Liputan6.com, Pekanbaru - Provinsi Riau kerap menjadi sorotan karena perbuatan korupsi sejumlah pejabat dan kalangan swasta. Tak heran, sudah beberapa tahun Bumi Lancang Kuning ini masuk dalam daerah supervisi KPK.
Sejumlah kepala daerah, mulai gubernur, bupati hingga aparatur sipil negara (ASN) tingkat rendah tak luput dari kasus korupsi. Bahkan tahun ini, ada sejumlah kepala daerah di Bengkalis Kota Dumai berstatus tersangka.
Advertisement
Baca Juga
Komitmen perubahan selalu didengungkan sejumlah instansi agar terbebas dari perbuatan merugikan negara itu. Namun, yang namanya manusia selalu tergoda dengan pundi-pundi uang hingga terjerumus dalam pusaran korupsi.
Tahun ini, ada 28 ASN di pemerintahan provinsi serta kabupaten dan kota tersandung korupsi. Sebagian besar di antaranya sudah dibui dan sisanya masih penyidikan oleh Kejaksaan Tinggi Riau dan jajaran.
"Kalau non ASN ada 18 orang dalam tahun ini," kata Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Riau Hilman Asasi SH didampingi Kasi Penkum dan Humas Kejati Riau Muspidauan SH kepada wartawan usai peringatan hari anti korupsi sedunia, Senin, 9 Desember 2019.
Menurut Hilman, ASN dan swasta dalam perbuatan korupsi saling berkaitan. Oleh karena itu, dia meminta ASN berhenti korupsi dan swasta berhenti memengaruhi agar ASN korupsi.
"Atau sebaliknya karena kalau masih ada akan ditindaklanjuti. Mungkin hari ini tidak ketahuan, tapi esok atau kapan hari bisa tercium," imbuh Hilman.
Selamatkan Kerugian Negara
Dia menjelaskan, masa kedaluarsa tindak pidana korupsi sesuai Pasal 78 KUHP adalah 18 tahun. Tak ayal, kasus yang terjadi ketika ASN menjabat bisa terungkap saat pensiun.
Dalam menangani korupsi ASN, Hilman menyebut perlu hati-hati. Yang diutamakan adalah pengembalian kerugian negara karena dampaknya sangat fatal.
Apalagi baru-baru ini, kementerian aparatur sipil negara dan reformasi birokasi tidak pandang bulu. Setiap ASN, meskipun jumlah korupsinya kecil, sanksi pemecatan sudah di depan mata.
"Makanya penyidikan korupsi sekarang diperhatikan betul, signifikan atau tidak kesalahannya. Atau bisa dengan mengembalikan kerugian negara," terang Hilman.
Namun begitu, pengembalian kerugian negara bukan berarti membuat ASN terhindar dari persidangan jika perbuatannya berdampak luas.
"Namun intinya, mengusut korupsi itu memperbaiki sistem, mengembalikan kerugian negara dan demi keadilan," sebut Hilman.
Di sisi lain, Hilman menyatakan Kejati Riau dan jajaran Kejari tahun telah menyelamatkan uang negara Rp 9.016.589.076 di tingkat penyidikan. Jumlah tersebut termasuk dengan Rp 6.378.589.076 yang diselamatkan Pidana Khusus Kejati Riau.
Sementara di bidang penuntutan, pihaknya telah memulihkan kerugian keuangan negara Rp512.032.800. Sedangkan, dalam tahap eksekusi atau sudah berkekuatan hukum tetap ada Rp14 miliar.
Advertisement
Rapor Merah Kejari Rokan Hulu
Hilman menjelaskan, jajaran Kejati Riau tahun 2019 telah mengusut 22 kasus atau penyidikan. Jumlah itu termasuk 6 kasus yang ditangani Pidana Khusus Kejati Riau.
"Sedangkan penuntutan, hasil penyidikan dari Kejati Riau ada 8 perkara korupsi. Kemudian penyidikan dari Polda Riau 6 perkara," sebutnya.
Berikutnya dalam tahapan eksekusi atau berkekuatan hukum tetap, Kejati Riau ada 38 perkara korupsi. Berikutnya ada 4 perkara tindak pidana ekonomi.
Dalam menangani korupsi, Hilman menyebut ada perkara yang dihentikan saat penyidikan atau ditutup saat penyelidikan. Hal ini wajar dilakukan jika memang tidak ditemukan unsur merugikan negara.
"Mengusut korupsi itu bukan tidak tendensius, kalau tidak ditemukan unsur dihentikan. Itu untuk keadilan agar tidak menghukum orang yang tak bersalah," tegasnya.
Hilman menyebut semua Kejari di Riau menangani perkara korupsi. Namun ada satu Kejari, yaitu Rokan Hulu yang absen meskipun sudah sering disupervisi.
Terkait ini, Hilman telah mengingatkan kejaksaan yang dipimpin Freddy Daniel Simanjuntak SH itu.
"Kita sudah bersurat mengingatkan kalau tidak ada produk. Sudah dua kali," ungkap Hilman.
Â
Simak video pilihan berikut ini: