera di sejumlah titik, dan terus dilakukan pemantauan oleh petugas di lapangan," kata dia.

Erly menambahkan terkait konflik antara harimau dengan manusia yang sering terjadi di beberapa daerah, hal itu disebabkan oleh banyak faktor, seperti belajar berburu karena baru berpisah dari induknya

"Ketika harimau berpisah dari induknya, maka mereka harus mulai berburu sendiri sehingga berpotensi untuk memangsa manusia atau hewan ternak yang diikat di dekat hutan," katanya.

Kemudian penyebab lainnya, wilayah jelajah harimau yang semakin sedikit dan mangsanya juga tidak ada sehingga mereka masuk ke pemukiman masyarakat.

Wilayah jelajah harimau cukup luas untuk berburu, mencapai 60 kilometer persegi, sehingga ketika tempat berburunya sudah semakin kecil atau rusak, maka mereka akan mencari alternatif dan terjadilah konflik tersebut.

Kemudian, misalnya pada 10 tahun lalu tempat tersebut adalah hutan, namun saat ini beralih fungsi menjadi pemukiman atau ladang penduduk, maka satu waktu harimau pasti akan kembali lagi ke tempat itu.

Hal tersebut dinamakan "home range", mereka akan mengingat tempat-tempat yang pernah dijelajahinya dahulu, namun ketika kembali ke tempat tersebut, harimau tidak akan tinggal dalam waktu yang lama, hanya sekitar tiga sampai empat hari, ujarnya.

"Perilaku satwa yang terlibat konflik rata-rata seperti itu, mereka pada saat tertentu akan datang ke tempat yang dikenalinya, namun hanya beberapa hari dia akan pergi sendiri," jelasnya.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya