Mengungkap Penyebab Degradasi Lingkungan di Kawasan Bandung Utara

Alih fungsi lahan yang terjadi di KBU dominan terjadi karena aktivitas pembangunan sarana komersial, wisata, dan pertanian. Namun yang layak menjadi sorotan adalah maraknya pembangunan sarana komersial

oleh Arie Nugraha diperbarui 04 Jan 2020, 15:00 WIB
Diterbitkan 04 Jan 2020, 15:00 WIB
Pembangunan sarana komersil di daerah Punclut Kawasan Bandung Utara. (Foto: Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Meiki W Paendong untuk Arie Nugraha)
Pembangunan sarana komersil di daerah Punclut Kawasan Bandung Utara. (Foto: Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Meiki W Paendong untuk Arie Nugraha)

Liputan6.com, Bandung - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat menyatakan alih fungsi lahan di Kawasan Bandung Utara menyebabkan kawasan tersebut mengalami degradasi lingkungan yang sangat memprihatinkan. Maraknya pembangunan sarana komersial turut berkontribusi terhadap menurunnya daya dukung dan daya tampung kawasan tersebut.

Menurut Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Meiki W Paendong, Kawasan Bandung Utara (KBU) meliputi wilayah Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, dan Kota Bandung kini sudah terbangun 22 persen dari total luas keseluruhan. Sedangkan untuk kawasan lindung KBU yang sudah alih fungsi atau terbangun sebesar 16 persen.

“Menurut catatan WALHI Jawa Barat selama tahun 2019, dari total luas KBU sebesar 41.315 hektare kawasan yang sudah terbangun fisik seluas 11.765 hektare. Kawasan lindung KBU seluas 16.352 hektare yang pada dasarnya tidak diperuntukan menjadi kawasan terbangun, faktanya telah terbangun seluas 3.155 hektare,” kata Meiki di Kantor Walhi Jawa Barat, Bandung, Kamis, 2 Desember 2019.

Dia bilang alih fungsi lahan yang terjadi di KBU dominan terjadi karena aktivitas pembangunan sarana komersial, wisata, dan pertanian. Namun yang layak menjadi sorotan adalah maraknya pembangunan sarana komersial, seperti hotel apartemen, usaha wisata dan restoran, perumahan elit, dan villa.

Pembangunan tersebut secara langsung menurunkan kondisi lingkungan hidup dan menambah laju air larian yang masuk ke badan sungai saat musim hujan tiba. Atas hal tersebut, Walhi Jawa Barat mendesak diberlakukannya moratorium izin-izin baru di Kawasan Bandung Utara.

Menurut dia, salah satu syarat kegiatan usaha adalah dipenuhinya izin lingkungan. Beberapa tahapan yang harus dipenuhi pelaku usaha adalah terpenuhinya amdal, kelayakan lingkungan dan izin mendirikan bangunan (IMB). Akan tetapi, ternyata ada proyek besar diduga tak ber-Amdal dan beri-IMB.

“Selama tahun 2019 Walhi Jawa Barat telah membongkar dua kasus proyek pembangunan tanpa dokumen Amdal dan IMB di Kota Bandung,” ujar Meiki.

“Banyaknya kerusakan lingkungan berdasarkan pengaduan laporan warga maupun di luar pengaduan sepanjang tahun 2019 yang masuk ditangani oleh Walhi Jawa Barat, maka dapat diambil kesimpulan berdampak menurunnya kualitas air sungai, laut, dan udara di Jawa Barat. Pencemaran air, sungai, dan laut terjadi di sektor pertambangan dan industri,” sebut Meiki.

Walhi: Pengawasan Pemerintah Lemah

Pertambangan di kawasan perbukitan Nanjung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. (Foto: Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Meiki W Paendong untuk Arie Nugraha)
Pertambangan di kawasan perbukitan Nanjung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. (Foto: Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Meiki W Paendong untuk Arie Nugraha)

Alih fungsi lahan di kawasan lindung dan di luar peruntukannya, menurunkan kualitas tanah dan mengurangi tutupan lahan hijau. Dampak lainnya adalah adanya kebijakan tata ruang yang masih cenderung mengedepankan pembangunan fisik dibanding lingkungan hidup berbasis DAS.

Kerusakan lingkungan yang ada, akibat dari implementasi Amdal yang sangat buruk dan lemahnya pengawasan dari pemerintah daerah. Lemahnya penegakan hukum ucap Meiki, terhadap pelaku usaha yang melanggar dan tidak taat terhadap regulasi menyokong pula dalam kerusakan lingkungan di Jawa Barat.

“Korporasi masih menjadi pelaku utama penyebab menurunnya kualitas lingkungan hidup di Jawa Barat,” ucapnya.

Dia menilai, degradasi lingkungan ini juga dipengaruhi oleh sikap pemerintah daerah yang cenderung permisif terhadap korporasi pelaku pencemar dan pelanggar hukum. Akibatnya indeks kualitas lingkungan hidup di Jawa Barat masih dipastikan akan tetap rendah dan tidak menunjukan perbaikan dari tahun 2018.

Dalam skala lebih luas, sepanjang tahun 2019, kualitas lingkungan hidup di Jawa Barat tidak kunjung membaik. Hal itu berdasarkan 18 aduan dari warga kepada organisasi pemerhati lingkungan tersebut.

Meiki mengatakan seluruh aduan itu dapat dikelompokkan dalam tiga kategori yang saling terkait, yaitu alih fungsi lahan, pencemaran dan regulasi. Meiki menyebut pencemaran terjadi dan berdampak ke air sungai, laut, tanah, dan udara. Sedangkan regulasi berdampak pada konflik lahan dan sumber daya alam, serta penaatan hukum.

“Dari ketiga kategori dampak tersebut di atas terjadi di tujuh sektor, yaitu pertambangan, air, industri, tata ruang, agraria, energi, dan kebijakan lingkungan. Di mana empat laporan kasus terjadi di sektor pertambangan dan lima laporan di sektor Industri,” kata Meiki dalam keterangan resminya di Kantor Walhi Jawa Barat, Bandung, Kamis, 2 Januari 2020.

Meiki mengatakan satu tahun telah berlalu segala kalangan, kelompok individu, komunitas dari berbagai struktur kelas baik secara sadar atau tidak menaruh harapan untuk tahun berikutnya. Tentunya sebut Meiki, harapan akan kualitas kehidupan yang lebih baik dan damai dari tahun sebelumnya.

Namun lanjut Meiki, suatu kualitas kehidupan yang baik tidak akan mampu terwujud bila tidak ditopang oleh kondisi lingkungan hidup yang baik dan sehat. Itu sudah menjadi syarat mutlak bagi umat manusia dan segala makhluk hidup.

“Khusus di Jawa Barat sendiri, kualitas lingkungan hidup dari tahun ke tahun belum menunjukan perbaikan ke arah yang lebih mapan. Banyak faktor yang mempengaruhinya.Mulai dari regulasi yang kurang mendukung, kepedulian yang masih minim dan palsu, hingga ke persoalan politik oligarki dan ideologi,” jelas Meiki.

18 Aduan Warga Jabar

Pertambangan di kawasan perbukitan Nanjung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. (Foto: Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Meiki W Paendong untuk Arie Nugraha)
Pertambangan di kawasan perbukitan Nanjung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. (Foto: Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Meiki W Paendong untuk Arie Nugraha)

Walhi Jawa Barat memberi catatan dan gambaran terkait kondisi lingkungan hidup Jawa Barat selama tahun 2019. Catatan akhir tahun yang diterbitkan ini, secara umum berdasarkan laporan kasus dan pengaduan warga serta beberapa isu lingkungan hidup yang diadvokasi oleh WALHI Jawa Barat.

Walaupun masih ada batasan dalam catatan akhir tahun ini, namun tidak mengurangi substansi gambaran umum kondisi lingkungan hidup di Jawa Barat. Berikut rincian laporan warga yang masuk dan ditangani WALHI Jawa Barat adalah:

1. Aktivitas peledakan Gunung Guruh di Desa Tanjungsari, Kabupaten Sukabumi.

2. Pencemaran Pabrik Semen Siam Cement Group di Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi.

3. Pertambangan galian non mineral di Desa Cibaregbeg, Kabupaten Cianjur.

4. Pencemaran tumpahan minyak di Kabupaten Karawang.

5. Pembangunan pabrik pengolahan gas di Desa Cidahu, Kabupaten Subang.

6. Pencemaran SPBU di Kabupaten Cianjur.

7. Konflik dan alih fungsi lahan PT. RNI dengan Gapoktan di Desa Amis, Kabupaten Indramayu.

8. Pencemaran pembakaran limbah kayu PT. APL di Kabupaten Banjar.

9. Konflik sumber mata air di Desa Cinunuk, Kabupaten Bandung.

10. Pencemaran Sungai Cileungsi di Kabupaten Bogor.

11. Alih fungsi lahan fasilitas umum di permukiman Padasuka Ideal Residence.

12. Pencemaran limbah PT. PECU di sungai Citonjong, Kabupaten Pangandaran.

13. Pertambangan galian pasir di Desa Liragunglandeuh.

14. Pencemaran proyek Kereta Cepat Indonesia Cina.

15. PLTU Indramayu.

16. PLTU Cirebon.

17. Alih fungsi lahan di Kawasan Bandung Utara.

18. Amdal dan Izin Lingkungan di Kota Bandung.

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya