Kaleidoskop 2019: Kejahatan Seksual Guru Mengaji dan Pembesar Agama

Selama 2019, terjadi beberapa kali kasus kejahatan seksual terhadap anak yang melibatkan tenaga pendidik hingga pembesar di bidang keagamaan, yang dihimpun dalam kaleidoskop 2019.

oleh Rino Abonita diperbarui 17 Des 2019, 00:00 WIB
Diterbitkan 17 Des 2019, 00:00 WIB
Ilustrasi (Liputan6.com/Rino Abonita)
Ilustrasi (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Selama kuartal pertama tahun 2019 terjadi sebanyak 67 kasus kejahatan seksual terhadap anak di Provinsi Aceh. Angka ini berdasarkan kasus yang terjadi di 23 kabupaten/kota serta yang ditangani oleh P2TP2A Aceh, Polda, dan LBH Apik.

Rinciannya, 34 kasus berupa perkosaan, 33 kasus berupa pelecehan seksual. Angka ini tentu saja tidak termasuk kasus-kasus yang terjadi setelahnya.

Di antaranya, bertengger pula kasus yang melibatkan tenaga pendidik hingga pembesar di bidang keagamaan. Pertama, terjadi di Aceh Utara, pelakunya N (32), seorang perempuan, dengan korban 5 orang anak di bawah umur, dua di antaranya bocah laki-laki berumur 8 tahun, 3 lagi bocah perempuan, dua di antaranya berumur 8 tahun, sementara, satu orang lagi berumur 11 tahun.

Modusnya, mengiming-imingi korban dengan uang Rp 2.000. Perbuatan bejat N dilakukan sejak 2017, dia ditangkap pada Senin sore, (28/1/2019).

Namun, kasus yang paling menggegerkan adalah kasus pelecehan seksual serta sodomi yang dilakukan pimpinan pesantren yang cukup mentereng di Lhokseumawe. Pelakunya AIN (45), serta MY (26), bawahannya.

Jumlah korban mencapai belasan, rata-rata merupakan santri laki-laki yang tergolong di bawah umur. Perbuatan jangak serta bejat AIN dan MY dilakukan sejak September 2018.

Modusnya, menyuruh korban membersihkan kamar atau disuruh tidur ke kamar pelaku. Perilaku menyimpang sang ulama rumornya sudah jadi rahasia umum di kalangan para santri, tetapi, tidak ada yang berani buka mulut.

Menurut Direktrur YLBHI-LBH Banda Aceh, Syahrul, boleh jadi hal ini disebabkan kultur tendensius yang mengultuskan orang-orang yang ditabal sebagai ulama. Sayangnya, hal ini berpotensi mengesampingkan kesalahan-kesalahan sang ulama hanya karena dirinya dianggap sebagai perwakilan Tuhan di muka bumi.

"Kalau pelakunya ulama, tidak dilihat murni sebagai kesalahan. Jadi ada kecenderungan mengultuskan. Kalau ada korban yang mengadu kepada orangtuanya, malah yang disalahkan si anak," jelasnya, Senin (16/12/2019).

Kasus yang membuat jemaah sang ulama terperangah itu terungkap setelah orangtua salah satu korban melapor ke polisi pada Sabtu 29 Juni 2019. Korban AIN disebut-sebut lebih banyak dari MY.

Satu korban bisa 7 kali kejadian. Sementara MY, baru menyasar satu korban dengan jumlah perbuatan sebanyak 2 kali.

Sebagai ulama kesohor, AIN terkenal dekat dengan lingkaran elite di Aceh. Fotonya sedang berpose dengan pejabat sering diunggah di akun media sosialnya, pun begitu dengan ceramahnya yang banyak ditemukan di Youtube.

Persoalan menjatuhi para pelaku dengan qanun sejak awal telah ditolak oleh YLBHI-LBH Banda Aceh. Sanksi terhadap AIN dinilai terlalu rendah jika dirinya dipersangkakan dengan pasal dalam qanun.

Bagi Syahrul, selain bertolak belakang dengan semangat perlindungan terhadap anak, pilihan menjatuhkan hukuman dengan qanun terkesan menyampingkan trauma para korban, karena qanun tidak menerakan hak restitusi di dalamnya.

Ia menegaskan bahwa pasal yang diterapkan penyidik harusnya 76D Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bukan pasal dalam qanun.

"Pasal 47 Qanun Jinayah itu hukumannya 90 kali cambuk, penjara 7,5 tahun, bayar denda 900 gram emas. Kalau kita bandingkan dengan UUPA, 15 tahun penjara," sebutnya.

 

Iming-Iming Main Gim

Pencabulan
Ilustrasi Pencabulan

Sementara itu, M (35), guru mengaji di salah satu Tempat Pendidikan Alquran (TPA), Kecamatan Langsa Timur, Kota Langsa, telah mencabuli CAP, bocah perempuan berumur 10 tahun. Pencabulan itu terjadi pada 5 Oktober, saat pelaku dan korban berboncengan di jalan sepi di kawasan perkebunan kelapa sawit.

M awalnya menyambangi lalu mengajak korban yang sedang berada di TPA untuk bermain gim yang ada di laptopnya. Saat baterai laptop habis, M meminta korban menemaninya untuk mengisi daya laptop di menasah yang berlokasi agak jauh dari TPA.

"Setibanya di Menasah Pondok, ternyata tidak bisa mengecas laptop, dan pelaku mengajak korban kembali ikut bersamanya," jelas Andy, dalam keterangan diterima Liputan6.com, belum lama.

Korban dibawa berputa-putar dengan sepeda motor di areal perkebunan kelapa sawit. Di pertengahan jalan, M mulai meraba-raba hingga memaksa korban melakukan perbuatan tak senonoh, tetapi ditolak oleh korban yang ketika itu mulai menangis karena ketakutan.

Perbuatan M terbongkar setelah korban buka mulut usai diantar oleh M ke TPA semula. Pelaku sempat merayu korban agar tutup mulut dengan iming-iming diberi uang jajan untuk membeli minuman, namun, CAP menolak.

Adanya kasus kejahatan seksual terhadap anak yang melibatkan tenaga pendidik di bidang keagamaan di Aceh merupakan ironi. Aturan syariat Islam yang kerap digaungkan tak berbanding lurus dengan munculnya kejadian seperti itu.

Kalimat, "ustaz —atau tenaga pendidik keagamaan— juga manusia" tak bisa menjadi pembenaran, kendati jerat Asmodeus, sang penguasa birahi dalam mitologi Yunani, bisa menyasar tanpa terkecuali. Seyogianya, orang-orang tersebut berperan besar dalam membentuk generasi-generasi madani.

Menurut psikolog, Diah Pratiwi, rata-rata pelaku punya kecenderungan seksual yang menyimpang. Dia juga mengatakan bahwa kasus kejahatan seksual yang melibatkan tenaga pendidik di bidang keagamaan bak fenomena gunung es, di mana para korban hingga keluarganya lebih memilih bungkam atau tutup mulut.

"Bisa jadi karena posisi pelaku dan sebagainya, dan sebagainya," kata mantan Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Aceh Barat kepada Liputan6.com, dalam sebuah wawancara khusus.

Bagi Wakil Ketua Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk Faisal Ali, fenomena ini tidak terlepas dari lemahnya regulasi yang dapat memfilterisasi, mana tenaga pendidik yang memiliki kapasitas moral dan tidak. Banyak yang menjadi guru mengaji hanya karena kemampuannya, sementara, kapasitas moral yang bersangkutan tidak pernah dipertanyakan.

"Misalnya, saat kita lihat ada seseorang yang bersuara bagus ketika membaca Alquran, langsung kita jadikan guru mengaji anak. Padahal, kapasitasnya sebagai tenaga pendidik tidak ada," kata Faisal diwawancari Liputan6.com, belum lama ini.

Ulama yang akrab disapa Lem Fasial menyarankan agar para pemangku kebijakan membuat rumusan tertentu yang bisa menjadi patokan. Rumusan ini bisa jadi pagar betis, menyaring para tenaga pendidik yang memiliki integritas guna meminimalisasi kejadian serupa.

"Perlu ada rumusan-rumusan tingkat desa atau kampung tidak mesti harus pakai qanun. Fasilitas yang ada di lembaga pendidikan, maupun pendidikan Alquran juga mesti di-support dan melibatkan semua pihak," dia menandaskan.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya