Liputan6.com, Bandung - Saya lahir dan tumbuh di Ciwidey. Masa remaja saya, saya habiskan di Bandung, sampai kemudian Jepang datang pada 1942 dan mengubah semuanya.
Begitulah bab pembuka dari novel Helen dan Sukanta. Novel terbaru karya Pidi Baiq yang belum lama ini dirilis.
Karya Pidi Baiq ini berisi tentang pertemuan seseorang dengan wanita tua Belanda bernama Nyonya Helen. Dari pertemuan tak terduga itu, Helen menceritakan pengalaman nyata saat berada di Bandung. Termasuk menceritakan kisah asmaranya dengan seorang pribumi bernama Sukanta.
Advertisement
Sebagai warga Belanda, anak pengusaha di salah satu perusahaan di Ciwidey itu bersekolah di yayasan yang khusus untuk anak-anak Belanda pengusaha di daerah tersebut.
Baca Juga
Kisah romantik Helen bersama Sukanta tidak hanya di Ciwidey. Ada beberapa tempat lain seperti bangunan di Bandung yang bahkan punya peninggalan sejarah penting.
Novel Helen dan Sukanta yang ditulis Pidi Baiq ini mendorong Komunitas Aleut melakukan penelusuran. Hasilnya, komunitas pecinta sejarah kota ini menemukan tempat-tempat yang disebutkan di novel yang baru dicetak pada Oktober 2019 lalu itu.
Ngaleut sendiri merupakan program rutin Komunitas Aleut menelusuri tempat tempat-tempat sejarah yang disebutkan dalam buku sejarah.
Hasil penelusuran terkait novel Helen dan Sukanta oleh komunitas ini ternyata beririsan dengan sejarah Bandung. Hal itu terlihat saat Komunitas Aleut menggelar kegiatan ngaleut Helen dan Sukanta bersama The Panasdalam Publishing yang dimulai dari Alun-Alun Bandung, Sabtu (28/12/2019).
Dari lokasi pertama ini, pemandu ngaleut menceritakan Helen dan seorang pria bernama Hansen atau yang akrab disapa Hans kerap menghabiskan waktu di sekitaran Alun-Alun Bandung. Hans adalah pria yang bersama Helen setelah Sukanta, orang pribumi yang dicintainya hilang tanpa ada jejak setelah orang tua Helen tak menyetujui kedekatan di antara keduanya.
Suasana Alun-Alun Bandung masa lalu tentu berbeda dengan kini. Belum ada rumput hijau sintetis yang menjadi pusat kegiatan masyarakat. Diceritakan pemandu, sejak dulu tempat ini sudah ramai oleh pedagang yang membuka lapak dagangan.
Penelusuran berlanjut ke Hotel Savoy Homann. Dalam novel disebutkan tempat penginapan ini menjadi salah satu pertemuan antara Helen dan Hans. Hans pernah mengajak Helen makan malam dan berbincang-bincang sambil minum Javabier. Tempat menginap ini adalah salah satu hotel paling terkenal di Bandung.
Selain rumah dan sekolah, ada beberapa lokasi di Bandung yang pernah dikunjungi Helen. Misalnya saja Bragaweg atau Jalan Braga yang merupakan kawasan paling modis di masa dulu. Helen dan Hans beberapa kali jalan-jalan di lokasi ini. Termasuk ketika Hans membelikan baju untuk Helen di toko Au Bon Marche yang sekarang menjadi kafe.
Ketika Helen bersekolah di Bandung, dia tinggal di sebuah rumah sewa di Jalan Aceh. Rumah tersebut kemungkinan berada di belakang Balai Kota. Dia tinggal bersama Sitih, pembantu asal Sumedang yang mengasuh Helen sedari bayi.
Pemandu menjelaskan bahwa letak rumah Helen di pusat kota, membuat akses ke jalan-jalan lain mudah ditempuh. Mulai dari ke gereja di Javastraat (Jalan Jawa). Lalu ada juga rumah Bertha, teman Helen di Riouwstraat (Jalan Riau), hingga rumah mewah Hans di Dagostraat (Jalan Dago).
Di luar tempat-tempat tersebut, sebenarnya masih ada lokasi yang menjadi latar belakang novel Helen dan Sukanta. Misalnya saja kafetaria BMC yang diceritakan Helen sebagai tempat perayaan ulang tahunnya. BMC sendiri adalah koperasi susu untuk wilayah Bandung dan sekitarnya. Ketika Sukanta bekerja di leveransir di Lembang, dia bertanggung jawab dalam penyediaan susu sapi segar untuk Hotel Homann.
Disebutkan juga dalam novel Helen dan Sukanta yaitu kawasan Viaduct yang dekat dengan stasiun kereta api (sekarang Stasiun Bandung). Viaduct sendiri dibangun untuk menghindari dua lintasan jalan seperti jalan raya dengan jalur kereta api.
Adapun selama bersekolah di Bandung, Helen disuruh ayahnya melanjutkan sekolah di Hoogere Burgerschool (HBS). Sekolah setingkat SMA yang diperuntukkan bagi kalangan Eropa dan segelintir pribumi. Pemindahan sekolah Helen ke HBS tak lain karena ayahnya tak suka putrinya terlalu dekat dengan Sukanta. Sekolah ini adalah cikal bakal SMAN 3 Bandung.
Sebelum berpindah ke tempat berikutnya, Pidi Baiq akhirnya datang menemui para peserta ngaleut. Momen ini pun dimanfaatkan peserta untuk bertanya-tanya soal novel Helen dan Sukanta. Mereka penasaran sejauh mana fakta-fakta yang ada dalam novel.
Romantisme Ciwidey-Belanda
Sesi paling ditunggu peserta ngaleut kali ini adalah ketika Pidi Baiq memberi penjelasan bukunya di Kafe Panasdalam. Pidi Baiq mulai bercerita tentang sosok Nyonya Helen yang ditemuinya di Belanda pada 2000.
"Saya ketemu Nyonya Helen itu tahun 2000. (Sebelum jadi buku) waktu itu masih berupa data saja dan saya simpan sebagai catatan," kata Pidi Baiq.
Jika sebelumnya novel yang dirilis terkesan nyeleneh, anekdot, sarkas, bahkan romantis ala anak remaja seperti buku Dilan, Helen dan Sukanta justru berbeda.
Sekilas, Helen dan Sukanta merupakan kisah tentang seseorang yang bertemu Helen di sebuah rumah makan bernuansa Indonesia. Namun di sanalah titik awal berbagai cerita panjang dimulai. Gambaran soal Belanda yang masih lekat dengan nuansa Indonesia pun tergambar dalam sebuah tempat bernama Lachende Javaan.
Pidi menggambarkan Helen sebagai sosok yang mencintai Indonesia. Lantaran masa kecilnya ia habiskan di Ciwidey. Di sanalah, Helen memiliki romansa klasik tersendiri, tentang cinta dan memori yang masih tersimpan rapi dalam setiap inci kenangan. Bahkan Ciwidey bagi Helen adalah rumah dan cinta pertamanya.
Sebelum menjadi novel, bocoran tentang buku Helen dan Sukanta ini melalui laman blog pribadi Pidi Baiq pada 2017. Serupa dengan novel terdahulu, Pidi Baiq membuat para pembaca penasaran. Dia hanya menyertakan beberapa bab saja. Ketika cerita dimulai seru, tiba-tiba terhenti begitu saja menggantung dan perlu waktu untuk membaca secara utuh lewat buku.Â
Pidi Baiq melanjutkan, novel Dilan bukan yang pertama ditulis. Justru Helen dan Sukanta-lah yang ingin dia kerjakan sejak awal mempublikasikan karyanya.
"Dilan itu selingan. Tapi di saat menulis Helen dan Sukanta itu, saya merasa…'Ah, zaman saya juga ingin ditulis'. Jadilah Dilan," katanya.
Setelah novel Dilan meledak di pasaran, imam besar The Panasdalam itu pun mengaku ingin mengeluarkan novel Helen dan Sukanta. Dia bercerita, kisah yang disampaikan Nyonya Helen sangat menyentuh perasaan.
"Awalnya saya bertemu kemudian ketika saya begitu hormat pada kisahnya, menstimulus saya menulisnya. Waktu dia cerita itu sampai saya bingung mau ngapain, kok emosi banget dia. Setelah bercerita, langsung saya tulis," ujarnya.
Pidi mengaku motivasi menulis bukan karena ingin terkenal atau karena bayaran.
"Karena ketika ditanya, 'Ayah kenapa nulis?' Saya sering jawab, 'Saya tidak tahu apa yang saya lakukan selain menulis'," kata pria yang sering dipanggil Ayah oleh orang di sekelilingnya itu.
Soal proses kreatif dalam mengolah data dan fakta jadi cerita, Pidi Baiq mengatakan hal itu cukup merepotkan. Hal inilah yang membuat novel Helen dan Sukanta sukar dipublikasikan dibanding Dilan.
"Waktu saya menulis, saya juga bertanya ini bagaimana melanjutkannya. Saya sampai cek ke museum untuk mengecek fakta-fakta di balik obrolan dengan Nyonya Helen. Pas bikin bridging-nya itu susah. Ada beberapa yang mungkin saya sebagai pribadi masuk untuk nambah-nambahin," ucapnya.
Selain itu, dia juga kerap meminta bantuan dari sejumlah orang dan instansi untuk menyesuaikan konteks sejarah. Musababnya, novel ini mengambil juga latar belakang masuknya Jepang ke Bandung.
"Saya tambahin dengan membaca sejarah orang yang sezaman dengan Helen. Kira-kira saat itu ada gempa tidak, saya cari. Ngecek ke gerejanya, ternyata gereja kecil. Dia juga pernah bilang di Ciwidey itu stasiunnya banyak, sekarang stasiunnya nggak ada. Beberapa hal seperti tanggal tepat kejadian, Helen itu lupa lalu saya yang nyari. Jujur, nulis sejarah itu paling rumit. Kalau Dilan, latar belakang ceritanya tidak kuat tapi untuk novel ini kuat dan itu yang buat repot. Tapi Alhamdulillah selesai," ujarnya.
Pidi pun berharap novelnya ini bisa diterima oleh pembaca. Terlebih ada banyak sisipan nilai sejarah yang bisa dipetik untuk masa sekarang.
"Saya mau menceritakan saja lewat novel ini. Bahwa mau ditafsirkan apa terserah saja. Saya mau menceritakan Helen apa adanya. Saya sendiri terharu padanya di mana Helen menitipkan salam untuk warga Ciwidey, yang saya juga tak kenal siapa orangnya," ucap Pidi.
Â
Â
Â
Advertisement
Interpretasi Sejarah
Penggagas Komunitas Aleut Ridwan Hutagalung mengatakan, jalan-jalan ke tempat bersejarah sudah sering dibawakan komunitasnya. Namun, dengan adanya novel berlatar belakang Bandung ini, pihaknya mencoba menawarkan sesuatu melalui interpretasi sejarah.
"Justru di sini yang sangat menarik. Kalau hanya mendasarkan pada novel, kita hanya akan mendapatkan cerita saja. Tapi yang dilakukan Aleut hari ini adalah memberikan konteks lewat interpretasi. Misalnya, ketika Helen dulu tinggal di Ciwidey, suasananya akan seperti apa pada saat itu kan tidak terbayang seperti dalam buku," kata Ridwan.
Dalam edisi ngaleut kali ini, selain para pemandunya yang sudah menyiapkan ringkasan cerita novel, diperlihatkan pula foto-foto lokasi yang sesuai dengan konteks waktu dan momen dalam Helen dan Sukanta.
"Makanya kita sediakan satu dua buah foto dalam setiap keterangannya. Konteks itu yang kita berikan supaya bayangan orang yang sudah membaca novel jadi tahu," ucapnya.
Ridwan mengaku ngaleut dengan novel sebagai medium pembelajaran sejarah bukan pertama kali dilakukan. Sudah ada beberapa kegiatan ngaleut yang didasari novel maupun roman. Seperti roman Rasia Bandoeng karya Chabanneau dan Atheis yang ditulis Achdiat Kartamihardja. Kedua roman tersebut mengambil latar belakang tempat bersejarah di Bandung.
"Karena kita di ranah sejarah populer, jadi itulah yang coba kita selipkan lewat cerita-cerita pemanduan ngaleut hari ini. Tempatnya bisa langsung kita lihat," ujarnya.
Simak video pilihan di bawah ini:
Â